°°°
“Motornya udah siap kan, mas?”Sesosok lelaki dengan balutan hoodie abu muda yang kini berubah warna menjadi tua karena basah terkena air hujan itu berdiri tegap di depanku yang sedang tergigil mendekap tubuh. Lantas dengan segera ia tuntun motornya mendekat kepadaku.
“Dingin ya? Mau pakai jaket saya?” aku menggeleng. Itu pertanyaan paling bodoh yang kudengar dari rungu. Jaketnya pun telah basah, percuma saja jika kugunakan. Dan lebih parahnya, ia sama kedinginannya denganku—rupa menawan yang kuagungkan, kini berwarna pucat.
Ia memakaikan helm milikku, mengaitkan kaitan itu dengan tanpa sengaja menyentuh kulit pipiku. Dingin, tangannya dingin.
Dengan segera aku memboncengnya, tak mau memperlambat waktu karena diri kami sama-sama kedinginan. Entah sudah berapa kali bang Wira atau pula mas Dhanan meneleponku. Ponselku kehabisan daya sedari kami berada di bus Trans Jogja.
“Kamu boleh peluk saya, kalau benar-benar merasa dingin dan gak masalah.” lantas tanpa sengaja senyum simpul tersungging indah di wajahku. Aku mendekapnya tanpa ada perasaan apapun selain debaran yang mungkin dapat kami rasakan sepanjang perjalanan.
°°°
Aku bernapas lega kala motor vespa tipe Sprint 150 I-Get ABS itu telah sampai di depan pagar rumahku. Namun belum sampai diriku turun dari motor, pintu pagar itu dibuka dengan tergesa.“Oh, jadi gini kelakuanmu waktu kutinggal ngurus himpunan?” kaget, tentu saja. Devan menudingku dengan jarinya.
Emosinya semakin terpancing kala mas Abhim membuka kaca helm, “sama dia?”
Ini bukan Devan-ku. Devan yang kukenal tidak begini. Menunjuk orang sesuka hati dengan jarinya dan memelotot nyalang.
“Mit, jangan pikir selama ini aku gak tahu apa yang kamu lakuin di belakangku.” ia benar-benar tak memberiku sesekon pun waktu untuk berujar.
“Aku-” sebenarnya aku ingin menjelaskan bagaimana bisa aku pergi bersama teman bang Wira, namun Devan kembali memotong.
“Dia,” ia menunjuk mas Abhim dengan mata yang membelalak.
“Dia yang waktu itu beli mie kopyok sama kamu kan? Aku tahu, Mit! Dan itu udah bulan lalu! Kamu udah main belakang dari kapan, hah?!” sorot matanya tajam, urat di lehernya pun terlihat kentara. Devan, benar-benar marah kali ini.“Devan, aku bisa jelasin kalau kamu cuma salah tangkap. Tolong, biarin masuk dulu, gak enak kedengeran tetangga!” jawabku dengan lugas—takut-takut kalau ia kembali memotong.
Devan tersenyum sungging, terlihat begitu menyebalkan kala ia tak mempercayai ucapanku. Terlebih, ia tetap tak membiarkanku masuk kedalam dalam kondisi basah kedinginan seperti ini.
Dan jika di ingat, dalam hubungan kami tak ada kemarahan Devan yang sebesar ini. Bisa dibilang, ini kali pertama kami mendapat masalah besar.
“Lihat, kamu gak mau tetangga tahu kalau kamu tukang selingkuh.” ia terkekeh, masih begitu menyebalkan terdengar di telingaku.
Pedih rasanya mendengar Devan mengucapkan kata itu. Maksudku, bagaimana bisa dirinya yang hari-hari bersamaku dengan perlakuan manis tiba-tiba menyuarakan hal yang tak semestinya, padahal ia belum tahu faktanya.
Hatiku rasanya teriris, ucapan Devan barusan benar-benar mencabik-cabik harga diriku. Lautan yang kubendung pun tak dapat kutahan, air asin itu menetes perlahan.
Namun dengan pandanganku yang mengabur, kulihat mas Abhim turun dari motornya.
“Ucapannya jangan gitu lah sama cewek. Ini pacarmu loh!” ia mendorong bahu Devan hingga pijakan kakinya sedikit mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...