Pt. 15 (Broken Lie)

374 61 26
                                    

“Astaga,” Hyojoo terbahak, beralih menatap Jungkook dengan pandangan kasihan. “Lihat drama romance ini,” Kedua netra kini beralih ke arah Raena yang bungkam dengan pandangan kosong. Sejenak kembali meloloskan tawa, Hyojoo kemudian menampilkan ekspresi segelap arang. “Sayangnya, aku tak tersentuh dengan dramamu. Kau pikir aku bodoh?”

Jungkook mengerjap lemah, masih memandang ke arah Raena yang terpaku memandangnya tanpa bicara, hanya mata berkilau hitam dibasahi air mata yang bisa dilihatnya.

Aku tak punya pilihan lain.

“A-aku masih ingat...bagaimana rasanya menggores matanya itu dengan pecahan vas bunga, menikam si berengsek itu dengan pisau di atas bekas pecahan meja kaca. Lalu melihat tangannya terkulai lemas begitu saja.”

Netra Hyojoo melebar.

“Atau...bagaimana aku membiarkan mayatnya terbawa arus malam itu. Bukankah...Ia memang pantas menerimanya?” Ujaran Jungkook semakin menipis.

Raena mengatupkan bibirnya rapat. Apa? Apa yang baru saja didengarnya? Dadanya didera ngilu. Napasnya serasa tertahan oleh keterkejutan.

“Ja-jangan mencoba membodohiku.” Pandangan si Kang kini menikam Jungkook. Kepalan tangannya yang memegang pisau bergetar akan jalaran emosi yang tersulut ke arah sesuatu yang tak diduga.

Mencoba menarik napas lebih teratur pemuda itu susah payah melanjutkan. “Apa kau tak ingat? Kau yang mendatangiku malam itu, kau yang cemas bahwa Jimin telah bertindak melebihi sesuatu yang dapat kau cegah. Kau yang membawaku ke rumahnya. Kau...yang membawanya pada kematian—“

“Jadi itu benar kau?” Hyojoo berujar rendah. Ia tersenyum miring dengan sorot mata kelam. “Kalau begitu bagus, memang seharusnya kalian berdualah yang harus membayar, bukan hanya satu orang.”


○♤○


“Kau ingin kopi?”

Yoongi tersentak, sebelum menggeleng pelan. “Ah, tidak. Terima kasih.”

“Kau tampak gelisah, apa ada sesuatu?” Sang lawan bicara meneguk cairan kecokelatan pada cup yang masih bergumul asap di atasnya sambil menduduki tempat di samping Yoongi.

Pemuda itu tak langsung menjawab. Apa perasaannya sekentara itu? Bahkan kini segelas kopi pun tak minat disentuhnya.

“Tidak ada apa pun, mungkin aku hanya lelah.” Jawabnya dengan jeda waktu yang cukup panjang.

“Ini pertama kalinya kau menerima tugas keluar seperti ini sejak beberapa tahun yang lalu. Kelelahan—yah, memang mungkin saja. Kau terlalu lama ditugasnya hanya menangani kasus-kasus bertumpuk di kantor.” Lelaki di sampingnya kembali meneguk kopi dalam cup yang digenggamnya.

Sedang Yoongi malah semakin berhadapan dengan debat pikiran yang kian rumit, semakin melemparnya dalam kubangan kecemasan. Pertama kalinya ia berencana pergi dalam jangka waktu selama ini dalam beberapa tahun terakhir. Pertama kalinya ia merenggangkan jarak mereka lebih jauh dari sebelumnya. Ia merasa seperti mengulangi tindakannya dulu—menghindar dari jerat sederet masalah dan kerumitan. Konyol sekali. Tetapi nyatanya ia menemukan dirinya di tempat ini; pelarian dengan selubung alasan pekerjaan dan juga perasaan tak tenang yang tak bosan menyelubungi setiap detik.

Siapa yang hendak ia bohongi? Lebih dari itu, apa yang sebenarnya ia inginkan?

Berusaha menegarkan perasaan tetapi nyatanya ia semakin tenggelam dalam lubang yang susah payah ia hindari. Ia cemas. Bagaimana keadaannya Raena saat ini?

Ia seharusnya selalu berada di dekatnya apa pun yang terjadi. Tetapi, lagi-lagi ia goyah dan seakan ingin membuktikan sesuatu atas dirinya. Bahwa ia akan baik-baik saja meski jauh dengan gadis itu atau bagaimana ia membuktikan sekelumit rasa disudut ruang kosong pikiran yang terasa memiliki hubungan langsung dengan detak jantungnya kian ingin dianggapnya hanya kegilaan pikiran.

Kini Yoongi telah kalah telak atas kendali dirinya.

“Kurasa aku tak bisa lebih lama berada di sini.”

“Apa maksudmu?“

Yoongi segera beranjak. “Aku kembali hari ini, ada sesuatu hal yang sangat penting. Kurasa divisi lain bisa melanjutkan pengintaian akan kasus ini.”

Pemuda itu tak menunggu jawaban. Kakinya telah ia seret menuju mobil, sebelum ia merogoh saku dan menatap layar ponsel dengan beragam asumsi yang seketika bergumul.

“Bagaimana bisa ia tinggal di rumah sejak siang tadi. Apa ia meninggalkan gelangnya di rumah?”


○♤○


“Jadi, kau Kim Taehyung? Sulit dipercaya.” Hyojoo semakin mendekati Jungkook yang menggeliat lemas pada lantai. “Kau sangat berubah. Tidak, perubahanmu sangat mengerikan. Wajah dan identitas baru.” Gadis itu menarik senyum miring. “Apa kau melakukan operasi pada wajahmu? Demi....”
Ia menjeda, melemparkan sejenak pandangannya ke arah Raena yang semakin merapatkan dua belah bibirnya, masih dilingkupi kebingungan tanpa bisa berujar lebih.

“Demi...Son Raena? Adik tirimu tersayang. Sungguh manis. Kalau begitu, aku akan membuat kisah kalian lebih dari kata manis. Bagaimana kalau kita tambahkan tetesan darah, teriakan dan tangisan. Akan lebih menarik, bukan?”

“Hentikan Kang Hyojoo!” Raena tak kuasa menahan pekikannya tatkala Hyojoo telah sampai di depan tubuh Jungkook. Pemuda itu menatap sengit, dengan tubuhnya yang masih lemas. Ia masih sadar, tetapi ketakutan dan kebuntuan pikiranlah yang sesungguhnya sudah hampir membunuhnya.

Kang Hyojoo telah kehilangan kewarasan.

Pengakuannya tadi hanya bisa menahannya sekejap, namun setelah ini apa yang bisa ia lakukan? Bahkan tangan dan kakinya pun tak bisa ia gerakkan.

Ia hanya bisa mengulur waktu dan—

“Jauhi dia Kang Hyojoo,“ Sekali lagi Raena memekik lirih.

Jungkook terengah, dengan cepat susah mencoba merangkai kata.

—pilihan terakhirnya adalah  berkorban jika keadaan tak berpihak padanya’kan?

“Bunuh aku. Aku...yang... membunuh Park Jimin...berengsekmu itu. Jadi, aku—“

“Tidak, Jungkook!” Netra gelap Raena mengabur.

Darah yang menetes dari pisau yang sempat menancap itu menguncinya dalam sesak. Hyojoo bangun dari tubuh Jungkook yang kini hampir tak bergerak sedikit pun dengan bekas tikaman yang terbuka dan mulai mengalirkan darah.

“Ti-tidak, Jung...” Raena merasa tercekik, ketika mata redup Jungkook kini menutup.

“Sekarang giliranmu,“

Dor. [♤]

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang