Tujuh

5.5K 887 62
                                    

Tuan Zeigh menahan gemeletuk gigi pada rahangnya yang mengeras. Darahnya bergejolak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ia sampai harus mengalihkan matanya dari orang yang  duduk dihadapannya sekarang. Mulanya ia gembira di panggil ke mari, ke kantor karisidenan. Orang penting memanggilnya secara pribadi tentu menyangkut urusan rahasia. Mungkin ada urusan yang harus diselesaikan secara rahasia pula—yang sudah-sudah biasanya begitu.

Bayangan puluhan gulden tak mau pergi dari pelupuk matanya, sepanjang perjalanan dengan Henderson four miliknya. Kegundahan hati atas tuntutan istri dan gendakannya bakal pupus. Seperti kemarau yang disapu hujan. Senyumnya cukup membuat giginya kering, enggan terkatup. Tuan Zeigh bahkan sudah membayangkan menyisakan selembar gulden, demi menjahitkan kebaya paling indah untuk Rukmini, setelah apa yang telah dinikmatinya dua malam lalu, yang begitu luar biasa.

Namun, hujan petir jualah yang menghanyutah seluruh gambaran yang indah-indah dikeplanya itu dalam sekejap. Meneer Barend yang ditemuinya, terus mengajaknya bicara tentang Rukmini. Sebagai laki-laki, dia tahu arah pembicaraan ini akan berujung kemana. Yaitu, mengambil alih kuasanya atas Rukmini.

Ingin hasratnya melempar kursi yang didudukinya kini, ke wajah Londo totoknya itu. Namun hatinya mendadak layu begitu Meneer Barend mengatakan sejumlah angka gulden. Jumlah yang tadi menar-nari dikepalanya. Tuan Zeigh membutuhkan gulden demi membungkam kerewelan istri dan gendakannya akhir-akhir ini. Dari uang gulden meneer Barend, Ia tak harus mengais gulden yang tak seberapa, dari tuan tanah peranakan Tionghoa dengan rekayasa seolah-olah mereka tengah diusik, lalu datang bak pahlawan, menadahkan tangan demi satu gulden ke satu gulden lainnya.

Iming-iming meneer Barend besar sekali, sebesar risaunya yang menggunung tiba-tiba. Ia tahu, tak ada yang berani menolak seorang Meneer Barend, jika ingin posisi karirnya tetap nyaman. Sudah menjadi rahasia umum seorang Barend bisa melempar keroco peranakan sepertinya ke tempat sampah tanpa iba, apalagi belas kasih, kapanpun ia mau. Taruhannya terlalu besar jika ia tetap menggenggam Rukmini kuat-kuat. Ia hanya bisa geram sekaligus menyembunyikannya di hadapan meneer Barend. Dadanya sudah penuh ditekan perasaan marah, sekaligus menjaganya agar tak meledak saat ini.

"Boleh saya bicarakan ini terlebih dahulu dengan Rukmini, meneer Barend yang saya muliakan," rintihnya sedikit bergetar. Ia membenci suaranya yang terdengar merintih dan bergetar. Menjijikan.

"Ya, ya kita perlu yakinkan tekadnya bulat-bulat toh. Cita-citanya itu sangat penting. Ik sudah siapkan pondok dan seorang mbok Emban untuk melayaninya di pusat Batavia,  dekat dengan rumah sakit Sadsverband (RS Cipto), tempat Rukmini akan dilatih menjadi  velpleger (juru rawat) nantinya. Atur sebaik-baiknya waktu, kapan Rukmini bisa pindah ke Struiswijk (jalan Salemba)."

Meneer Barend kemudian meletakkan segepok gulden di meja, persis sejajar dadanya. Dada yang mendadak kosong melompong.
Lututnya lemas. Perkataan meneer Barend mengunci segala upaya untuk menahan Rukmini tetap digenggamannya. Sangat jelas tersirat dan tergurat, keinginan si totok Barend ini, tak bisa ditentang. Menentangnya sama dengan bunuh diri. Tak bisa lain yang bisa dilakukannya saat ini, selain berdiri dan mengantungi segepok gulden di saku celananya yang panjang—hingga gepokan yang menyembul hampir menyentuh pahanya, lalu undur diri sebelum meneer Barend mengusirnya. Malang tak bisa ditolak lagi.

Pikirannya semrawut, makin kusut dihembus angin yang menerpa di sepanjang jalan yang dilintasinya. Ia tak tahu lagi hendak menuju ke mana, walau arah yang dilajunya mengarah ke jalan pulang. Sesungguhnya hatinya tak sungguh-sungguh ingin pulang.

Menit-menit berikutnya, amarahnya menuntun dia ke kedai tuak. Laki-laki sepertinya tak bisa lari dari masalah, tidak pula punya nyali untuk menghadapinya. Mungkin tuak akan membantunya. Setidaknya dia bisa melempar gundah barang sebentar. Berpura-pura menjadi sosok berkuasa dengan memberi uang pada wanita-wanita penghibur yang mengelilingi. Dia bisa meremas susu siapapun, segemas rasa hatinya yang teremas pilu. Dia bisa menciumi perempuan-perempuan itu dengan bau wangi murahan yang menusuk nafsunya, sebusuk melihat dirinya yang tak berdaya di hadapan meneer Barend.

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang