Dua

9K 1.2K 82
                                    

Tidak pernah terpikir olehku jika ternyata seorang gadis tak berpendidikan sepertiku boleh punya cita-cita. Kata-kata ndoro Minceu terus terngiang-ngiang ditelinga sepanjang waktu. Mengherankan ... kata-katanya yang tak biasa itu terlontar kala dirinya berurai air mata sambil memegangi gelas berisi minuman anggur. Kerap kali begitu setiap Meneer Jonas mengunjunginya akhir-akhir ini. Baru dua bulan ini kira-kira. Padahal selama aku membantunya entah sekedar mencuci pakaian nya atau membersihkan rumahnya, sudah lebih dari satu tahun belakangan, tidak pernah seperti ini.

Sejak aku bekerja pada ndoro Mince di siang hari—saat pekerjaan di rumah rampung dan tuan Zeigh sudah pergi menjalankan tugasnya sebagai Gewapende Politie (Polisi huru hara), begitu tuan Zeigh menyebut dirinya. Meneer Jonas sudah sering berkunjung. Tapi Ndoro Mince tidak pernah menangis ketika Meneer pulang. Akhir-akhir ini saja.

'Rukmini, kau jangan hanya jadi jongos, jadilah seseorang yang bermartabat. Isi kepala kecilmu itu, jangan biarkan kosong melompong, agar orang tak merendahkanmu. Kau boleh saja lahir dari rahim si Pon yang gila, tapi kau lahir ke dunia ini harus punya kewarasan. Jangan serahkan tubuhmu apalagi jiwamu untuk memuaskan kehendak orang lain. Tubuh dan jiwamu adalah utuh milikmu. Maka isi kepalamu sampai berat, hingga tak ada kaki yang sanggup menginjak. Isi jiwamu sampai penuh, hingga tak ada ruang kosong untuk seseorang berani menjajah semaunya.' Begitu wejangan Ndoro Mince padaku. Wejangan yang terus menggema di kepala. Berhari-hari aku mencari makna ucapannya itu. Berputar dalam benak sampai kepalaku pening, karena tak juga mengerti artinya.

Aku memang tak sepandai Ndoro Mince yang bersekolah di HBS. Sekolah elit bagi orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan elit pribumi. Sekolah yang gurunya mengajar pakai bahasa Belanda. Sementara aku bisa membaca dan menulis latin saja sudah keajaiban. Hadi yang mengajariku dengan upah yang aneh. Aku jelas tak punya sekeping uang benggol untuk bayaran yang dia minta, lalu dia menggantinya dengan meremas dadaku sebanyak empat kali setiap mengajariku. Aku berhenti karena makin lama remasan tangannya membuatku sakit. Toh, aku sudah bisa baca dan tulis tepat di hari ke sepuluh pertemuan.

Suatu hari, aku tak tahan untuk tidak bertanya pada ndoro Mince di halaman belakang, saat dia sedang menikmati teh dengan aroma melati yang sangat menyengat, dan aku tengah menjemur pakaian yang baru kucuci. "Mohon kemurahan hatimu ndoro Mince, saya telah memikirkan berhari-hari ucapan ndoro tempo hari sampai membuat kepala saya pening, tapi tak juga mengerti maknanya," kataku menatapnya dibalik bentangan jemuran kain.

"Apa yang telah kuucapkan padamu, Rukmini?" jawabnya sambil menyulut kretek tiga bal Nitisemito-nya lalu menghisap di sela jari-jarinya yang lentik. Aku pun mengulang ucapannya. Lengkap setiap kata dan hurufnya, dari awal hingga akhir. Ndoro Mince mengerutkan dahinya, tampak berpikir dengan pandangan menerawang sebelum menjawab.

"Jangan dipikirkan Rukmini, aku hanya sedang gundah kala itu. Meener Jonas akan kembali ke Belanda dalam waktu tak lama lagi, dan dia menolak membawaku serta," dia kemudian menarik nafas dalam, kemudian meraih cangkir bergambar bunga kantil lalu menyesap tehnya.

Aku mendekat padanya, duduk di undakan sambil menunggu yang akan diucapkannya kemudian. Matanya kemudian menerawang menatap awan yang bergumpal-gumpal dihari yang sebentar lagi terik.

"Aku pikir Meneer Jonas mencintaiku sungguh-sungguh. Nyatanya serupa dengan pejabat pejabat lainnya, yang hanya menjadikanku selir tanpa mahkota. Jikalau pungguk mustahil merindukan bulan, aku adalah kemustahilan yang paling nihil. Pungguk yang bahkan tak pernah tahu rupa rembulan seperti apa," ujarnya. Irama suaranya seperti sinden yang menyanyikan mocopat lara. Membuat siapa pun bergetar mendengarnya walau tak mengerti apa makna kata-katanya.

Bagaimana bisa Meneer Jonas tidak mencintai perempuan secantik ndoro Mince. Berkulit putih susu, bermata coklat dengan mahkota yang begitu halus jatuhnya. Kata-katanya selalu terdengar indah dan tinggi. Ia perempuan peranakan terpelajar yang sulit dikejar perempuan mana pun.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang