18 (a)

4K 665 49
                                    

Terimakasih yang berkenan koreksi 💙
*

Waktu berganti waktu seperti mengaduk segala hal menjadi serba membingungkan. Rukmini merasa kelimpungan, tak paham dengan dua kubu dihatinya; antara Ghani dan Meneer Barend, yang mendapat tempat di dalam perasaannya, ibarat dua laci dalam satu meja kerja. Perasaannya bekerja demikian: Satu laci bernama Ghani, laci lainnya bernama Meneer Barend. Terpisah, dengan mengisahkan perasaan syahdu merayu yang berbeda namun sama-sama tersimpan rapih di dalam hati.

Sementara Ghani semakin dibuat rumit dengan letupan cintanya. Kenyataan menjadi rumit, sebab ia tak bisa lagi menemui Rukmini setelah mendengar cerita tentang kertas-kertas dan bukunya yang hampir terpergok Meneer Barend. Berulang ia mendesah resah menyesalkan kemungkinan ia tak dapat lagi menemui dan berbincang dengan Rukmini setelah ini—justru ketika ia dan Rukmini sedang berkobar-kobar oleh perasaan yang sama,  membakar gairah yang sama; cinta dan nasionalisme.

Bagi Ghani ini perasaan hebat yang ia rasakan dari seorang gadis yang digandrunginya. Selama ini, setiap ia mengenal dan minat pada seorang gadis, ia senantiasa menyembunyikan jati diri yang sesungguhnya, supaya identitasnya tidak terbongkar  sebagai Pemuda Pergerakan, atau orang kebanyakan menyebutnya gerombolan. Dimatanya Rukmini bukanlah seperti gadis kebanyakan. Betul, Ghani memang menyangkal—terang-terang ia seorang Nyai, namun dihatinya Rukmini tetaplah seorang gadis, bukan Nyai, terlebih-lebih gadis yang ia minati dan cintai. Ghani ingin terus mengingatnya begitu, menyingkirkan jauh-jauh sosok Meneer dari kenyataan.

Ghani bukanlah pemuda polos dan dibutakan cinta. Ia hanya sedang merasa senang untuk pertama kalinya. Ia senang menjadi dirinya apa adanya. Ghani yang seorang ketua gerombolan, tanpa berpayah-payah mengelabui atau menyamar dihadapan gadis yang diminatinya. Seperti yang terjadi kala dulu.

Dua tahun lepas, Ghani harus mengaku sebagai kuli angkut pelabuhan pada Bapak dari seorang gadis di pasar ikan, di pelabuhan Sunda Kelapa. Seorang gadis yang menarik perhatiannya, bernama Ningrum, umur enam belas, anak seorang pedagang ikan yang kerap membantu ayahnya berdagang.

Waktu itu ia sedang mencari perahu besar untuk dipinjaminya dari Nelayan di Pelabuhan. Perahu yang nantinya akan digunakan sebagai tempat rapat anggota pergerakan pada tengah malam. Perahu itu dipinjam dengan alasan sebagai tempat beristirahat dirinya dan beberapa kawan—menunggu kapal pengangkut tapioka berlabuh yang datang setiap satu pekan sekali pada dini hari.

Nelayan yang dipinjami biasanya mengijinkan atas rasa iba pada para buruh angkut yang jauh datang dari luar Batavia, tak memiliki kerabat untuk sekedar beristirahat, berikut syarat; selalu mewanti-wanti agar tidak menumpahi kapal dengan tuak atau minuman.

Ghani dengan segera lantas berjanji; ia dan lima atau enam rekannya tidak akan minum tuak, hanya minum kopi, lalu meyakinkan si pemilik perahu akan berhati-hati—tidak menumpahkan ampasnya. Di perahu-perahu itulah biasanya Ghani dan anggota pergerakan mengadakan rapat rahasia membahas berbagai isue atau berbagi informasi: dari dan ke kesatuan pergerakan lainnya.

 Di perahu-perahu itulah biasanya Ghani dan anggota pergerakan mengadakan rapat rahasia membahas berbagai isue atau berbagi informasi: dari dan ke kesatuan pergerakan lainnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang