Dua Puluh Lima

3.6K 546 80
                                    

Aku masih gemetar jika mengingat malam itu. Malam ketika segerombolan orang berseragam dengan topi aneh; topi dengan kain menjuntai menutupi bagian pipi kiri dan kanan mereka. Orang-orang itu berpostur jauh lebih pendek dari Meneer Barend, bermata sipit dan bicara dengan irama menghentak-hentak. Kelak aku tahu mereka adalah tentara Jepang yang baru saja memgalahkan tentara Belanda.

Meneer Barend satu malam sebelumnya, mendengar dari radio Jepang berhasil melumpukan dan merebut markas-markas tentara Belanda  serta gedung-gedung pemerintahan. Meneer memintaku mengumpulkan perhiasan dan benda berharga, lalu menyembunyikannya di suatu tempat. Wajahnya terlihat kaku, dahinya berkerut senantiasa sepanjang waktu. Meneer hanya termangu-mangu ketika aku menanyakan hendak disembunyikan di mana perhiasan dan barang berharga yang Meneer maksud, lalu ia mengangkat bahu, lalu berkata, ‘terserah engkau, Rukmini, dimana saja yang kau anggap aman.’

Sesungguhnya aku tak mengerti mengapa Meneer memintaku menyembunyikan perhiasan dan benda-benda berharga, namun untuk menanyakan kepadanya rasanya tak sampai hati, terlebih melihat raut yang tergambar di wajahnya. Meneer nampak sedang bersusah hati. Aku berpikir dan mencari tempat seorang diri. Sejujurnya aku kebingungan berpanjang-panjang dan merasa putus asa, sebelum aku memutuskan mengubur dua kotak kayu berukir berisi perhiasan emas pemberian Meneer di bawah rimbunan jerami di bekas kandang sapi milik Tuan Zeigh, sementara barang-barang berharga seperti pemutar piringan hitam, peralatan makan perak dan guci-guci aku titipkan di rumah Nona Mince.  Aku tak dapat memasikan apakah tempat-tempat tersebut aman atau tidak, hanya itu yang mampu aku pikirkan dengan otakku yang bodoh ini.

Barulah aku memahaminya setelah malam itu tentara Jepang datang ke Pondok kami dan membawa Meneer Barend pergi bersama mereka. Mereka hanya memperkenankan aku membawakan beberapa potong pakaian Meneer dan memberi waktu untukku semalam lagi sebelum pergi dari Pondok kami, tanpa membolehkan membawa barang-barang selain pakaian saja. Aku ingin ikut malam itu juga bersama Meneer—aku sudah siap dengan pakaianku sendiri, namun mereka melarang; karena aku bukan Belanda totok, hanya totok yang boleh ikut serta bersama mereka.

Aku menangis ketika mereka tak memberitahu kemana membawa Meneer pergi. Lewat seorang saja dari mereka yang bisa berbahasa Melayu, mereka mengatakan; aku terpaksa berpisah dengan Meneer untuk waktu yang tak bisa dipastikan. Aku hanya diminta pergi juga dari Pondok kami secepatnya, karena Pondok kami akan digunakan sebagai kantor mereka. Dan malam itu aku tidur dengan penjagaan tentara Jepang. Batinku tak bisa tenang, sulit memejamkan mata dan tidak merasa nyaman berada dalam pengawasan mereka. Maka dari itu, aku pergi malam itu juga, tidak peduli malam sudah sangat larut. Aku berjalan kaki menuju Pondok Nona Mince.

Aku tak mengerti mengapa air mata jatuh begitu saja: seperti hujan tanpa pertanda mendung dan petir, saat berjalan di jalanan yang lengang dan sunyi. Aku berjalan dan mengingat sewaktu Meneer Barend  menatapku dan seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak terucap bibirnya. Meneer hanya sempat meremas lenganku kuat ketika aku menyerahkan tas kain berisi pakaian yang telah aku kemas. Aku hanya sempat menyisipkan sedikit lembaran gulden ke sela-sela pakaiannya. Tak bisa terlalu banyak, sebab tentara selalu mengawasi gerak-gerikku. Tatapan Meneer tak terbaca apa-apa selain kaku dan tegang. 

Jalanan lebih sunyi dari biasanya dan suara sirine dari kejauhan membuat kakiku berjalan cepat-cepat. Aku tidak takut berjalan di malam buta—dahulu—saat Biyung Sutinah menggantikan sementara, kerabatnya yang sakit diisentri, berjualan ikan di Pasar. Aku ikut menyusul ke pasar induk untuk membantu Biyung Sutinah menurunkan jatah ikan dari truk. Aku bangun terlambat satu jam dari Biyungku dan saat itu pukul tiga dini hari. Namun kali ini suara sirine itu membuatku gugup dan rasa-rasanya langkahku makin cepat dari menit ke menit. Suasana mencekam ini selain membuat langkahku makin cepat, juga membuatku tak berani berjalan di tengah trotoar yang terang, lebih memilih berjalan di pinggir, di bawah rimbunnya dedaunan. Lebih gelap: gelap membantuku merasa aman.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang