"Ada saatnya hidup harus dinikmati. Tanpa perlu dipikirkan, dan tanpa perlu dipusingkan."
- Echa -
***
"Kita mau sampe kapan di sini?" tanya Prilly datar.
Ali mengalihkan fokus pandangan dari ponselnya kepada Prilly. "Akhirnya ngomong juga. Gue cuma nungguin lo kok dari tadi."
Prilly mengerutkan kening. "Nungguin apa?"
"Nunggu keputusan lo."
"Keputusan apa sih?"
Ali menghela napas. "Keputusan kita akan ke mana sekarang."
"Ya, ngapain juga harus nunggu keputusan gue? Jelas aja gue mau pulang, masa mau nginep di sini?" jawab Prilly mulai ketus seperti biasanya.
"Mau pulang ke mana? Ke rumah Ayah? Terus lo bakal bikin mereka bertanya-tanya gitu, kenapa kita nggak jadi berangkat?" jawab Ali.
Prilly mendengus. "Ya udah, gue bakal pergi ke hotel. Susah banget!"
"Lo yakin mau tinggal di hotel selama dua minggu? Setau gue, lo itu orang yang nggak suka menghamburkan uang. Apa itu namanya bukan menghamburkan, ya?" tanya Ali dengan kedua tangan melipat di depan dada.
Prilly yang sejak tadi duduk, kini berdiri menghampiri Ali dengan kesal. "Terus ada ide yang lebih bagus, hah?"
Ali tersenyum simpul. "Gue mau ajak lo ke suatu tempat." katanya.
"Gue nggak mau ke tempat lo, ya!" tolak Prilly mentah-mentah.
"Nggak, tenang aja. Gue jamin lo suka sama tempatnya."
"Whatever!" Prilly pasrah.
Ali tersenyum saja menanggapinya. Ia bergegas mengambil kopernya dan koper Prilly, meninggalkan ruang tunggu bandara yang sudah satu jam mereka diami. Prilly mengekor langkah Ali tanpa banyak protes.
Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia bagi Ali dan Prilly, karena mereka akan berangkat ke Eropa selama dua minggu untuk berbulan madu. Akan tetapi, semua tak seindah yang dibayangkan Ali, sebab Prilly justru menolak berangkat ketika mereka sampai di ruang tunggu. Tiket yang sudah disiapkan orangtua mereka sebagai hadiah pernikahan pun hangus sudah. Pesawat telah lepas landas satu jam lalu. Prilly tak menjelaskan apapun pada Ali, dan Ali pun tak bertanya. Akan tetapi, Ali tahu pasti apa alasannya. Prilly belum bisa menerimanya.
Mereka sampai di pintu keluar. Seorang pria berpakaian rapi berbalut jas hitam, dengan sigap mengambil alih koper di kedua tangan Ali, setelah sebelumnya ia memberikan sebuah kunci kepada Ali. Prilly terdiam sebentar ketika Ali menghampiri sebuah mobil Mercy SLC 200 berwarna hitam yang terparkir di area drop off.
Pria berjas hitam lainnya sudah membukakan pintu untuk Prilly.
"Please, gue nggak mau hari ini lo ngelawan. Oke? Ayo, naik!" perintah Ali ketika menyadari Prilly hanya berdiri diam di samping mobil.
Prilly mengembuskan napas malas, dan akhirnya memilih masuk. Wajah Ali mendekat pada Prilly ketika ia baru saja duduk nyaman. "Hei, jangan macem-macem ya!" protes Prilly.
Ali berdecak kesal, lantas menoleh menatap wajah Prilly yang hanya berjarak beberapa senti dari hidungnya. "Just quite! Oke?" katanya, lantas tangannya menarik seat belt di samping Prilly.
Prilly mendengus kesal.
Ali tersenyum miring, kemudian kembali ke posisi mengemudinya. "Kayaknya gue denger sesuatu tadi." Katanya sembari menyalakan mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONE | AP STORY (HIATUS)
Hayran KurguPrilly, wanita pendiam dan penyendiri. Terlahir sebagai anak serba berkecukupan, tapi ternyata ia tumbuh menjadi wanita kuat dan mandiri. Ia lebih suka menutup diri, dan tidak ingin ada seorang pun yang masuk lebih dalam tentang dirinya. Hingga pada...