Dua puluh satu (2)

2.9K 610 50
                                        

Hmmm gak sampai lagi votenya ... Terima kasih kesediaan utk Vote hingga 100 ⭐ nantinya. Terima kasih atas komentar2 serunya juga, bikin aku semangat. Pokoknya terima kasih.

*

Malam ini angin bertiup dingin, namun sekujur tubuhku rasanya berkeringat. Aku ketakutan melihat Tuan Zeigh berdiri mengangkang menodongkan bedil ke arah Kang Mas Ghani. Tangannya gemetaran. Ia selalu demikian jika kedapatan pulang sehabis minum tuak. Tangan atau kaki, atau bagian tubuh lain, kerap gemetaran. Malam ini memang malam ahad; salah satu malam jatahnya untuk mabuk. Tak hanya gemetaran Tuan Zeigh sering berkata berkata kasar bahkan kotor.

Jika saja kejadian ini terjadi di tempat lain, seperti di rumah kami dahulu, aku tak akan setakut ini. Aku akan menyiapkan air hangat untuknya mandi, setelah itu masuk ke bilikku sampai marahnya reda, lalu menyiapkan makan malam. Setelah makan biasanya Tuan Zeigh akan baik lagi.

Kali ini aku tak bisa menyediakan air hangat untuknya, terlebih-lebih Tuan Zeigh memegang bedil. Ia belum pernah mabuk sambil memegangi bedil dengan dua orang suruhannya yang mengacung-ngacungkan pisau cukur di depan aku dan Nona Mince. Aku bingung dan takut.

"Sekarang terserah kau, Bung!"

"Terserah apa?" seru Kang Mas Ghani menantang.

"Sehebat-hebatnya engkau tak mungkin secepat peluru ini. Andaipun meleset dua orang cantik-cantik itu akan kehilangan kemolekannya, lari saja jika kau ingin," kata Tuan Zeigh setengah berteriak. Suaranya parau.

Dua orang di depan aku dan nona Mince mendekat. mereka memutar ke belakang punggung kami, lalu memiting leher dan menempelkan pisau cukur di pipiku. Aku tak tahu apa nona Mince diperlakukan sama sepertiku, aku tak berani walau untuk sekedar melirik.

Jariku pernah teriris pisau ketika memasak, atau teriris silet ketika mengganti alat cukur Tuan Zeigh. Tidak dalam, tapi rasanya pedih sekali jika terkena air. Bagaimana jika orang yang memiting kami menggores pisaunya terlalu dalam, pasti akan lebih sakit, lalu lukanya akan membekas sangat lama. membayangkan ini perasaanku sudah ngeri. Bagaimana jika sungguhan?

Aku makin gemetaran. Seharusnya jangan, sebab berbahaya jika tangannya tanpa sengaja menggores pisaunya di pipiku, namun aku tak bisa menghentikan gemetaran ini. Bagaimana cara menghentikan badan gemetaran? Aku sudah mencoba berpikir, tetapi tak dapat berpikir. Mungkin bau tuak dari orang yang memitingku membuat kepalaku pening. Kepala yang pening mana mungkin bisa berfikir mencari cara menghentikan badan yang gemetaran.

Dadaku berdegup kencang menunggu yang akan terjadi pada Kang Mas Ghani, aku dan Nona Mince. Jika aku tak salah mengerti, Tuan Zeigh sedang memberi pilihan kepada Kang Mas Ghani. Jikalau Kang Mas Ghani lari maka aku dan Nona Mince yang celaka, namun jikalau ....

"Menyerahlah, Bung! Andai kau seorang lelaki ksatria tentu tak akan rela melihat wanita menjadi tumbalmu. Seumur hidup aku akan mengingatmu sebagai pengecut, sehebat apapun perbuatanmu," teriak Nona Mince.

Hebat betul Nona Mince bisa berbicara lantang dan gagah berani disaat kami sudah tak berdaya. Kata-katanya tajam seperti tokoh-tokoh pergerakan yang diceritakan Kang Mas Ghani. Apakah Nona Mince kawan mereka? Rasa-rasanya aku tak akan terkejut anadai Nona Mince berkawan dengan mereka. Pergaulan Nona Mince sungguh luas. Ia juga seperti seorang yang terdidik, sama dengan tokoh-tokoh pergerakan.

"Tak perlu mengingatkan saya, Nona. Nona tak perlu uji saya sebagai seorang pengecut atau bukan, sebaiknya Nona tidak berbicara atau segalanya akan bertambah buruk," kata Kang Mas Ghani. Suaranya bergetar  dan sangat bulat. "Wahai Tuan Zeigh yang bertindak memalukan. Memalukan karena menggunakan wanita, dibanding berhadapan secara jantan dengan saya, saya bersedia menyerah, jikalau dua wanita terhormat itu Tuan lepaskan terlebih dahulu. Tuan bahkan boleh menembak saya sampai mati, asal mereka saya saksikan bebas!"

Tuan Zeigh terdiam. Tubuhnya masih bergoyang-goyang, membuat moncong bedilnya bergerak tak ke segala arah. Wajahnya tegang menatap Kang Mas Ghani.

"Saya akan mendekat ke arah Tuan dan akan berdiri hanya berjarak tiga langkah saja, agar bedil Tuan tidak lepas sasaran. Setelah itu biarkan Nona-nona itu pergi. Sekarang perintahkan begundalmu menjauh dari Nona-nona itu," kata Kang Mas Ghani.

Ia kemudian bergerak selangkah demi selangkah ke arah Tuan Zeigh. Tuan Zeigh terlihat gelisah. Berdirinya tak lagi tegap, goyangan tubuhnya makin bergerak liar membuat moncong bedil ikut bergerak-gerak liar.

"Tuan Zeigh, mohon perintahkan begundalmu melepas kan Nona-nona, saya sudah sedekat jarak tembak bedilmu!"

Wajah Kang Mas Ghani kaku. Dahinya mengerut, matanya tajam menatap Tuan Zeigh.

"Bebaskan mereka dan ringkus pengacau ini," seru Tuan Zeigh. "Dan kau Rukmini, berbahagialah, aku sedang berbaik hati dengan tidak berkeinginan melaporkan ini pada Meneer Barend!"

"Larilah Nona-nona, lari sejauh mungkin!" teriak Kang Mas Ghani begitu dua orang lelaki yang memiting pergi dari kami dan bergerak ke arahnya.

Aku terpaku, terkesima dan terkejut mendengar suara menggelegar Kang Mas Ghani berteriak. Suaranya keras sekali seperti suara geludug. Dadaku rontok rasanya.

"Ayo, cepat jangan pedulikan dia," seru Nona Mince menarik kasar tanganku, lalu menyeretku sambil  berlari. Tubuhku terseok-seok, berapa kali hendak jatuh karena terantuk batu, atau serumpun rumput. Nona Mince seolah tak peduli terus saja berlari.

Aku ingin menengok ke belakang, maka aku kepalaku menengok ke belakang, aku melihat Kang Mas Ghani tersungkur dan punggungnya sedang ditekan oleh lutut salah satu anak buah Tuan Zeigh, dan tangannya sedang diikat, sedangkan seorang lain mencengkram rambutnya, kepala Kang Mas Ghani mendongak ke atas.

Kang Mas Ghani ditangkap. Ia akhirnya ditangkap karena bertemu denganku di sini. Andai aku tak menemuinya di Pasar malam ini, tentu ia masih bebas. Ia masih bertemu tokoh-tokoh pergerakan dan aku akan tetap mendengar kisah-kisah mereka.

Mengapa mereka memperlakukan Kang Mas Ghani seperti hewan. Ia diikat, ia dijambak, ia juga pasti akan dibunuh. Bagaimana aku bisa sebodoh ini tidak memikirkan akibatnya. Terkutuklah mereka jika membunuhnya, terkutuk pula aku.

"Jangan menangis sekarang, Rukmini. Aku akan mengantarmu pulang dan menginap di tempatmu, agar Meneer tidak curiga," kata Nona Mince ketika kami berada di luar gerbang Pasar Malam. Kepalanya menengok kian ke mari. "Itu di sana," katanya menuding andong tak jauh dari kami. Di pinggir jalan raya.

Nona Mince masih menggenggam tanganku dan sekali lagi menyeretku dengan langkah bergegas menuju Andong. Aku tak menjawab. Akubtak tahu harus menjawab apa. Otakku kosong, benakku dipenuhi gambaran Kang Mas Ghani yang diikat. Sungguh malang nasibnya, sungguh mengenaskan keadaannya.

"Tolong berhentilah menangis. Kita akan bicara panjang lebar nanti di pondokmu," kata Nona Mince. Suaranya direndahkan. Suaranya telah melunak, tidak lagi segarang tadi.

"Aku ingin, tapi ini keluar tiada henti dengan sendirinya," kataku.

Nona Mince merapatkan tubuhnya ke arahku. Ia merengkuh bahuku, lalu memelukku erat. Air mataku makin deras mengalir.

***
Kedepan akan makin pelik dan berliku kisahnya ... InshaAllah ... Siap-siap merintih (halaah apaseh) Doakan aku sehat terus ya ...

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang