Epilogue

442 42 24
                                    

“Apa ada lagi yang ingin kau beli?” Ujar Yoongi sembari membawa keranjang belanjaan di sampingnya.

Raena sekilas memandang keranjang belanja yang dipegang Yoongi. Menggeleng pelan ia berucap, “Tidak, kurasa ini sudah cukup untuk persediaan beberapa minggu ke depan.”

Pemuda bersurai hitam itu mengangguk. “Oke, aku akan membayarnya sekarang.”

Raena hendak beranjak mengikuti langkah sang kakak yang berjalan lebih cepat di depannya, sebelum pergerakan kedua tungkai gadis itu perlahan melambat lalu benar-benar terhenti ketika perhatiannya tertuju pada rak tempat beberapa produk berjejer rapi.

“Coklat,” Bisik gadis itu. Tangannya tanpa sadar telah menggapai sebungkus coklat batangan.

‘Aku benci makanan manis, jika kau lupa.’

‘Aku dulu menganggap coklat hanya makanan manis memuakkan tetapi, ternyata dugaanku sepenuhnya salah.’

Raena tersenyum getir.

Lalu sekarang bagaimana menurutmu tentang coklat? Apakah kau membencinya? Apakah kau menyukainya?

“Raena?” Suara Yoongi mendadak kembali tertangkap pendengarannya, membuatnya segera tersadar dari pergulatan pikiran yang sejenak benar-benar menyedot atensinya.

“Ah, iya?”

Sang kakak mendekat, “Apa yang kau lakukan? Masih ada yang ingin kau beli?”

Si Son meremas coklat batangan dalam genggaman tangannya, baru tersadar dirinya telah lama berdiri di sana hingga tertinggal di belakang Yoongi cukup jauh.

Namun, gadis itu segera menepis perasaannya yang sempat terhanyut. Sesaat kemudian dengan cekatan ia mengambil satu bungkus coklat lagi dari rak dan dengan cepat memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan yang di bawa Yoongi.

Raena tersenyum tipis. “Sudah lama aku tidak membeli coklat. Aku juga ingin memberikannya kepada seseorang. Jika...ia masih menyukai itu.”


○♤○


Yoongi menyetir mobil dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan beraspal dengan panorama pantai pada sisi kanan bahu jalan.

Sesekali ia menoleh ke arah Raena yang beberapa helai rambutnya terangkat ketika semilir angin masuk melalu celah kaca mobil yang terbuka. Gadis itu tampak bersandar tenang pada kursi mobil sembari memandang ke arah laut.

Tak ada percakapan berarti yang dimulai untuk menemani perjalanan mereka. Tapi, meski begitu Yoongi sangat mengetahui suasan hati gadis itu maupun bagaimana keadaan dan apa yang dihadapinya.

Pemuda itu kini kian dapat membaca dengan jelas situasi yang tengah berlangsung—dengan gelang berhiaskan detail fase bulan yang kembali melingkar di pergelangan tangan sang adik berdampingan dengan pemberiannya juga sebuah cincin keperakan yang kini melingkar pada jari manis Raena.

Yoongi tersenyum tipis, sembari kembali memfokuskan diri ke depan.

Tentu. Tak ada salahnya memulai hal yang baru, meski ke depannya semua masih terlihat sangat samar dan abu-abu sekali pun. Bukankah begitu?


○♤○


Wanita itu menyusuri lorong panjang dengan ubin putih yang membalut tempatnya menyeret kedua tungkainya berjalan.

Coklat batangan yang baru saja dibelinya berada dalam genggaman lemah tangannya, seakan menjadi pegangan untuk menuntunnya menyusuri lorong.

Setelah berbagai macam hantaman kenyataan tak terduga, dirinya tidaklah terlalu kuat untuk memupuk mimpi manis dalam harapannya lagi. Namun, memori terpecah-pecah yang tersisa dan mencoba menyatukan diri dalam ingatannya, mencegahnya untuk melupakan. Ia bahkan selalu ingin mengingat memori manis itu, memeluknya erat seakan tak ada yang salah, saat air mata mulai merembes untuk membanjiri kedua netranya.

Raena tak sadar memegang coklat tersebut lebih erat. Dimabukkan oleh pengandaian, ia meratap.

Jika saat itu kita tidak menjadi saudara akankah ada yang berubah?

Jika aku tak mulai mempercayai dan tak sengaja menemukan rahasiamu akankah kita tidak terjebak sampai sejauh ini?

Jika...aku memelukmu lebih erat kali ini, akankah itu berarti aku tidak akan kehilanganmu?

Tak sadar langkahnya berhenti, semua pertanyaan itu seakan menahannya untuk tidak beranjak. Raena menekan dua belah bibirnya.

Akankah ketidakpastian ini menemui sebuah jawaban?

Meski keraguan dan kekhawatiran tak pernah dapat ia singkirkan sepenuhnya, Raena telah memilih untuk melanjutkan langkahnya— berlari menyusuri lorong.

Tunggulah. Kali ini, biarkan aku yang menggapai tanganmu.


○♤○


Kedua tungkainya kembali membawanya ke sana, ke taman itu. Setelah berhari-hari dirinya hanya berada di satu titik, terdiam, tanpa usaha dan tanpa ada perubahan.

Namun, kali ini ia tidak lagi diam dan berakhir dengan mata yang sembab. Kali ini, Raena memutuskan untuk melangkah, menghampiri lelaki itu.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah akan ada sebuah jawaban yang akan menghancurkan ketidakpastian itu, atau ia akan tetap tenggelam di dalamnya. Namun satu yang Raena yakini, ia ingin memastikan untuk menuliskan apa pun dalam buku impiannya kali ini, bersamanya, dengan lebih banyak kebersamaan, dengan lebih banyak kasih yang tulus dan dengan lebih banyak kepercayaan.

Jadi, benar-benar melangkahkan kakinya lebih dekat ke arah kursi taman di bawah pohon, Raena kini menjulurkan tangannya ke arah Junho, “Bolehkah aku mengenalmu?”

Raena tersenyum, meski sosok didepannya hanya terdiam dingin menyambutnya.

Iya, mari kita mulai kembali. Mari sekali lagi kita memeluk rasa sakit yang sama-sama kita miliki, tetapi kali ini, tanpa melangkah mundur dan mencoba untuk berlari. []

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang