Lima

6.7K 1K 87
                                    

Aduh maaf salah bab.. sudah diperbaiki ya

*

Aku hampir melupakan kejadian di ladang tebu tempo hari. Rasa malu tak jua membuatku sanggup bertanya pada ndoro Mince tentang perasaan aneh yang hinggap dihati, selepas pertemuaan dengan pentolan gerombolan bernama Gani itu. Padahal aku telah dibuatnya tersiksa oleh gerak-geriknya petang itu. Mulai sering mengingat dan hafal setiap detiknya peristiwa itu, dari hari ke hari. Padahal jika diingat saat kejadian, rasanya begitu kilatnya. Tapi setelahnya ... hampir tiap pagi, siang, sore sampai malam menjelang mata ini terpejam, aku selalu terbayang wajahnya yang bagus. Kamejanya yang baik, walau terlihat tidak disetrika, atau rambut jambulnya yang di sisir rapih serta mengkilat. Belum lagi senyum dan tatapan matanya kala mempersembahkan seikat mawar, seperti gelembung-gelembung sabun yang terbang lalu meletus bergantian, begitu keadaan di dalam hati ini.

Kerap kali aku seperti berharap dia menemuiku di ladang tebu itu lagi, saat perjalanan pulang dari ndoro Mince. Bibirku selalu mengutas senyum tanpa kusuruh, lalu wajahku akan terasa menghangat bersamaan dengan rasa malu yang menyelinap di dalam dada. Aku kesal tingkahku seperti seorang gila tersenyum sendiri berjalan di jalan setapak, atau di dapur, atau kala terbaring di dipanku. Sempat terlintas, mungkin aku mewarisi kesintingan mendiang ibuku. Namun segala kecemasan itu seperti terlempar begitu saja, berganti dengan wajah si biang gerombolan bernama Gani. Wajah, senyuman serta tutur katanya mengambil alih semua hal yang sedang kupikirkan dalam sekejap. Lalu aku dibuat tak berdaya dengan bayangan senyuman itu. Rasanya seperti sedang demam saja.

Hanya seharian ini bayangan pemuda Gani tak melintas banyak-banyak. Aku terlalu sibuk dengan debaran lain tentang malam ini. Perasaan senang sekaligus cemas bergantian. Karena malam ini ndoro Mince akan membawaku pada pesta Dansa Dansi salah satu pembesar Menak. Ada penyambutan pergantian jabatan atau apa, kurang jelas. Yang jelas bagiku hanya, dipinjami gaun yang indah berenda berwarna putih.  Rambut yang di tata sedemikian menjadi gelung di sisi kanan dan kiri, sementara bagian belakang diikat dengan tusuk konde ala gadis-gadis Tionghoa. Wajahku dibedaki pupur yang baunya harum, alisku disisir, dipensili, terakhir bibirku diberi gincu berwarna merah.

Dadaku sampai berdebar melihat penampilanku sendiri di cermin. Seperti tak mengenali. Aku sampai bertanya berulang-ulang, benarkah cermin di depanku tidak rusak, dan ndoro Mince malah tertawa kesenangan. Aku mendadak mencemaskan banyak hal. Bagaimana jika aku lupa tata cara makan yang diajarkan? Bagaimana andai salah berucap, atau bagaimana andai semua gerakan berdansa mendadak hilang dari ingatan? Semua membuatku berdebar-debar. Tapi berulang kali pula ndoro Mince meyakinkan, bahwa aku akan baik-baik saja dan segera lupa begitu sampai di sana.

"Tapi ingat, jangan pernah memanggilku ndoro di sana ya. Panggil saja aku nona Mince dan aku akan memanggilmu nona Rukmini." Lalu kami terkikik,  tak jelas apa yang kami tertawakan, tapi rasanya menyenangkan.

Kami menaiki andong yang disewa nona Mince (aku harus mulai membiasakan memanggilnya nona Mince, dimulai dari menyebutnya di dalam hati). Benar seperti yang diucapkannya, semua perasaan cemas langsung sirna begitu aku memasuki rumah berdinding tinggi dan luas, dengan jendela jendelanya yang lebar itu. Berdebar tentu masih, karena aku belum pernah memasuki rumah sebesar dan semegah ini. Milik seorang asisten Residen yang baru diangkat bernama meneer Dedrick. Pesta yang sengaja dipersembahkan sebagai penyambutan tugas baru.  Sambutan tuan rumah serta hangatnya tamu-tamu yang hadir, serta pujian dari para Noni dan Tuan yang hadir yang menyebutku cantik, sanggup menaklukan segala debaran dan perasaan gugup. Walau cukup pegal harus menebar senyuman terus-menerus. Tapi menyenangkan.

"Awas kau tengah diawasi oleh Tuan Barend di sebelah kirimu, jauh dekat guci di ujung sana. Jaga keanggunmu baik-baik Rukmini, siapa tahu dia adalah pulungmu malam ini," bisik nona Mince ketika kami—sekelompok kecil gadis muda tengah bergunjing tentang betapa gagahnya asisten Residen baru meski usianya mungkin sudah paruh baya.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang