Vote dulu yok, tetap seratus atau leboh ya say Sorry belum disisir .. terima kasih yg bantu koreksi. Terima kasih masih setia *
"Begini rupanya penjara bawah tanah, tempat menunggu datangnya ajal," katanya.
Tak ada seorangpun yang menjawab. Mulut mereka mengatup. Tak punya tenaga untuk sekedar bicara—-memilih menghematnya supaya kuat mendorong bola martil yang dirantai di kaki. Mereka berlomba pindah ke sudut ruangan, jika hari mulai gelap, menghindari angin yang dingin menusuk tulang.
Jika pagi datang, mereka bergerak lagi mendorong-dorong bola martil yang beratnya berkilo-kilo itu ke dekat jeruji besi. Menonton langkah kaki-kaki yang berlalu-lalang di trotoar, hanya kaki sebatas tungkai yang nampak. Jika dilihat dari arah trotoar, penjara bawah tanah itu nampak seperti gorong-gorong air. Siapapun bisa mengintip dengan berjongkok, lalu merendahkan kepala. Mereka yang di dalam penjara berharap ada sepasang kaki berhenti, lalu berjongkok, lalu melempar bungkusan daun berisi uraban jagung pulut, untuk sarapan. Harapan mereka tidak selalu terwujud setiap hari, walau tangan mereka sudah terulur ke luar jeruji dan menadah seperti peminta-minta.
Mereka mendapat jatah makan sehari satu kali dengan porsi yang dibatasi; biasanya bubur jagung, atau ketela kukus yang di iris tipis dan diberi parutan kelapa dan taburan garam, disajikan setiap sore hari. Namun, sudah sebulan ini jatah makan tidak sebanyak biasanya, tiap hari isi batok makan, makin berkurang saja.
Sudah tiga malam Ghani mendekam di Penjara yang bau pesing yang merebak dari jeruji besi yang menyimpan bekas cipratan air kencing yang mengering. Bila sudah tak tahan menahan keinginan kencing maka mereka berdiri di depan jeruji besi. Mereka hanya punya jatah mandi dan berak sekali sehari. Berbaris di lorong dengan rapih, dijaga tiga, sampai empat Polisi dengan senapan di tangan, lalu seorang petugas akan membuka gembok rantai dan menggiring mereka ke kamar mandi dengan pancuran yang berdekatan dengan bilik kakus.
Ghani berhasil mengajak seorang kakek berbincang-bincang, pada malam kedua; setelah hampir seluruh penghuni selnya tidur. Kakek itu telah dipenjara selama dua tahun (Kakek itu memghitungnya dari dua lebaran yang sudah dilaluinya di penjara ini), karena dianggap mata-mata. Ia biasa berjualan kacang dan pisang rebus di depan gubernuran.
"Bagaimana awal mula dianggap mata-mata?
"Saya tidak tahu. Suatu siang tiba-tiba saja saya diseret petugas Polisi dari dalam rumah gubernuran."
Menurut Kakek itu, Ghani diminta siap-siap saja menunggu ditembak mati atau dibiarkan mati kena penyakit di sini. Ia sudah tak asing dengan orang mati yang diangkut keluar dari waktu ke waktu, katanya.
"Setahu saya, tempat ini hanya untuk menunggu kasus kita disidangkan."
"Saya tidak pernah dengar, saya akan disidang, selama saya di sini, orang-orang yang keluar dari sini karena sakit, atau sakit yang lalu mati atau mati sendiri. Entah sebelum saya masuk."
Saat itu bulan nampak selengkung tipis, sesekali awan mengerumuni, lalu memendar pelan-pelan. Ajal di pelupuk mata Ghani. Begitulah ia merasakan kedekatan ajalnya malam itu. Sepak terjangnya berhenti di sini, pun benaknya berkata demikian. Ghani mendekat pada tumpukan bola martil yang belum terpakai, tempat ia menyembunyikan beberapa linting kreteknya di malam sebelumnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.