Enam

5.8K 884 87
                                    

"Terima kasih bersedia menemuiku, Rukmini nan ayu," sambut kang mas Gani, dengan senyum yang terhalang bayangan ranting randu.

"Saya hanya penasaran, mengapa Kang Mas berada di sana sebagai pelayan," sahutku. Aku tak yakin benar dengan apa yang terucap bibir ini, namun malu jika mengatakan bahwa aku sebenarnya tak tahu untuk apa aku bersedia menemuinya.

"Aku butuh untuk bertahan hidup juga, Cah ayu. Memang memuakkan rasanya bekerja pada Penjajah, tapi berjuang, butuh makan juga toh. Disamping itu, aku bisa mencuri dengar atau menggali informasi penting dari pekerjaanku sebagai pelayan para Pembesar. Jika sudah mabuk anggur, terkadang mulut mereka tidak terkontrol lagi," senyumnya tersungging lagi. Lalu tangannya mempersilakan aku untuk duduk di atas rumput liar setelah dia membentangkan lapisan luar pakaian yang sengaja dicopotnya tadi.
"Kang Mas tidak takut mereka mengenalimu sebagai gerombolan?"

"Was-was iya, tapi sejauh ini kaca mata serta seragam yang mereka pinjamkan selalu berhasil mengelabui. Siapa yang akan menyangka musuh mau bekerja dengan mereka, ya toh? Kecuali ada yang berniat melaporkan, apakah kau berniat melaporkan aku bekerja malam ini pada tuan Zeigh, Cah Ayu?"

Aku menggeleng cepat-cepat, "untuk apa  melaporkanmu, bukan urusan saya. Kalau berniat, tentu peristiwa di kandang sapi tidak akan terjadi, bukan begitu Kang Mas?"

"Terima kasih, Rukmini, kata-katamu membuatku tenang," matanya bercahaya kena pantulan cahaya bulan waktu mengatakan itu.

Lalu kami terdiam, memandangi rembulan yang kemerahan dalam bulatnya yang sempurna. Beberapa kali nafas Kang Mas Gani berhembus panjang (aneh mengapa aku harus memanggilnya Kang Mas). Seolah hendak berkata-kata, namun diurungkan. Sejauh kabar yang kudengar Kang Mas Gani terkenal dengan pidatonya yang berapi-api, dengan ciri khas, selalu mengenakan caping yang di cat warna merah bertuliskan, 'Merdeka atau Mati!', pada pertemuan-pertemuan rahasia para gerombolan. Ada yang mengenalnya dengan sebutan Gani Caping. Ada yang menyebutnya singa peranakan, kalau ini aku dengar dari tuan Zeigh. 'Gani hanya seorang  peranakan yang kecewa karena Papanya tak membawa dia dan ibunya serta, ketika pulang ke negri Belanda, atas tugas barunya di istana Ratu Wihelmina. Lalu dia melampiaskan dendamnya dengan cara menghasut pribumi untuk menyusun kekuatan pembangkangan,' begitu katanya.

"Bagaimana hendak kuucapkan kata hatiku ini, Rukmini ... padahal telah kurangkai baik-baik di kepalaku selama ini." Dia mendesah, lalu menoleh sedikit ke arahku. Ingin sekali aku balas menoleh, tapi tak bisa. Senyap dan bisu.

"Aku—"

"Apakah ada yang meresahkanmu Kang Mas?" kuberanikan diri menyahut, tanpa berani menoleh. Tak tahan rasanya melihatnya terus-menerus mendesah resah.

"Sangat meresahkan, Rukmini, dibuatnya aku tak enak makan, tak enak tidur."

"Hal apa yang meresahkan, apakah ada teman gerombolanmu tertangkap?"

"Bukan itu. Kami baik-baik saja, malah kami mendapat banyak nasehat dari seseorang tokoh di Soerabaja, untuk bergabung dengan organisasi Syarikat, agar perjuangan kami lebih tepat dan  terarah. Bukan itu, keresahan yang aku maksud."

"Lalu apa?" kali ini kuberanikan menoleh. Hanya sekilas. Sekilas tapi aku bisa melihat matanya menatap begitu ... aku tak tahu, terasa berbeda saja.

"Aku selalu ... entah mengapa, teringat terus wajahmu." suaranya melemah dengan deheman di ujungnya.

Perlahan namun pasti, detak jantungku berubah dari degub yang pelan lalu makin lama makin cepat. Aku harus menggeser agak menjauh dari Kang Mas Gani yang duduk disisiku. Aku takut debaran ini terdengar dan pasti membuatku  malu nantinya.

"Maafkan ucapanku. Jangan takut Rukmini, aku tak akan berbuat tak pantas padamu. Sama sekali tak terpikir olehku, sungguh," ucapnya sedetik setelah aku menggeser diri darinya.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang