12. Sebab Dikau

4.8K 778 91
                                        

ini kali adalah malam pertama Meneer Barend menginap. Rukmini sudah tidak segugup sebelumnya. Ia lebih tenang dan bersahaja. Dorongan dalam diri membuatnya tidak ingin semangatnya terlalu meletup macam keinginan Nona Mince. Semangat merias dengan pupur dan lipen tebal. Rukmini tetap berdandan, namun bukan berdandan seperti yang diinginkan Nona Mince. Menurutnya berdandan seperti keinginan Nona Mince justru membuatnya gugup. Ia takut membuat Meneer Barend justru takut, karena ia sendiri takut melihat dirinya di cermin. Rukmini nyaris tak mengenali dirinya sendiri jika berdandan seperti keinginan Nona Mince, dan itu terbukti membuatnya gugup tempo hari, kala Meneer Barend mengunjunginya malam-malam. Sekarang ia merasa lebih tenang, menemaninya makan, lalu duduk minum serbat jahe dan sedikit berbincang-bincang.

Meneer Barend berbeda dengan tuan Zeigh, yang kerap bicara sendiri, sementara ia cuma mendengarkan. Biasanya tentang keluh kesah pekerjaan yang membebaninya atau tekanan-tekanan atasan yang kerap membuatnya marah namun tak kuasa melawan, atau bagaimana para gerombolan membuatnya kerepotan setengah mati. Lalu tuan Zeigh akan melampiaskan kemarahannya dengan menghujamkan birahinya pada Rukmini. Sementara Meneer Barend justru lebih banyak bertanya padanya, tentang pelatihannya, tentang perasaananya pindah ke pondok ini, kerasan atau tidak. Apakah ada barang yang dibutuhkan atau tidak.

Rukmini tidak menduga ia akan dilibatkan atau ditanya-tanya sedemikian, dan ia tak punya jawaban yang tepat, karena Nona Mince belum mengajarinya sejauh itu. Apalagi Biyung Sutinah. Biyungnya justru melatihnya untuk menyimpan rapat-rapat perasaannya. Semua jawaban harus mengarah pada kepatuhan. Tidak boleh membantah dan seterusnya. Ia merasa bingung waktu Meneer Barend bertanya seperti itu. Satu-satunya jawaban yang membuatnya yakin hanya mengangguk ketika menjawab pertanyaan apakah dirinya kerasan atau tidak. Sedangkan mengenai kebutuhan apa yang dirasa kurang, ia menggeleng dan mengatakan semua tercukupi tak kurang suatu apa.

"Kuingatkan pada kau, Rukmini. Kau bukan hamba sahayaku, atau menyamakan dirimu dengan embanmu Mbok Inah. Kau Nyonya rumah ini Rukmini, biasakanlah. Kau tak perlu sungkan apalagi takut padaku," kata Meneer Barend. Kepalanya ia tegakkan.

"Saya belum pernah menjadi Nyonya, tidak tahu bagaimana berlaku sebagai Nyonya, sejujurnya saya belum tahu apa maksud Nyonya, yang Meneer maksud. Saya hanya kenal Nyonya Han. Juragan Beras di Pasar Induk, tempat Juki mengambil beras. Satu-satunya Nyonya, tak ada Nyonya lain yang saya kenal."

Meneer Barend tersedak dan terbatuk kemudian. Tak jelas benar apakah batuk, sekilas mirip pula tertawa. Satu tangannya menutup mulutnya. Sementara Rukmini sedang menyesali diri karena ia merasa terlalu banyak kata-kata yang keluar dari bibirnya. Merasa heran mengapa ia seperti ingin menjawab. Ia tidak pernah merasa ingin menjawab sebelumnya andai yang dihadapinya adalah Tuan Zeigh. Tuan Zeigh tidak banyak bertanya. Sekarang, ia takut yang diucapkannya salah.

"Biar kujelaskan padamu, Rukmini," lanjut Meneer Barend, setelah dia menyesap Serbatnya. Batuknya sudah reda, walau mata berairnya masih terlihat mengembun. "Aku sangat menyukai cita-citamu menjadi juru rawat, seperti pertama kali kudengar di Pesta Dansa-dansi waktu yang lalu. Cita-citamu itu yang membuatmu terlihat jauh lebih cantik dari Puan-puan yang hadir di sana. Kau bersinar laksana bulan, hatiku tertawan dalam hitungan detik, entah mengapa. Jika engkau serupa bulan, itu artinya engkau istimewa. Istimewa untuk tinggal di Pondok ini. Itu artinya ini Pondokmu, milikmu. Jika Nyonya Han seorang juragan, kau pantas disebut juragan dan pantas disebut Nyonya."

Sepanjang kata-kata yang terucap dan didengar Rukmini, sepanjang itu pula perasaan hangat merayapi wajahnya. Rukmini tiba-tiba merasa jengah dan sesuatu seperti melambungkan tubuhnya. Ia sampai harus memegangi, tak hanya memegangi tapi meremas pegangan kursinya, agar ia tetap di tempatnya.

"Tapi, di Pondok ini tak ada beras Meneer," kata Rukmini. Ia merasa harus tetap bicara, agar tubuhnya tidak lagi melambung-lambung. Reaksi Meneer Barend malah membuat perasaannya makin berkecamuk. Wajah Meneer Barend berhias senyuman. Senyumannya seperti badai angin ribut.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang