Wirasaksena -21-

10.4K 1.6K 190
                                    

Sedikit sekali momen yang Juna bisa habiskan untuk ketenangan tanpa gangguan.

Di setiap harinya, 24/7. Ada saja yang menganggu indra pendengarnya, tidak Chandra atau Leo. Keduanya sama-sama menyebalkan.

Tapi sayang seribu sayang Juna harus mengakui ini. Dia lebih suka jauh lebih suka saat keduanya mulai ribut atau mengusili dirinya. Dari pada diam tak bertenaga.

Seperti hari ini. Dia buru-buru pulang ke rumahnya hanya untuk mendapati adiknya yang tertidur lemas dalam pelukan ayahnya.

"Dia kenapa ??"

"Kambuh" ayahnya berbisik pelan. Agar Leo yang baru saja tertidur tak terganggu.

"Orang bodoh mana yang melakukannya ??!!!"

Suara Juna meninggi membuat Cahyo berdecak. Melepas dengan pelan pelukan putra bungsunya. Meninggalkan kecupan di dahinya yang tertutup plester demam. Kemudian menghampiri putra sulungnya yang masih tampak begitu emosi. Tentu setelah menyelimuti Leo sampai dagunya.

"Sudah. Sudah papa urus. Dia tidak tau Leo alergi udang"

"Tapi—"

"Stt sudah ayo turun. Biarkan Leo istirahat"

Juna mendidih. Terakhir kali alergi adiknya kambuh dia harus berakhir di rumah sakit dengan alat bantu pernapasan melekat nyaris seharian.

Sekesal-kesalnya Juna pada adiknya, itu adalah hal yang paling tidak ingin dia ulangi. Juna bersumpah dulu dia bahkan menangis.

"Jangan khawatir. Kata dokter Leo sudah tidak apa-apa. Hanya demam karena radang"

Juna mendengus. Coba saja tadi dia tidak berinisiatif menghubungi ayahnya pasti dia tidak akan diberitahu.

"Mama dimana ??"

"Di dapur. Dia juga merasa bersalah karena membiarkan Leo makan sembarangan kemarin. Kesana gih"

Juna menurut melangkah perlahan menuju dapur. Ibunya, wanita itu sedang bergulat dengan berbagai sayuran hijau.

Juna rasa dia harus mengatakan ini. Dia bangga sekali pada ibunya. Dia adalah putri bungsu Wirasaksena. Bayangkan seperti apa kehidupannya dulu. Jangankan memasak untuk menyalakan kompor saja mungkin dulu ibunya tidak pernah.

Tapi lihat sekarang. Gadis manja itu berubah menjadi wanita hebat. Serba bisa.

Tanpa sadar Juna mendekat, membiarkan kepalanya jatuh di bahu ibunya. Menghirup wangi tubuh yang begitu menenangkan.

"Jun ??"

"Hmm"

"Kapan sampai ??"

"Tadi"

Winda tak menjawab lagi. Membiarkan Juna tetap meletakkan kepalanya dibahunya sedangkan dia tetap fokus dengan sayuran yang tengah di potong-potong.

"Leo tidak apa-apa"

"Hmm"

Winda mengusap pelan pipi putranya.

"Tadi dia mencari gege nya. Temani adiknya sana"

"Dia masih tidur"

"Tidak apa-apa. Nanti kalau makanannya sudah siap baru turun ya ??"

Juna mengangguk. Menjauhkan kepalanya dan berbalik kembali naik ke lantai dua. Padahal baru beberapa saat dia turun tapi harus naik lagi. Tidak apa-apa. Lagi pula dia juga ingin melakukannya.

Dibukanya pelan pintu coklat itu. Sedikit mendesah pelan saat menyaksikan anak yang biasa bersuara nyaring sekarang tertidur lemas.

Juna mendekat mengusap pelan wajah adiknya. Sedikit meringis saat panas tubuh Leo menyentuh tangannya yang dingin. Pipi adiknya memerah. Dadanya naik turun beraturan.

Wirasaksena ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang