sepuluh

285 54 0
                                    

Zero dan Norrix langsung menatap Carmina dengan tatapan kesal. Carmina benar-benar tidak peduli dengan hidupnya sendiri. Carmina juga lelah, mudah saja jika mereka mengatakan mereka akan membantunya. Bahkan hingga detik ini Carmina masih tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Jangan berbicara seperti itu kak, tidak ada yang tahu masa depan. Mungkin saja takdir kakak akan berubah di kehidupan kali ini," tegur Zero.

Carmina memutar matanya. "Sudah aku bilang, jangan memanggilku kakak. Hm, aku juga berharap takdir hidupku berubah setelah aku mengalami hal itu selama dua puluh kali. Kau yang hanya anak kecil tidak mungkin mengerti apa yang aku rasakan,"

"Tapi kau memang tak boleh menyerah sampai sini, Carmina. Aku tahu jika kau selalu mendapatkan takdir yang menyakitkan, begitu juga di kehidupan kali ini. Namun, bagaimana penderitaanmu itu tidak akan berakhir? Kau mungkin akan terlahir kembali secara menerus tanpa henti. Apakah kau tak ingin menghentikannya?" tanya Norrix.

Carmina tertegun mendengar kata-kata Norrix. Benar, dia tidak tahu kapan itu berakhir. Mungkin saja itu memang tidak akan pernah berakhir selamanya. Hidup dengan penderitaan dan juga mati mengenaskan? Carmina tidak mau mengalami hal itu selamanya!

"Lalu, apakah kau mempunyai solusinya, Norrix? Kita hanya mempunyai petunjuk nama dan tanda lahir ini. Aku rasa wajahku yang selalu sama setiap lahir kembali itu tidak terlalu penting. Kita tidak akan menemukan apa pun hanya dengan petunjuk itu," dengus Carmina.

"Lebih baik kau selesaikan masalahmu dengan adikmu terlebih dahulu. Kau pikir aku tidak memikirkan petunjuk itu sebelumnya? Jika perlu kita akan mencari petunjuk itu hari ini juga, Carmina. Sepertinya aku sudah mengetahui siapa yang melakukan hal ini," jawab Norrix.

Zero menatap Carmina dengan tatapan memohon. "Kakak, aku mohon, kembalilah ke rumah. Aku berjanji kita akan kembali seperti dulu. Kalian bisa tertawa dan tidak perlu memikirkan apa yang akan kalian makan besok. Aku akan segera menemukan lokasi kak Senka dan kak Leeta,"

"Baiklah, aku akan pulang, tapi aku memiliki syarat," Carmina menjeda kata-katanya dan Zero tersenyum gembira dengan jawaban kakaknya. Norrix yang tahu jika Carmina akan berbuat aneh lagi hanya bisa memejamkan matanya.

"Bunuh ayah dan ibu. Aku tidak ingin melihat mereka saat aku kembali. Lagi pula mungkin aku akan berakhir dijual kepada pria hidung belang jika aku berani pulang ke rumah tanpa tahu malu," lanjut Carmina sambil tersenyum.

Zero mengangguk. "Baiklah. Aku akan membunuh mereka secepatnya. Kau tenang saja kak, kita akan hidup kembali seperti dulu. Aku pergi dulu, kak Carmina. Aku yakin ayah akan segera menemukanku di sini,"

Norrix menatap kepergian Zero dengan tatapan tidak percaya. "Astaga Carmina, aku tidak menyangka kau akan menyuruh adikmu untuk membunuh orang tuamu sendiri. Apakah bagimu ini terlihat menyenangkan? Aku tahu aku tak berhak menghakimimu tapi tentang hal ini, aku tidak yakin,"

"Aku tidak peduli jika kau akan menghakimi. Aku berpikir jika aku berbuat baik maka penderitaan ini akan berakhir. Namun, itu semua hanya pemikiran naif. Setiap aku berbuat baik maka ada saja orang yang mencurigai jika aku memiliki motif lain. Bahkan mungkin kali ini juga begitu," jawab Carmina.

Norrix hanya terdiam mendengar jawaban Carmina. Perempuan dingin itu benar-benar misterius. Norrix benar benar mengerahkan segalanya untuk mendapatkan hati Carmina. Namun, perempuan itu bahkan tidak mencintai dirinya sendiri.

"Ah, apa maksudmu jika kau sudah mengetahui sesuatu tentang petunjuk itu? Jangan bilang kau mengatakan hal itu agar kau bisa terlihat keren di depan Zero? Kau sepertinya tidak akur dengan adikku," ucap Carmina.

Norrix mendelik. "Mana mungkin! Aku mencoba melihat-lihat kasus yang melibatkan dunia atas dan juga dunia bawah. Lalu ada sebuah mitos yang mengatakan jika kau memiliki tanda berbentuk sayap di tanganmu, maka malaikat atau iblis sedang mengawasimu. Menurutmu siapa yang mengawasimu?"

"Aku tidak tahu. Lagi pula siapa yang percaya mitos itu? Aku tidak sepenting itu untuk diawasi oleh iblis atau pun malaikat. Apa mereka benar-benar bosan sehingga memilih untuk menghabiskan waktu mereka dengan mengawasiku?" keluh Carmina.

"Ini hanya hipotesisku, Carmina. Lalu kau pikir manusia biasa mampu membuatmu mengalami penderitaan seperti ini? Tidak mungkin. Pasti ini adalah campur tangan iblis. Aku yakin kau melakukan sesuatu pada mereka di masa lampau," sahut Norrix.

"Aku lebih berpikir jika ini perbuatan malaikat. Malaikat memiliki autoritas lebih besar dari pada iblis. Ada pepatah yang mengatakan jika kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan. Bukankah itu berarti malaikat pasti selalu bisa mengalahkan iblis? Jika aku menggunakan hipotesismu, aku yakin ini adalah perbuatan malaikat," jawab Carmina.

Norrix mengerutkan keningnya. "Kau sendiri yang mengatakan jika malaikat adalah lambang kebaikan. Kau pikir malaikat yang baik mampu menyiksa manusia selama enam abad penuh? Iblis yang jahat pasti bisa melakukan hal itu karena mereka memang terlahir jahat,"

Carmina menatap Norrix sinis. "Sudah aku katakan jika malaikat memiliki autoritas yang lebih besar dari pada iblis. Malaikat bisa saja menyiksa manusia selama enam abad jika itu yang mereka inginkan. Tidak ada makhluk yang benar-benar memiliki hati murni kecuali pencipta alam semesta ini, Norrix. Kau sangat naif,"

Norrix memegang kepalanya mendengar jawaban Carmina. Ia setuju dengan beberapa kata-kata Carmina. Namun, ada juga kata-kata gadis itu yang tidak ia setujui.

"Itu karena aku yakin dengan para malaikat itu, Carmina. Aku yakin mereka tidak akan melakukan hal itu. Aku sangat mempercayai mereka. Makhluk sebaik dan sesuci itu tidak mungkin akan menghabiskan waktunya untuk menyiksa manusia," balas Norrix.

Carmina yang muak mendengar kata-kata Norrix langsung berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Carmina tidak tahu mengapa ia sangat kesal saat Norrix membela malaikat seperti itu. Jika malaikat itu benar-benar ada, mereka pasti akan menolong Carmina.

Norrix yang panik langsung membayar makanan yang mereka pesan dan berlari mengejar Carmina. Namun, ia tidak dapat menemukan Carmina. Norrix mendelik panik dan menepuk kepalanya, menyalahkan dirinya sendiri.

Carmina terkejut ketika melihat wajah perempuan yang sangat ia kenal, Nora. Adik perempuan Norrix itu tersenyum melihat Carmina dan menarik tangannya ke dalam kereta kuda. Nora kemudian menghembuskan napasnya dengan kencang.

"Maafkan kakakku, nona Sharpe. Dia memang orang yang sangat bodoh. Aku tahu dia benar-benar menghancurkan suasana yang sudah susah payah aku buat. Padahal aku sudah menyuruhnya agar dia tidak melakukan hal seperti itu," omel Nora.

Carmina meringis. "Tidak apa, dan kau bisa memanggilku Carmina lagi. Aku tidak ingin dipanggil dengan nama keluargaku lagi. Kau juga adiknya Norrix, orang yang sudah menolongku sampai saat ini,"

Nora mengerutkan keningnya. "Kapan dia menolongmu, Carmina? Yang dia lakukan hanyalah memaksamu datang ke menara sihir dan memperkerjakanmu bagai budak hingga ia bisa memperoleh keuntungan dari obat yang kau buat,"

"Ah, tidak. Dia memberikan bagian dari keuntungan obat itu padaku. Ia juga membiarkanku menginap di rumahnya. Aku tak bisa menghasilkan uang sebanyak ini jika dia tidak menghampiriku ke desa," jawab Carmina.

Nora mengibas-ngibaskan tangannya. "Itu memang sudah merupakan kewajibannya. Kakak adalah penyelamatku, jika kakak tidak membuat obat itu mungkin aku sudah berada di tanah sekarang,"

Nora menatap Carmina dengan mata berbinar dan Carmina terkekeh melihat tatapan mata itu. "Itu sudah merupakan kewajibanku. Aku memiliki ilmu pengetahuan untuk menyembuhkan wabah penyakit di kerajaan ini. Lagi pula bisa saja saudara perempuanku yang lain terkena penyakit itu. Aku akan sangat menyesal jika aku tidak dapat menyembuhkan mereka,"

"Aku kira kakak juga membenci saudara kakak yang lain. Apa kakak hanya membenci Zero Sharpe? Jika aku menjadi kakak aku pasti membenci Zero Sharpe. Dia benar-benar membuat hidup kakak menjadi jauh lebih sulit," celetuk Nora.

Carmina tersenyum dan menunduk. "Sebenarnya aku tak pernah membenci mereka. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit lagi. Aku harus menjauhi mereka sekuat tenaga. Jika mereka menunjukkan kepedulian mereka padaku maka pada akhirnya akulah yang merasakan sakit hati,"

Saudade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang