Sembilan

5.2K 870 72
                                    

Apa kabar semua? Sehat-sehat ya ... Ramaikan dong biar seru votenya, seru komennya, aku jadi seru nanti nulisnya. Halah. Kangen ih. Kecup dulu ah, muuaaah
Bantu temukan typo ya dear...
*

Aku masih berdiri linglung di pintu masuk rumah bagus ini. Terlalu lama berdiri di pintu ini karena tidak berhenti merasa takjub dan linglung. Takjub karena rumah ini jauh lebih indah dan resik dibanding rumah yang kutempati bersama tuan Zeigh. Lantainya dari ubin yang mengkilat berwarna abu-abu kehitaman, temboknya di labur putih gading, satu set meja kursi dari kayu jati yang pernisnya amat mengkilat, juga almari berhias bunga setaman dalam wadah cepuk terbuat dari tembaga yang juga mengkilat dengan ukiran indah. Linglung karena mendadak tak tahu harus bagaimana. Rasanya seperti mimpi saja.

Baru sekarang aku merasa betul-betul telah meninggalkan rumah tuan Zeigh. Ada perasaan aneh, seperti saat aku kehilangan sapi milik tuan Zeigh yang kuberi makan setiap hari. Sejak kemarin, aku tak merasakan bahwa aku akan benar-benar pergi dari rumah itu. Rumah yang menyatu dengan hari-hariku semenjak kecil. Rasanya seperti sedang pergi ke pasar saja sewaktu menaiki andong kang Juki tadi. Bukan karena rumah baru ini lebih kecil, tapi banyak sekali peristiwa yang kini mendadak berkelebatan di kepalaku. Seperti saat aku dan biyung Sutinah bahu-membahu membersihkan tiap sudut rumah itu, atau bercengkrama di pawon,  atau ketika mengalirnya nasihat biyung Sutinah dan lain hari  menuturkan penggalan kisah Mahabarata, di undakan teras sembari petan-petanan. Semua kenangan-kenangan itu seperti gambaran mimpi di kepalaku saat ini. Baru terasa sesungguhnya aku benar-benar tak akan kembali ke rumah itu lagi. Rumahku sekarang, di sini. Hidupku akan baru, di rumah baru, meninggalkan kehidupan lama, di rumah lama.

"Ndoro Rukmini, mengapa hanya berdiri di pintu berlama-lama. Maaf saya datang terlambat, tapi kemarin kamar sudah saya bersihkan untuk ndoro Rukmini."

Kakiku terjungkit karena kaget mendengar suara seseorang di belakang punggungku hadir dengan tiba-tiba. Makin terpana setelah tahu Mbok Inah, yang barusan menegurku, adalah emban yang diutus meneer Barend untuk mengurus keperluanku. Mbok Inah terus bicara tanpa henti, bagaimana ia akan bekerja baik dan memastikan segala keperluanku tersedia sebelum beliau pulang pada sore hari dan datang pagi-pagi buta keesokan harinya. Ia berkali-kali memuji meneer Barend yang berbaik hati memperkenankan dirinya bekerja tanpa harus menginap, seperti kebanyakan emban lainnya. Ia begitu bersyukur, mengingat masih memiliki anak yang masih kecil-kecil yang perlu diurusnya.

Mbok Inah kemudian mengajakku berkeliling, menunjukan bagian-bagian dari rumah ini. Kamar mandi, pawon, teras belakang yang begitu mungil namun asri karena ditumbuhi macam-macam tanaman dan bunga. Tak seluruhnya aku mengenal jenisnya, yang aku tahu ada pohon mangga yang telah tinggi dan rindang dan kembang kertas warna-warni. Aku melihat semua itu dalam keadaan bingung. Linglungku belum juga hilang.  Masih melayang-layang seperti menginjak awan saja. Belum lagi sebutan ndoro didepan  namaku. Semua terlalu membingungkan.

Kedatangan nona Mince adalah kejutan berikutnya. Namun, justru kedatangannya mengembalikan kesadaranku, bahwasannya aku sungguh-sungguh tidak sedang bermimpi. Kabar aku diboyong cepat sekali sampai di telinga nona Mince. Ia langsung merasa perlu datang karena tahu aku akan kebingungan seperti sekarang ini. Saat itu juga nona Mince langsung mengajakku pergi ke pasar besar. Aku hanya menurut saat digiring ke andongnya, tapi aku senang nona Mince hadir, seketika perasaanku menjadi tenang.

Selebihnya, kami menjadi sibuk memilih pakaian dan kain-kain untuk dijahit. Melupakan semua perasaan mengambang di pondok baruku itu. Tersamar dengan warna dan model pakaian. Beberapa pakaian yang sudah jadi memang agak longgar, namun saat itu juga nona Mince memperbaikinya dengan mengajakku ke tukang jahit tak jauh dari tukang kain. Sembari menunggu, kami menikmati nasi lengko tak jauh dari sana.

"Setelah kita makan, kita ke kios pupur dan lipen. Mulai sekarang kau harus selalu berpakaian indah dan berdandan cantik, Rukmini. Perlahan nanti kuajarkan cara membubuhkan warna-warna di mata dan pipimu. Untuk kali ini kau cukup bisa menabur pupur dengan rata dan bagus, memulas bibirmu dengan lipen tipis-tipis saja sudah baik," ujarnya dengan wajah bercahaya dan penuh semangat.

"Setiap hari?"

"Setiap hari, kau tak akan tahu kapan meneer Barend akan mengunjungimu, jadi kau harus selalu berdandan rapih sepanjang hari. Kudengar, dia tengah sibuk di Buitenzorg (Bogor) beberapa hari kedepan.  Kesempatan kita untuk menyiapkanmu berubah rupa dari seorang jongos si tua bangka Zeigh, menjadi seorang Nyai yang menawan dan membangkitkan iri dengki perempuan pribumi atau peranakan lain yang masih mengais nasib, sepertimu," ujarnya makin berapi-api.  mata dan bibirnya seolah serempak menebar senyum setiap detiknya.
Sesungguhnya aku tak benar-benar mengerti yang diucapkannya. Yang aku tahu, apa yang dinasehatkan nona Mince selalu berguna pada akhirnya. Aku tak paham menjadi Nyai yang dimaksud bisa menimbulkan iri dengki. Buatku hidupku hanya berubah dari rumah lama ke rumah baru, dari melayani tuan Zeigh berubah melayani meneer Barend. Apa yang berubah sesungguhnya? Hanya berdandan dan memiliki emban? Bedanya aku tak lagi harus masuk pawon, melainkan berdandan saja. Itukah yang membuat iri dengki? Apa enaknya tak bisa masuk pawon? Membayangkan seharian tidak melakukan apa-apa, apa enaknya? Paling memungkinkan yang menimbulkan iri pasti perihal berdandan? Aku rasa begitu, apalagi berdandan memerlukan pakaian yang bagus-bagus. Setiap gadis memimpikan pakaian bagus-bagus. Bagaimanapun, nona Mince lebih berpengalaman, dia tentu lebih tahu banyak dibanding aku, yang hanya berurusan dengan pawon dan ranjang.

Semua tampak baik-baik saja. Kami menikmati hari ini dengan banyak tersenyum dan tertawa. Tertawa yang tak lagi boleh diumbar, melainkan harus kau tutup mulutmu dengan tangan, juga mengecilkan suaranya sedemikian halus, begitu nasihat nona Mince untuk memulai hidup sebagai Nyai. Sepulang dari Pasar besar, kami disibukkan dengan mencoba pakaian-pakaian indah yang baru saja kami beli. Dari mulai gaun ala noni-noni, sampai kebaya anggun yang berwarna terang namun lembut. Kami sibuk mencoba pupur dan lipen, juga wewangian. Agak pusing kepalaku menghirupnya, tapi nona Mince bilang, ini wewangian terbaik dan mahal.

Namun, ketika nona Mince pulang, begitu pun mbok Inah,  sudah pulang sejak satu jam sebelum nona Mince pamit, mulailah rasa gelisah dan bingung kembali menari-nari seperti kupu-kupu di dalam dadaku. Rasa sepi langsung mengurung. Aku belum pernah merasa kesepian, walau tuan Zeigh sedang bergilir ke istri atau gendaannya. Rumahnya tuan Zeigh lebih besar, walau tidak seindah dan semodern rumah ini. Tapi pondok mungil ini terasa lengang dan senyap, setelah nona Mince pergi.

Untuk pertama kalinya aku tidak tahu harus bagaimana. Hanya mondar-mandir di tengah rumah.  Jika lelah, aku akan duduk di kursi panjang yang empuk, menaikan seluruh kaki, seperti yang pernah  kulihat nona Mince melakukannya ketika aku di pondoknya. Tetapi nona Mince melakukannya sambil membaca buku berbahasa Belanda, sementara di sini tidak ada buku, dan aku tak pandai berbahasa Belanda.

Suasana semakin tidak menentu manakala malam mulai mengganti petang, sebuah kendaraan berhenti persis di bawah pohon alpukat. Aku mengintip secelah dibalik gorden jendela. Kendaraan Jeep tanpa atap. Kendaraan yang biasa kulihat melintas di jalan besar, berisi serdadu Belanda atau para meneer menak. Hatiku makin gugup kelut-melut, begitu menyadari meneer Barend lah yang turun dari Jeep berwarna hijau gelap itu. Aku mematung dengan lutut gemetaran.

"Rukmini, apakah kau di dalam?" sapanya dari depan pintu yang tertutup. Aku diam saja, kehilangan suara. Terdiam memandangi pintu yang tertutup dengan kepala kosong-melompong.

"Rukmini, aku tahu kau ada di belakang kau punya pintu, tidakkah sebaiknya kau buka pintu ini dan menyambutku?"

Aku makin kaku seperti kayu. Kali ini lututku mulai terasa lemas, tapi tetap aku berdiri di depan pintu. Tidak beranjak ke mana-mana. Tak lama aku mendengar suara batuknya beberapa kali.

"Jangan takut Rukmini, aku bertandang memastikan kau dalam keadaan nyaman," suara meneer Barend mengambang, kemudian tak lama ia menyambung kalimatnya yang terputus, "juga, ingin membicarakan perihal pelatihanmu sebagai velpleger."

Tanganku tergerak begitu saja meraih gagang pintu dan membukanya. Aku tetap kaku seperti kayu menatap meneer Barend yang begitu rapih dengan drill putihnya yang teramat licin. Ia pun demikian pula, menatapku berlama-lama nyaris tanpa kedip.

***

Wet wet ayo cerewet 😄

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang