Sebelas

4.9K 848 70
                                    

Aku berjalan terhuyung dan terseok-seok di jalanan sepi mencari apa saja yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Entah batu besar, rimbunan semak, bangunan kosong, atau apapun. Aku sudah tak kuat berjalan lagi. Tungkai sebelah kanan ini mungkin tulangnya sudah remuk. Sangat merepotkan karena aku harus menyeretnya dengan rasa nyeri yang berdenyut-denyut. Tak tahu pasti juga, apakah nyeri dengan denyutan ini datang dari tungkaiku atau kepalaku yang berdarah. Tak ingat juga berapa kali tubuhku kena hantaman kayu atau besi dari kerumunan orang-orang yang marah tadi. Aku hanya berfikir lari dari kerumunan sebelum aku mati dihajar orang-orang beringas itu  Aku masih bisa berlari, beberapa saat lalu. Lari cukup cepat sebelum tiba-tiba ambruk pas berbelok ke jalan ini. Saat aku bangkit tungkai sebelah kanan tak bisa lagi berdiri tanpa di sanggah tangan. Sementara suara teriakan orang-orang marah masih terdengar di kejauhan. Aku yakin aku sudah jauh, karena suara mereka juga terdengar jauh. Tapi aku belum cukup aman sebelum menemukan tempat bersembunyi. Sementara jalanan ini tak menjanjikan apa-apa selain trotoar yang membentang panjang. Tidak ada pohon, batu besar atau bangunan kosong. Hanya tembok tinggi menjulur sejajar trotoar, dan ... tungkaiku remuk. Aku hanya menyeret kaki-kakiku agar terus bergerak meski sempoyongan oleh nyeri dan denyutannya, berharap menemukan sesuatu, apa saja untuk bersembunyi.

Suara teriakan mereka makin terdengar dekat, sementara aku mulai kehabisan nafas. Kepayahan. Aku mulai berfikir bahwa aku tak akan selamat. Tak ada harapan. Aku akan mati dihantam pentungan kayu dan besi mereka. Membayangkan aku mati mengenaskan membuat jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba celanaku menghangat. Aku kencing, tanpa pernah merasa ingin kencing. Keluar begitu saja.

"Kita berpencar, kau, kau dan kau ke kiri, sisanya ikut aku ke kanan!"

Itu mereka, rintihku dalam hati. Rasanya tubuhku langsung limbung seolah dunia ini mulai berputar. Aku makin paksa kakiku berjalan lagi. Menyeret lagi tungkaiku yang remuk. Merasa percuma, namun aku merasa harus melakukannya, sebelum ... hanya sedetik dan sekilas aku melihat jeruji besi penutup got berjarak kurang lebih tiga langkah di depanku. Selanjutnya instingku yang bekerja, bagaimana aku menjatuhkan diri, mengangkat, maksudku menggeser tutup got dengan sisa-sisa tenaga. sangat berat, tapi aku cuma punya peluang ini dan sisa tenaga penghabisan. Suara di belakangku makin dekat ... ya, aku berhasil masuk dengan erangan tertahan karena tungkaiku yang remuk membentur beton dan hanya satu detik kesadaran untuk menutup jeruji besinya kembali.

Aku mundur dengan bokongku, menyembunyikan diri dalam gelap, dalam himpitan gorong-gorong dengan diameter tidak besar. Aku bisa menyentuh beton di atas kepalaku dengan tangan masih menekuk siku. Aku menghindar dari cahaya lampu jalanan yang menerobos lewat jeruji besi. Cahaya itu membentuk bayangan garis-garis di ujung celanaku. Aku ingin menekuk tungkai, tapi sakitnya luar biasa, sedangkan ketika aku coba mundur lagi, punggungku mentok tertahan sesuatu. Tak bisa bergerak lagi, dan suara-suara itu makin keras, artinya mereka berjarak dekat dengan tempatku bersembunyi. Aku coba paksa mundur lagi. Mentok. Kupaksa sekali lagi, karena sesuatu di belakang punggungku bukan benda keras. Benda itu lunak tapi berat untuk di geser. Tetap mentok.

Sekarang kaki-kaki orang yang mengejarku berhenti di atas got. Aku lihat dari celah jerujinya. Mereka berada di atasku. Aku berdebar, nafasku yang memburu saja belum reda, dan sekarang ujung celanaku masih terkena pantulan sinar lampu. Hanya ini tempat teraman saat ini. Tak ada lainnya. Tapi celanaku pasti terlihat jika seseorang bersimpuh lalu mengintip jeruji besinya. Tanpa pikir panjang, aku  tekuk paksa tungkaiku yang remuk. Kraaaaakkk! Bunyi dari dalam tungkaiku persis seperti bunyi ranting kering yang diinjak, dan aku tak siap dengan rasa sakitnya. Kubekap mulutku kuat-kuat, tak lagi membekap, aku bahkan mencengkram mulutku sendiri untuk menahan sakit. Mataku buram entah oleh air mata atau memang buram.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang