Mungkinkah pria itu kembali? Ataukah dirinya hanya membuang-buang waktu untuk membodohi diri sendiri?
Raena mendesah gusar. Memandang jalanan dari balik kaca, gemerlapnya hanya diterangi deretan lampu kekuningan yang berpendar.
Tenggelam dalam suasana hening, sederet ucapan sang kakak kembali mampir dan menggema perlahan pada pikirannya.
‘Apa kau masih begitu mengharapkan Kim Taehyung kembali dan membawa kehangatan keluarga yang kau impikan?’
‘Apa kau masih mengharapkan orang yang sepenuhnya telah menghancurkan hidupmu?’
Raena memejam, menghembuskan napas pendek sebelum netra hitamnya kini beralih pada gelang sederhana dengan hiasan fase bulan kecil yang melingkar pada pergelangan tangannya—gelang pemberian Taehyung; sebuah tanda nyata bagaimana keadaan perasaannya saat ini.
‘Jika kau ingin tahu apa hubungan awan dengan bulan, tanyakan padaku!’
Gadis itu meringis, menyentuh hiasan fase bulan sabit yang berkilauan terbias cahaya lampu kafe.
Mungkin aku tak perlu tahu apa hubungan awan dengan bulan hanya saja, biarkan aku tahu apakah awan masih terarak dilangit? Ataukah...awan itu sejak lama telah melebur menjadi hujan?
“Gelangmu bagus, beli dimana?”
Netra Raena melebar, refleks menarik tangannya dari atas meja.“Wah, kenapa kau takut sekali padaku?” Jungkook melempar pandangan tak terima. “Kau pikir, aku akan mengambil gelangmu? Apa benda itu begitu berharga?”
Raena mendengus, “Hei, apa kau sadar? Kau dan aku masih sebatas orang asing. Kau bertemu denganku saat —“ Bibir gadis itu berkerut, sedikit menyesali ucapan yang nyaris terlontar. “Ah, lupakan. Intinya kita baru mengenal selama beberapa hari, semua pertemuan kita bahkan sangat janggal dan tentu itu bukan berarti—“
“Orang asing?” Jungkook menukas, kedua tangannya bertengger pada pinggang, seakan begitu tak terima akan fakta yang baru saja terlontar. “Kita ini sekarang rekan kerja. Kita akan selalu bertemu dan bekerja sama. Aku juga sudah menolongmu sebanyak dua kali. Tak bisakah...” Bibir pemuda itu kini mengerucut. Raena memicingkan mata akan rayapan rasa geli akibat ekspresi Jungkook.
Masih dengan bibir mengerut bak anak berumur lima tahun yang gagal merayu untuk mendapat sebungkus permen, pemuda bermarga Jeon itu kini melanjutkan. “Tak bisakah kita berteman?”
Alis Raena berkerut.
“Dengar, aku tak bisa terlalu dekat dengan siapa pun. Apalagi dengan orang yang baru kukenal.” Nada setengah sinis itu melebur dalam ucapan Raena.
Namun, Jungkook hanya mangut-mangut dan menjawab ringan. “Kalau begitu anggap saja aku rekan kerja dulu, oke?” Cengiran kecil masih terukir manis pada bibirnya. “Maka, aku ingin mengajukan pertanyaan selaku rekan kerja yang peduli pada sesama rekan kerja.”
Raena memutar netranya, kehilangan kata-kata untuk mendorong orang di depannya untuk menjauh.
“Apa yang hendak kau katakan tadi pagi?” Keseriusan kini terpancar pada wajah Jungkook, membuat Raena seketika bergerak tak nyaman. “Saat aku mengatakan ciri-ciri orang yang mengikutimu tadi malam, mengapa kau memotong perkataanku?”
Bibir Raena mengatup rapat.
“Hei, jangan berpikir aneh,” Jungkook kembali berucap. “Ah, aku tahu. Pasti kau lagi-lagi berpikir aku orang aneh yang bertanya hal-hal mencurigakan.” Bibir pria di depannya kembali mengerucut.
Sial, apa ia bocah yang terjebak dalam tubuh orang dewasa? Tingkahnya sangat—
“Sudah kubilang aku menganggapmu teman—ah, ralat. Oke, aku ini rekan kerja yang peduli dengan sesama rekan kerja, jadi aku merasa bahwa sesama rekan kerja yang peduli kita harus berbagi masalah, beban apa pun itu...”
Mata Raena menyipit. Entah kenapa ocehan laki-laki di depannya memancing rasa geli yang mengundang tawa.
“Oke-oke hentikan, astaga,” Gadis itu mengibaskan tangan, mengisyaratkan agar Jungkook berhenti berbicara. Raena kini melanjutkan. “Bukan apa pun, aku hanya mengingat seseorang.” Bibirnya tampak terlipat ragu, “Sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya, jadi, yah...aku mengira mungkin orang yang mengikutiku adalah dia.”
“Oh, begitu.” Bibir pemuda itu kini nyaris membentuk huruf O sempurna.
“Sudah’kan? Berhenti mengoceh banyak seperti itu, kau tampak seperti rapper gagal.” Raena menutup bibirnya dengan telapak tangan, pada akhirnya meloloskan tawa singkat yang sedari tadi ia tahan.
“Nah, tertawa lebih baik daripada memasang wajah menyeramkan sepanjang hari, kau tampak seperti artis yang sedang casting pemeran psikopat,” Lelaki didepannya balas tertawa tanpa rasa bersalah hingga sudut kelopak matanya menampilkan garis-garis halus, membuat Raena setidaknya menjadi tergoda untuk menjitak kepala pemuda itu dengan sendok kayu.
○♤○
Aku lembur hari ini.
Tadi aku pulang dan hanya sempat memasak sedikit makanan. Aku menaruhnya di kulkas, panaskan dan makanlah dengan baik.Yoongi,
Raena kembali menaruh sticky note itu di atas meja. Hampir seharian ia tak bertemu Yoongi, dari pagi tadi hingga semalam ini.
Suatu rasa seakan tak henti-hentinya tertumpuk, membuat perasaannya benar-benar terasa berat. Perkataannya pada Yoongi malam itu kini Raena sadari benar-benar keterlaluan. Mungkin hubungan mereka memang rapuh tapi bukan berarti ia bisa bicara begitu seenaknya. Bahkan kembali mengungkit kepergian lelaki itu, seharusnya Raena sadar tidak semua perasaan dapat diutarakan, dan alasan kepergian Yoongi di hari itu—sang kakak memiliki hak untuk merahasiakannya. Karena sejauh ini Yoongi bahkan selalu berada di sampingnya.
Raena meringis, mengapa sangat sulit untuk menerima Yoongi sebagai kakaknya lagi?
Namun, baru saja ia hendak menghubungi pemuda itu, mendadak suara ketukan pintu terdengar. Dengan cepat, kini Raena menyeret tungkainya kearah pintu sebelum disambut seorang mengejutkan yang membopong sang kakak.
“Aku menemukannya tergeletak di trotoar,” [♤]
KAMU SEDANG MEMBACA
Hydrangea || ✔
Fanfiction[The Sequel of Eglantine] Tujuannya hanya untuk membuat sang gadis menjalani hidup bukan dalam remang kelam masa lalu, memperhatikan gadisnya dalam balutan kebohongan dari sisa reruntuhan waktu yang ia miliki. "Siapa lagi yang harus kubunuh?" ©️Pure...