Delapan

5.4K 883 99
                                    

Belum rapih. Terima kasih untuk bantu koreksi typo dan sejenisnya. Selamat membaca.
*

Tuan Zeigh tidak melakukan apa-apa sejak pagi. Tidak mandi atau sarapan, tidak menyesap kopi tubruknya walau hanya seteguk, tidak juga berangkat ke tempat kerja dengan seragam menterengnya. Rukmini sudah mempersiapkan semuanya, seperti biasanya. Memenuhi tempayan dengan air di bilik kamar mandi. Sudah pula menyetrika seragam sampai licin, serta getuk bertabur kelapa yang dibelinya sejak pagi buta. Tuan Zeigh bahkan tidak keluar dari peraduannya, hanya tergolek memandangi jendela. Satu-satunya gerakannya pagi itu hanya membuka jendela, lalu memandanginya.

Rukmini mondar-mandir di depan kamar tuan Zeigh dengan benak yang bertanya-tanya. Apa gerangan yang terjadi, rasanya belum pernah menyaksikan tuan Zeigh bertingkah seperti itu selama ini. Ia tak berani bertanya. Biyungnya, Sutinah, pernah mewanti-wanti, 'jangan bertanya, jangan membantah, bicara jika memang tuan Zeigh menyuruhmu bicara dan patuh, maka hidupmu akan baik-baik saja dan berkecukupan.'

Bagaimana kalau di dalam sana tuan Zeigh, ternyata sudah mati?  Tingkahnya sudah aneh sejak semalam. Tuan Zeigh cukup tua untuk mati, cukup punya banyak musuh juga. Diracun barangkali? Demikian pertanyaan-pertanyaan hilir mudik di kepala Rukmini yang kini duduk di meja makan menghadap kamar tuan Zeigh, setelah bosan mondar-mandir di depan pintunya. Ia merasa tak boleh jauh dari pintu kamar itu, berjaga-jaga, barangkali tuan Zeigh membutuhkannya. Sesungguhnya ia ingin menengok sebentar ke sana, memastikan tuan Zeigh tidak mati atau sakit, tapi tak berani.

"Apakah Tuan ingin sarapan di dalam kamar? Saya bisa antar kopi dan makanan ke dalam," akhirnya Rukmini memberanikan diri menawarinya sarapan, setelah mengingat, biyungnya pernah suatu hari bertanya demikian. Ia tak ingat kapan persisnya, tapi biyungnya pernah menawari tuan Zeigh makanan, dengan kalimat seperti itu.

"Tidak perlu Rukmini, sekejap lagi saya keluar."

Mendengar itu, Rukmini bergegas ke Pawon mengganti kopi yang telah dingin. Ketika kembali, dilihatnya tuan Zeigh sudah duduk di kursi malasnya, berjungkit pelan. Rambutnya dibiarkan acak-acakan, berpiyama kusut dan tanpa alas kaki. Tuan Zeigh tak pernah melepas selopnya selama di dalam rumah, tapi kali ini berbeda.

Hati-hati Rukmini menaruh kopinya di samping kursi malas pada meja kecil dimana kotak radio teronggok juga di sana. Setelah itu, Rukmini masuk ke kamar tuan Zeigh untuk mengambil selop, lalu meletakkannya persis  di depan kaki-kaki kursi malas yang  menghadap ke jendela. Tuan Zeigh bergeming pada kehadiran Rukmini. Pandangannya terpancang ke luar jendela. Terkadang terarah pada pohon mangga, kadang ke jalanan, ke langit yang cerah berselimut awan, atau kadang-kadang pada ayam-ayam tetangga yang masuk dan berkeliaran di halaman tanpa pagar kediaman mereka.

"Rukmini, sebentar lagi kau akan diboyong tuan Barend, keluar dari rumah ini. Selamanya," katanya tanpa berpaling.

Rukmini diam saja, duduk di meja makan  yang letaknya agak jauh, tapi ia mendengar apa yang diucap tuan Zeigh barusan, meski suaranya terdengar sedikit pelan. Ia juga menangkap getaran tak biasa dari nadanya—seperti bergelombang—nada yang hampir sama ketika ia bicara dalam keadaan gugup, atau takut. Diluar itu semua, ia cukup gugup menerima kabar tentang tuan Barend. Ia merasa tak dungu mengartikan maksud yang disampaikan. Nona Mince sudah menceritakan bagaimana jika seorang Meneer tertarik pada seorang perempuan sepertinya, atau seperti nona Mince. Mereka akan begini, atau mereka akan begitu. Namun, tetap saja ia gugup. Sesungguhnya tak menyangka akan secepat ini.

"Saya bisa menolaknya jika tuan Zeigh tak ingin saya pergi," sahut Rukmini. Sedetik kemudian kepalanya perlahan menunduk begitu dilihatnya tuan Zeigh melirik lemah ke arahnya.

"Tidak mungkin Rukmini, meskipun aku sangat ingin kau melakukan itu. Taruhannya teramat besar, karirku bisa hancur lebur di tangannya," mata tuan Zeigh masih mengarah padanya, meskipun tidak benar-benar seperti menatapnya. Hanya memandang kosong tanpa arti.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang