Duapuluh Tiga (2)

3K 588 84
                                        

Angin semilir di siang yang terik, tidak membuat keadaan menjadi sejuk. Gerah kurasakan di luar dan di dalam: laju andong tadi, memberiku semilir angin, namun tak menolong gerahnya di dalam tubuhku. Di dalam tubuhku seperti tumpukan arang yang baru saja dibakar dan dikipasi  untuk menjadi bara. Setahuku gedung tempat Tuan Zeigh berkantor berudara sejuk karena sekeliling gedung ditumbuhi pohon besar-besar lagi rimbun dan temboknya menjulang tinggi dan berjendela besar dan terbuka lebar, namun kali ini tidak—tubuhku berkeringat, menunggu anak buah Tuan Zeigh mempersilakan masuk untuk bertemu Kang Mas Ghani.

Selama menunggu pikiranku tidak berkelana seperti semalam, kosong saja menekuri lantai berubin mengkilat, melihat bayanganku sendiri. Jika bosan, aku memandangi kakiku yang telanjang, sempat terpikir memindahkan selop di depan pintu masuk agar tak terinjak sepatu yang hilir mudik keluar masuk gedung, atau mungkin akan lebih baik membawanya serta. Aku bisa memangku selopku, atau menaruhnya di kaki bangku tempatku duduk sekarang; tentu saja dengan menangkup bagian alasnya satu sama lain, lantai tak akan kotor dan aku bisa tenang selopku tak akan rusak terinjak sepatu pegawai di gedung ini. Anehnya, aku enggan melakukannya. Mungkin aku sungkan dengan pegawai yang duduk di belakang meja itu—sejak kedatanganku, ia hanya bicara sedikit, wajahnya muram, menanyakan keperluanku, lalu ke dalam memanggil anak buah Tuan Zeigh, lalu mencatat. Ia mencatat tanpa henti. Ia sibuk, aku takut mengganggunya.

"Mari Nyonya." 

Tak kusadari kehadiran anak buah Tuan Zeigh telah kembali, suaranya tidak keras, namun tak alang membuatku terkejut. Aku terlalu banyak menunduk dan melamunkan selopku rupanya, hingga derap sepatu lars tak terdengar. Ia berdiri di dekat pintu dengan kedua tangan memegangi gesper yang warna mengkilatnya sudah mengelupas sebagian.

Aku mengekor langkahnya menyusuri koridor panjang. Gema dari suara sepatunya terdengar agak mengerikan. Suasana terlalu sunyi untuk gedung kantor sebesar ini. Aku melewati banyak ruang-ruang, harus berbelok ke kanan, lalu ke kiri, lalu lurus panjang lagi, berakhir di belokan ke kiri lagi dan berhenti di ruang berdaun pintu separuh, dengan papan nama berbahasa Belanda yang tergantung di ujung kusen pintu. Kemudian anak buah Tuan Zeigh melaporkan kedatanganku, disusul suara Tuan Zeigh yang menyuruhku masuk.

Di dalam, barulah dadaku berdebar, sebab aku melihat Kang Mas Ghani duduk di sana; terpaku, aku pun demikian, mungkin ia tak mengira aku datang. Waktu seperti berjalan pelan, bahkan tidak berjalan seperti semestinya, mendadak berhenti begitu saja dalam keadaan yang kaku dan sama-sama membisu. Kesadaran Kang Mas Ghani lah yang merubah keadaan kaku, ia beringsut, lalu menawarkan kursinya untukku. Aku menolak dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku karena aku tak tahu harus bagaimana dan berkata seperti apa, kulihat Tuan Zeigh pun hanya menonton acuh tak acuh.

"Benarkah Kang Mas Ghani terlibat dalam pembunuhan Biyungku, Biyung si Pon?" 

Tangan Kang Mas Ghani menggapai sandaran kursi, namun hanya meraih angin, matanya menatap ke arahku, tidak sungguh-sungguh ke arahku, namun jauh ke belakangku. Gapaian ketiga lah ia bisa menggenggam sandaran kursi yang tadi didudukinya dan jari-jarinya mencekram sandaran kursi itu hingga tulang-tulangnya menonjol.  Rautnya perlahan berubah; seperti memandang asing terhadapku. 

"Siapa yang memberitahumu, apakah kau Tuan Besar?" Suaranya seperti gelombang radio di pukul dua pagi. Suara radio yang timbul tenggelam. Radio berbahasa Belanda (mulanya),namun Meneer mengatakan itu bahasa Inggris. Meneer Barend mengatakan; begitulah gelombang SW bekerja, sebab Radio tersebut berada jauh, di sebuah negri  bernama Australia.

"Tidak penting siapa pemberitahu, tetapi benarkah berita yang saya dengar ini?" kataku, setelah melihat Tuan Zeigh tak berniat menjawab dan hanya membolak-balik sebuah buku bersampul tebal.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang