Kedepan, aku update kalau votenya tembus 100 ⭐ atau lebih lho ya ... Aku butuh suporter agar cerita ini terus lanjut. Bisa, ya ... I love U so beutiful.
Terima kasih yang bantu koreksi
Terima kasih yang masih setia sampai hari ini.
*Aku baru saja turun dari andong, memandangi gapura masuk pasar malam yang dihias elok, namun perasaanku mendadak malu dan ingin pulang dan mengurungkan niat datang ke sini. Aku tetiba malu telah berdandan malam ini; memilih-milih pakaian apa yang kira-kira pantas kukenakan selama berjam-jam, melukis alis, lalu membubuhkan Pupur, lipen dan minyak wangi lebih banyak dari biasanya.
Sebelum naik andong aku merasa pantas mengenakan rok terusan dengan motif bunga kantil ini, serasi dengan selop yang kukenakan; warnanya mirip dengan pakaianku; kuning pucat. Sekarang, aku merasa tidak pantas lagi, setelah melihat orang-orang yang lalu-lalang terutama para wanitanya: lebih banyak yang mengenakan setelan kebaya dan kain yang indah-indah. Aku merasa telah salah memilih pakaian. Lagipula, bodoh, datang ke tempat terbuka di malam hari mengenakan rok yang panjangnya hanya sampai betis; bagaimana kalau di dalam banyak nyamuk, atau angin berembus kencang dan dingin menyingkap rokku. Aku seolah memberi kesan ingin tampak seperti Noni-noni. Kulitku saja gelap, walau pupil mataku coklat bukan hitam, serta hidungku sebangir Noni-noni. Aku memang setengah Noni-noni, tapi kulitku lebih pantas dengan kebaya dan kain.
Aku ingin pulang, namun ketika menyadari andong sudah pergi, malah berubah menjadi linglung; berjalan ke gerbang hendak masuk, lalu balik lagi; sampai kira-kira sepuluh langkah, lalu berdiri mematung lagi, memandangi gapura masuk, dengan pikiran ... tidak sungguh-sungguh berfikir, tapi aku merasa seperti sedang berfikir, padahal tidak. Lebih tepat, sedang bingung: bingung memutuskan hendak masuk atau tidak, sedangkan andong baru satu jam lagi datang, begitu permufakatan kami.
Aku beruntung tidak berlama-lama merasa bingung. Sesuatu menyelamatkan situasiku, manakala sepasang insan berjalan bergandengan tangan melewati gapura pasar malam, tanpa kebimbangan sepertiku. Perempuan yang mengapit lengan Pemuda necis itu, menggunakan gaun terusan: dengan model renda bertumpuk seperti lapisan kubis; Menampakan sedikit bagian bahunya dan panjang roknya pun diatas lutut (lebih pendek daripada rokku). Dengan demikian, tak ada nyamuk malam ini. Aku tak perlu pulang.
Suasana meriah dan banyak cahaya lampu di mana-mana. Sebentar kemudian aku kembali kebingungan, harus kemana gerangan. Terlalu banyak manusia, terlalu banyak orang berjualan dan musik keroncong yang dimainkan itu, seolah-olah menahanku kemana pun. Semua terlihat sibuk. Oleh karena mereka sibuk, aku turut sibuk memperhatikan mereka.
"Terima kasih, sudah datang, Dik."
Suaranya pelan, tapi aku terlompat ke belakang. Kang Mas Gani berdiri menatapku. Aku tersipu malu, atau terkejut? Topi pandannya lebar, hampir menutup sebagian wajahnya, mungkin topinya yang membuatku terkejut.
"Sebaiknya kita ke sana. Aku tadi melihatmu dari sana. Keramaian telah membuatmu kesulitan mencari pohon beringin, Dik."
Kang Mas Ghani kemudian menuntunku. Tidak menuntun seperti memegangi tanganku, melainkan menuntunku lewat langkah kakinya. Kami berjalan beriringan, ia terlihat sungkan dan canggung. Sesungguhnya aku demikian pula. Aku tak bisa melihat wajahnya secara utuh, untunglah aku belum lupa suara dan postur tubuhnya.
"Jadi, Kang Mas berjualan sungguhan?"
"Benar, Dik, biar kutuang semangkuk untukmu baik sebagai penghangat tubuh," ujarnya. Tangannya luwes menuang minuman yang mengepul dari Periuk ke mangkuk kecil, lalu menaruh sendoknya; sendok yang terbuat dari sobekan daun pisang yang disemat dengan biting, lalu menyodorkannya padaku. Belum selesai sampai di situ, Kang Mas Gani kemudian mempersilakan aku duduk di kursi dingkliknya, sementara ia duduk bersila, tak jauh dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUKMINI
Fiksi Sejarah•The Wattys Winner 2021• Fiksi sejarah, Suspense!! "Dia lahir dari seorang perempuan gila yang diperkosa Pembesar Menak. Dia tumbuh ... Dia cantik ... Dia menuntut balas. Dia Rukmini." ©yannilangen