18 (b)

3.6K 646 59
                                    

Maaf belum di edit benar, terima kasih yang bantu koreksi.
*
Oh ya, tentang rentang waktu memang tak dibuat detil ya. Namun banyak clue yang setidaknya menggambarkan kisaran tahun kisah ini. Memang saya sengaja karena saya ingin menitik beratkan pada kisah fiksinya, bukan fakta sejarahnya. Semoga paham ya.. tetap ramaikan vote dan komennya lho🙏💙 enjoy ...
*

Detik-detik ketika berpamitan pada Rukmini adalah kenangan yang tersimpan dan dijaga selamanya di dalam hati Ghani. Detik-detik ketika mata Rukmini terpejam, kemudian tarikan nafasnya yang panjang berusaha diembusnya sedemikian lembut, disertai lenguhan tertahan. Ketika Ghani benar-benar pergi, ia pergi dengan berjalan mundur. Ia tak  ingin memperlihatkan punggung padanya. Dilihatnya dagu Rukmini terangkat tengadah, memperlihatkan raut wajah, antara bingung dan tak percaya. Semuanya terekam dalam tiap detiknya di benak Ghani, membuatnya sulit tidur.

Tubuh Ghani terbaring di tikar, lalu bangkit duduk memeluk lutut di sudut kamar sempit—-lebih pas disebut sudut gubuk sempit. Di sisi lain tampak terlelap tubuh renta seorang Penjaga Kuburan, meringkuk menghadap bilik bambu yang berlubang-lubang dan berwarna kehitaman karena kusam di makan waktu. Suara dengkuran kerasnya bersahutan dengan derik binatang malam.

Di sini Ghani tinggal selama ini, atas kebaikan si Tua Renta itu—di tengah nisan-nisan dengan tulang belulang jasad-jasad mati di bawah tanahnya. Tempat sempurna untuk persembunyian. Ia diburu untuk mati, maka ia bersembunyi di tempat orang mati.

Udara lembap membuat ruangan terasa gerah. Ghani berdiri dan membuka jendela kayu dan terpegun menatap barisan nisan yang diterangi redupnya cahaya bulan. Tak ada angin berembus, namun ia berharap pikirannya berhenti bekerja dan menyerah pada tubuhnya yang menuntut beristirahat.

Matanya menatap separuh bulan yang tertutup ranting dan daun Kamboja. Tiap lekukan ranting-ranting menuntun kata di kepalanya menjadi bait-bait penuh rayuan untuk Rukmini. Ia mencatat di benaknya, lalu menghapusnya kembali dan tersenyum malu, menyadari betapa cengeng merengek bait yang dibuatnya untuk Rukmini. Tak berputus asa, ia mencoba menyusun lagi baitnya, hingga menemukan yang sesuai kata hatinya:

Bulan dipagari ranting Kamboja
Makin lekat mata indah bentuknya
Bagai Bujang lapuk mencuri lihat
Senyum manis dara pujaan

jangan bersusah hati
hatiku atau hati engkau
walau angin tak berdesau
sampaikan kata rindu

kita akan bersua kekasih
sama bintang dan bulan
pada malam yang malang
liuk ranting memadu kasih

Yang Mengasihimu
— G —

Ghani terlonjak, berlari serabutan ke luar gubuk sambil terus mengulang larik di benaknya barusan, matanya jalang pada tumpukan kertas bekas wadah semen, menyobeknya, lalu berlari lagi, mengitari sisi lawan gubug—-sisi dinding dimana si Renta menghadapkan tubuhnya—-meraih potlot pendek yang terjepit di anyaman biliknya, kemudian tergesa menulis dengan mulut komat-kamit. Lalu membusung bangga membaca bait yang tertulis. Aku serupa Pujangga!

Ghani kemudian berjalan cepat ke arah pohon Kamboja, diantara dua patok nisan terdapat gundukan tanah setinggi pinggang yang ditumbuhi rumput liar yang lebat. Digundukan itulah tergeletak sepeda kumbang milik si Tua Renta. Ghani meraih sepeda dan menuntunnya ke jalan setapak yang membelah area perkuburan menjadi dua.

Bibirnya gagal menahan senyumnya yang tak henti terukir, matanya bercahaya, serta hidungnya kembang kempis. Tetap begitu hingga jalan setapak habis berganti jalanan lebar, di sanalah ia mulai mengayuh. Angin menerpanya, menggerakkan anak rambut, kerah baju dan lengan kemejanya.

Ghani mengayuh hingga jauh, meliuk di dua kelokan, satu turunan dan dua tanjakan, lalu setelahnya jalanan aspal membentang lurus dan rata. Ditemani suara  derit rantai yang minta diminyaki, ia terus mengayuh menuju gedung pelatihan juru rawat yang berjarak setengah sepanjang jalanan lurus yang dilaluinya itu.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang