Aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. Semoga dia mengerti untuk tidak bersuara. Sudah tidak berani mengatakan apa-apa, meski hanya sekedar, 'jangan gaduh. Sebisanya aku kembali untuk merawat luka lukamu dan membawa semangkuk jangan lodeh untukmu.'
Jantungku terlanjur berdebar dengan perasaan campur aduk. Tidak yakin juga apakah berdebar karena telah memapahnya, atau cemas mendengar panggilan tuan Zeigh yang kali ini terdengar menakutkan. Aku tergopoh masuk dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Saya datang tuan Zeigh. Segera saya jerangkan air," sahutku dari pawon.
Sesaat kusadari suaraku bergetar. Bahkan tanganku gemetar waktu membakar kayu kering. Kakiku juga. Semua bagian tubuhku sepertinya gemetar. Kebingungan dan kecemasan mengurung tubuh ini seperti getaran yang sama. Sempat kukira lindu, namun tak ada teriakan orang-orang kampung. Tentu seharusnya tak boleh begini, aku harus tenang agar bisa mengingat kebiasaan apa saja setelah air mendidih, karena semuanya tiba-tiba lupa.
"Mengapa kau memandangi api dalam tungku, sampai lupa menyiapkan pakaian ganti?" Aku terperanjat sampai terjengat satu langkah ke belakang.
"Maafkan saya, saya cuma memastikan api bagus, tuan. Khawatir kayu belum kering benar. Segera saya siapkan, permisi," ujarku hendak keluar Pawon, namun tuan Zeigh masih berdiri di pintu. Aku kikuk menunggu, tak lama dia merapatkan diri ke bilah bambu, agar aku bisa lewat. Dengan debaran yang masih ribut aku melewati tubuhnya yang menebarkan bau tuak. Aku harus menahan nafas karenanya.
Keluar dari pawon aku merasa mendapat sedikit udara segar dari pintu depan yang terbuka.Walau rasanya aku berjalan seperti melayang.Setidaknya semilir angin bisa mengembalikan kesadaranku melakukan hal yang biasa aku lakukan. Mengambil piyama dari lemari lalu meletakkannya di amben, memindahkan sepatu dan kaus kaki dari bawah kursi ke rak bambu. Menyiapkan kopi dan jadah yang kubakar dadakan, lalu menaburinya dengan serundeng untuk disajikan.
Tuan Zeigh mempunyai kebiasaan wedangan sampai hari gelap sambil menunggu waktu makan malam. Dia akan leyeh-leyeh mendengarkan radio yang memutar lagu lagu dengan irama mendayu-dayu. Biasanya saat itulah giliran aku mandi, sebelum menyiapkan makanan yang kuhangatkan sebentar. Tuan Zeigh tidak suka sayur tersaji terlalu panas. Itu membuatnya menunggu. Jika dia sudah ada di meja makan, artinya makanan harus sudah dalam kondisi siap di makan.
"Rukmini, malam ini temani aku makan, aku ingin bicara," serunya sambi mendongak ketika aku hendak masuk bilikku setelah selesai saja mandi. Bicara apa? Dadaku mulai berdebar lagi.
Cepat-cepat aku masuk—menarik jarit baru dan melilitkannya ke tubuh lalu kembali ke luar dengan tergopoh-gopoh masuk Pawon untuk mengangkat jangan lodeh dan menuangnya dalam pinggan keramik baru. Aku baru bisa ambil nafas saat menata meja dengan deretan nasi merah, jangan lodeh, tempe dan tahu bacem, petay yang sudah dikupas serta sambal bawang kesukaannya.
"Duduklah di sana," tuan Zeigh menunjuk kursi di depannya. Aku jadi tak menentu rasa. Gemetaran ketika menyendokkan nasi untuknya.
Tuan Zeigh seperti sedang memperhatikanku sungguh-sungguh. Perasaanku bilang begitu. Mungkin dia juga sekarang melihat tanganku yang gemetaran, lalu mulai menelisik dengan penuh kecurigaan di kepalanya. Membayangkan itu membuatku gugup bukan main. Demi memastikan kuberanikan diri meliriknya. Melihat apakah sangkaan perasaanku benar adanya.
Duh Biyung ... ternyata tuan Zeigh tengah terpaku menatap dadaku yang masih menyisakan basah. Begitu cemasnya aku, tak sempat lagi (atau lupa) mengeringkan tubuh—langsung melilitkan jarit baru sebagai ganti. Celakanya aku tak sempat lagi memeriksa apakah lilitan jaritku sudah benar. Dan sekarang aku tersipu menaikkan jarit yang hanya melilit setengah dada hingga belahanku begitu tampak.
![](https://img.wattpad.com/cover/235292472-288-k547947.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RUKMINI
Narrativa Storica•The Wattys Winner 2021• Fiksi sejarah, Suspense!! "Dia lahir dari seorang perempuan gila yang diperkosa Pembesar Menak. Dia tumbuh ... Dia cantik ... Dia menuntut balas. Dia Rukmini." ©yannilangen