Tanpa Kata

4.7K 223 36
                                    

"Kesalahan terbesar dalam hidup adalah ketika kita membiarkan yang terbaik pergi dengan sia-sia."

- Echa -

***

Seminggu menetap di penthouse ternyata benar-benar membuat Prilly jenuh sebab tidak bisa pergi ke manapun. Ia harus menahan diri untuk tidak pergi dulu keluar. Meskipun ada ruang baca yang bisa membuatnya puas membaca banyak buku, tapi tetap saja ia merasa bosan.

Ali sempat menawarinya untuk pergi ke negeri seberang, namun Prilly menolak. Ia tidak ingin ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Prilly yakin jika Ali sedang berusaha berbaik hati kepadanya untuk maksud tertentu. Akan tetapi, ia belum tahu pasti.

Sempat juga Prilly ingin menghubungi para sahabatnya, namun dengan tegas Ali melarang. Bukan karena tidak boleh, tapi karena Ali tahu seperti apa sahabat istrinya itu. Kalau sampai mereka tahu Prilly tidak jadi berangkat ke Eropa, mereka akan heboh, dan bisa saja mereka tidak sengaja keceplosan di depan Ayah, Bunda, atau Max. Lalu akan membuat kedua keluarga mereka curiga.

Selama beberapa hari ini, Ali tidak pernah absen untuk datang ke penthouse, walau hanya sekedar untuk menonton TV, berenang, atau bahkan bekerja di teras, yang sebenarnya di rumahnya pun fasilitas sudah sangat lengkap. Tapi sepertinya Ali juga sama jenuhnya dengan Prilly.

Mereka tidak pernah terlalu banyak bicara. Diam rasanya cukup nyaman untuk mereka, termasuk untuk Prilly. Hubungan mereka hanya seperti dua orang yang sedang kos pada tempat yang sama, namun keduanya memiliki dunia masing-masing yang tidak akan menyatu. Semuanya datar.

Seperti pagi ini, di mana saatnya mereka sudah kembali ke dunia nyata untuk memulai aktivitas. Ali mengirim teks kepada Prilly.

Selamat pagi, Nyonya. Semangat kerjanya.
Semoga harimu menyenangkan, ya!
Nanti malam jam 7 aku ke sana. Kita makan malam sama2 ya.
See you there!

Prilly tak berniat membalasnya. Ia lebih fokus untuk kembali menjalani aktivitasnya lagi. Karena meninggalkan kafe dalam waktu yang cukup lama, rasanya bukan kebiasaannya. Meskipun ia percaya pada Etha untuk mengurus semua kebutuhan kafe, tapi tetap saja rasanya berbeda kalau tidak mengunjungi tempat yang sudah menjadi ladang penghasilannya juga selama ini. Dan lagi, sudah beberapa waktu ini, Prilly belum menerima kabar apapun mengenai perkembang kafe dari Etha. Dihubungi juga tidak tersambung dan chat ke Whatsapp-nya juga hanya centang satu.

Pak Bono menghentikan mobilnya di depan kafe. "Sudah sampai, Non."

"Oh, iya, terima kasih banyak ya, Pak. Jadi ngerepotin nganter saya kerja." Prilly memasukkan handphone-nya ke tas.

"Nggak apa-apa, Non. Kan sudah tugas saya. Nanti kalau saya nggak anter jemput Non Prilly, saya bisa dipecat sama Tuan." jawab Pak Bono jujur.

Prilly terkekeh. "Kalo bapak dipecat bilang sama saya, biar saya yang tegur dia. Pak Bono sekarang pulang aja, ya? Nanti saya hubungi kalau udah mau pulang."

"Saya tunggu di sini aja, Non. Jadi, nanti kalau Non perlu apa-apa atau mau ke mana bisa langsung saya antarkan."

Prilly tersenyum saja. "Ya udah kalo gitu, Pak. Ini buat pegangan bapak, ya? Untuk makan atau ngopi." ia menyerahkan selembar uang kepada Pak Bono.

"Duh, nggak usah, Non." tolaknya tidak enak.

"Nggak apa-apa. Kalau butuh apa-apa nanti langsung ke dalem aja ya, Pak. Jangan sungkan! Saya ke dalam dulu." pamit Prilly sopan, lantas ia turun dari mobil.

Dengan penuh semangat dan senyum mengembang di bibir, Prilly membuka pintu kafe. "Selamat pagi!" sapanya bersemangat.

Mereka yang sedang merapikan kafe tampak terkejut dengan kedatangan Prilly, karena memang belum saatnya kafe buka. Jam masih menunjuk pukul 09.00.

ALONE | AP STORY (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang