Terima kasih masih setia 🙏 jangan lupa berkenan votenya teman2. Jika ingin cepat update saya tunggu 100 vote nya ya.. terima kasih sebelumnya.
Terima kasih yg bantu koreksi.
***Kemarin Dulu
Nona Mince memintaku membujuk Tuan Zeigh, agar tidak melaporkan kejadian memalukan (menurut Nona Mince) yang melibatkan aku. Nona Mince terlihat tidak yakin pada ucapannya sendiri, sesaat setelah ia melontarkan pendapatnya: 'sungguh perbuatan yang akan mencoreng wajahnya sendiri, jikalau, si Tua Bangka itu mengadukannya kepada Meneer Barend.'
"Kenapa rupanya?" tanyaku.
"Dia yang bersedia melepasmu demi Meneer Barend, dia sendiri yang mengantarmu ke Pondoknya. Mengadukan mu sama saja dia menyerahkan nyawanya pada Meneer."
"Mengapa bisa demikian?"
Tetapi ia tak menjawab, bola mata Nona Mince melirik ke sudut, lalu ke atas, lalu dahinya berkerut sebelum mengatakan; "tapi ada baiknya berjaga-jaga Siapa tahu dia memang bodoh. Sebaiknya kamu bertemu si Tua bangka itu dan memastikan dia tak melakukan kebodohan."
"Bagaimana cara memastikan?"
Nona Mince malah menunjukkan tabiat pemarahnya, alih-alih menjelaskan yang belum kupahami maksudnya. Panjang lebar memarahiku. Menarik napas panjang sambil mengeluh; 'mengapa kau lamban, selalu bertindak menyerempet bahaya, tidak memikirkan akibat buruk yang bisa terjadi,' dan masih banyak keluhan lainnya.
Satu-satunya yang ia benarkan, bahkan pujian terlontar dari bibirnya, lalu merasuk ke dalam hatiku dengan rasa yang menyenangkan. Ia mengatakan gaun yang kukenakkan malam itu amat cantik. Aku terlihat peranakan, katanya, ia bahkan mengatakan aku peranakan tercantik di Batavia. Lalu ia memarahi tata riasku yang pucat. Selanjutnya … ia memarahi hal-hal lain lagi, namun tak kuingat, seolah telingaku tak mendengar, aku hanya mengingat pujiannya saja.
Pada akhirnya Nona Mince jatuh kasihan dan mau menjelaskan apa yang dimaksud "memastikan": bahwa aku harus datang menemui Tuan Zeigh dengan budi bahasa yang baik, menanyakan kesehatannya dengan penuh perhatian dan memujinya dengan kata-kata manis dan bersungguh-sungguh. Aku berterima kasih pada Nona Mince dan tak berani bertanya lagi, walau sebenarnya aku belum mengerti. Aku takut akan menambah kemarahannya dan aku tak ingin melihatnya marah. Nona Mince terlihat bukan seorang yang baik jika sedang marah. Kata-katanya seperti petasan renteng di Klenteng ketika perayaan Hopengan. Bising dan tidak enak di dengar, padahal jika tidak sedang marah, suaranya indah, kata-katanya terdengar terpelajar dan menyejukkan hati.
Toh, aku ikuti juga sarannya untuk menemui Tuan Zeigh keesokan harinya. Bukan di rumah; sebab sejak kejadian Meneer Barend mendatangi rumahnya kala dulu, Tuan Zeigh melarangku menginjakkan kaki di sana. Dengan ancaman; jika saja aku berani ke sana, maka rumah itu akan dibakar hingga menjadi abu. Aku ketakutan dan memilih patuh. Jika rumah itu menjadi abu, aku tak akan bisa lewat lagi ke rumah itu dan tak bisa membayangkan, Biyung Sutinah duduk di undakan ubin teras sambil melantunkan tembang. Suaranya seolah melekat di telinga, masih terngiang-ngiang dan rasa-rasanya baru kemarin Biyungku masih hidup.
Padha gulangen ing kalbu,
ing sasmita amrih lantip,
aja pijer mangan nendra,
kaprawiran den-kaesthi,
pesunen sariranira,
cegah dhahar lawan guling.Terjemahan:
Hendaknya merenung dalam hati
Supaya tajam batinnya
Jangan hanya makan tidur
Keperwiraan diusahakan
Kendalikan dirimu
Cegah makan dan tidur

KAMU SEDANG MEMBACA
RUKMINI
Ficção Histórica•The Wattys Winner 2021• Fiksi sejarah, Suspense!! "Dia lahir dari seorang perempuan gila yang diperkosa Pembesar Menak. Dia tumbuh ... Dia cantik ... Dia menuntut balas. Dia Rukmini." ©yannilangen