Makhluk Bernama Pria

14.2K 638 12
                                    

"Semakin kita membenci sesuatu atau seseorang, maka hal itu semakin mendekat kepada kita. Bila tak ingin menjadi suka akan sesuatu atau seseorang, bersikaplah sewajarnya, maka ia tak akan menghantuimu."

-Echa -

*****

Prilly melangkah ke parkiran menuju mobilnya yang terparkir diantara tumpukan mobil yang masih ramai. Jam menunjuk ke angka dua. Semakin sore keadaan kampus justru semakin ramai, padahal sedang libur semester. Ia baru saja menyelesaikan keperluannya untuk wisuda. Sesampainya di depan mobil, ia memanggil seorang petugas parkir langganannya. Pak Roman.

"Pak, saya mau keluar nih!"

"Siap, Non. Udah mau pulang, ya?"

Prilly mengangguk. "Iya, Pak. Masih ada urusan lagi."

Pria yang berusia sekitar 40 tahunan itu mendorong mobil-mobil yang menghalangi mobil Prilly. Setelah menyalakan mobil dan melajukannya perlahan, Prilly memberikan uang kepada Pak Roman dan meninggalkan area kampus menembus jalanan ibukota yang mulai macet di sana-sini.

Di perjalanan, ia membuat panggilan dan memasang headset ke telinganya.

"Hallo, Yah?"

"Eh, iya, Ly. Kenapa?" sapa Ayah di seberang telepon. Ia tampak sibuk karena terdengar berisik sekali.

"Aku otw ke kantor Ayah nih. Tapi masih di jalan, baru keluar kampus."

"Oh, iya-iya. Kamu mau ambil berkas, ya? Ayah lupa siapin berkas yang mau dikasih ke kamu. Nanti kamu tunggu Ayah sebentar, ya? Buru-buru nggak, Ly?"

Prilly melihat jam tangannya. "Nggak sih, Yah. Emang Ayah mau ke mana?"

"Ayah ada rapat penting dengan rekan bisnis Ayah yang baru. Kamu nanti langsung ke ruangan Ayah aja, ya! Hmm... Mungkin agak sore baru selesai. Atau nanti Ayah kasih pas di rumah aja? Kasian kamu harus nunggu."

"Ah, udah nggak apa-apa, Yah. Nunggu sebentar aja, kan? Biar aku sekalian pelajarin di kafe, Yah." Jawab Prilly dengan fokus masih pada jalanan.

"Gitu? Jadi nggak apa-apa kamu nunggu?"

"Iya, nggak apa-apa kok, Yah. Ya udah, aku nyetir dulu. Nanti aku BBM Ayah kalo udah sampe di kantor. See you, Yah." Prilly mematikan telepon.

Prilly pergi ke kantor Ayah untuk mengambil beberapa berkas perusahaan yang harus dipelajari olehnya. Ayah meminta bantuan Prilly untuk menyelesaikan beberapa masalah yang belum sempat ditangani Ayah mengenai proyek perusahaan. Yang bisa diandalkan Sang Ayah hanyalah putri kesayangannya saja. Maka dari itu, Prilly harus menyempatkan diri mengambil berkas tersebut sebelum datang ke kafe miliknya.

Sekitar empat puluh lima menit menempuh perjalanan, akhirnya Prilly tiba di kantor Ayah. Prilly disambut senyum ramah resepsionis di depan.

"Selamat sore, Non Prilly." Sapanya sopan.

"Sore, Mbak Yana. Saya disuruh langsung ke ruangan Ayah tadi, karena katanya Ayah sedang rapat." Ujar Prilly.

Ia mengangguk. "Benar, Non. Mari, saya antar ke ruang Bapak."

Prilly segera menahannya. "Nggak usah, Mbak. Aku bisa sendiri kok, lagian aku mau ke kamar mandi dulu. Jalanan macet bikin tersiksa." Ia terkekeh pada Mbak Yana, sang resepsionis.

Mbak Yana hanya tersenyum. "Silakan, Non." Ia pun mempersilakan Prilly untuk mengarah ke lorong di samping meja resepsionis.

Kantor Ayah hanya berdiri lima tingkat. Gedung kantor ini dibangun sendiri olehnya dengan bantuan orang kepercayaannya, Tuan Herman, seorang arsitek terkenal yang telah banyak membangun apartemen. Tentu baginya sangat mudah ketika ditawarkan oleh Ayah membangun kantornya yang berskala jauh lebih kecil dibanding apartemen.

ALONE | AP STORY (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang