Tiga Belas

4.6K 769 74
                                    

Aku mengenali sosoknya meskipun hanya serupa bayangan gelap. Ia bersandar di batang Pohon besar entah menghadap ke mana. Hanya siluet saja yang nampak. Aku mencium gelagat situasi yang mengkhawatirkan jika aku tak cepat menemuinya. Sengaja aku melewati pintu belakang yang terhubung pekarangan samping, dari sana aku akan mencari tahu untuk apa di malam buta ia datang dan bersiul menyerupai kicauan burung.

"Tuan Zeigh, apakah Tuan yang bersiul?" aku sengaja berbisik agar tak ada kegaduhan yang bisa membangunkan Meneer Barend.

"Betul, aku orangnya, Rukmini. Rumah sepi dan kotor benar sekarang. Aku selalu merasa sakit berlama-lama di rumah itu," sahutnya ikut berbisik.

Bau tuak meruak tajam. Membuat kepalaku pening. Ia bergerak oleng setelah menarik tubuhnya dari batang pohon. Tuan Zeigh bergerak mendekat. Untung saja aku berdiri tepat di sisi paling gelap, bagaimana pun aku tak ingin seorang kan melihat.

"Biar esok saya datang bertandang untuk membersihkannya. Tuan tak perlu khawatir akan sakit lagi."

Benakku sesungguhnya heran, mengapa Tuan Zeigh tidak berdiam diri saja di rumah istrinya yang besar, atau di pondok gendakannya yang resik. Bukankah ia pernah berkata akan mengambil satu gadis dari rumah Tuak langganannya itu?

"Kau tidak bisa datang ke rumah. Kau sekarang bukan punyaku atau anakku lagi," Tuan Zeigh maju dua langkah dengan tubuh membungkuk, lalu sempoyongan sambil menempelkan telunjuknya di bibir ketika berbisik lirih. kepalanya menggeleng beberapa kali. "pssst, lihat dirimu sekarang. kau adalah seorang Nyai seorang pembesar totok. Kau bahkan bisa menyuruhku menggorok leherku sendiri dan aku pasti meluluskannya. Mana bisa seorang Nyai membersihkan kotoran di rumahku. Sama saja kau membersihkan aku dari muka bumi!" ludahnya memercik kian kemari dalam nada bisikan yang dihentak-hentak.

Tuan Zeigh selalu melantur jika lepas minum di kedai Tuak. Seharusnya ia pulang, lalu mandi air hangat dan mengganti drillnya yang bau dengan piyama dan tidur, seperti kebiasaannya. Tapi ia malah bertandang ke sini, di jam yang tidak lumrah untuk bertamu. Namun, aku mana berani menasehatinya. Biasanya aku langsung menjerang air untuknya mandi dan Tuan Zeigh akan mandi dengan sendirinya.

"Tuan tidak perlu khawatir, saya akan datang dan membersihkan rumah saat Meneer berangkat kerja," kataku menenangkannya.

"Tidak, Rukmini, itu berbahaya!"
Sekali lagi Tuan Zeigh menghentak nada suaranya, sampai terdengar seperti tercekik sendiri. Matanya melebar, lalu ketakutan seperti sedang melihat hantu.

"Aku tidak ingin leherku digorok, seperti Biyungmu yang gila! Kau bahkan sudah dikawal Centeng ke mana-mana, Sarifudin sempat melihatmu dijemput kendaraan roda tiga. Jika kau diantar centengmu itu ke rumah, habis sudah dunia ini. Kiamat Rukmini."

Jantungku seperti dicabut paksa hingga akar-akarnya menjuntai di depan mukaku ini. Ludah yang kutelan rasanya perih. Aku diam menunggu ia menyebut nama Kang Mas Gani musuh besarnya itu meluncur dari mulutnya. Menunggu aku kena amukan amarahnya karena anak buahnya Sarifudin melihatku dengan Kang Mas Gani.

Rongga dadaku seperti bolong tak ada bunyi apa-apa. Seperti tong melompong. Satu, dua, hingga enam tarikan nafas, Tuan Zeigh tak juga bersuara. Ia hanya termangu tanpa bisa berdiri tegap. Badannya doyong kian kemari. Aku sesungguhnya khawatir dia ambruk, lalu tubuh besarnya jatuh ke tanah menimbulkan bunyi gedebuk, sedangkan malam begitu sunyi.

"Aku tidak ingin berurusan dengan Centengmu, jadi urungkan kemauanmu membersihkan rumah, mengerti?" Aku lekas mengangguk. "Sekarang aku lega bisa melihatmu meski hanya sekejap. Aku hanya rrrnndzzu-" Suaranya tak jelas seperti ditiup angin, pelan tapi hembusannya menelan suaranya dalam dingin. Rahangku dan gigi ini sudah gemelutuk.

"Aku lebih baik pergi, aku lelah dan ingin lekas tidur. Ingat, kau harus berhati-hati meskipun sekarang kau seorang Nyai. Para pembesar totok itu boleh terlihat baik diluar, tapi di dalam, kadang tersimpan kekejaman yang membatu. Dia akan berikan batu itu pada para keroco untuk dihantamkan hingga lehermu putus. Aku tak berani main-main. Aku harus pulang sekarang."

RUKMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang