Pt. 21 (Break Down)

321 47 20
                                    

“Kau berbisik seperti itu, lalu...” Raena menarik napas pendek sebelum melanjutkan. “Aku mendorongmu dan pisau—“ Si Son terdiam, tenggorokannya serasa diganjal, belum lagi sekelumit ingatan rasa sakit akibat kejadian semalam masih membayangi—bagaimana keterkejutannya ketika irisan dalam pada tangannya meneteskan darah dan  kemudian Jeon Jungkook ambruk.

“Jeon...” Raena kembali berujar, “Kau benar-benar tak ingat?” Raut putus asa yang tersemat di wajahnya itu berusaha keras ia sembunyikan tetapi suaranya merendah sendu tanpa bisa ia kendalikan.

Di depannya, Jungkook hanya terdiam. Netra hitamnya meredup dan Ia hanya mengalihkan pandangan dengan bibir terkatup rapat, jelas bukan merupakan sebuah jawaban yang bagus.
Sedangkan air mata telah Raena rasakan bergerak cepat memanaskan kedua netranya.

Si Son meloloskan suara bergetar bersamaan dengan kebuntuan yang ia temui dikepalanya. “Lu-lupakan saja. Kau tahu...itu mungkin hanya...hanya—intinya tak ada hal buruk terjadi kan? Lihat? Ini hanya luka kecil. Aku baik-baik saja. Ini benar-benar bukanlah masalah yang besar ya kan?”

Lelaki di depannya masih tak menjawab, dan bahkan kini setiap kata serasa menguap dari pikiran Raena.

Keadaan jelas tidak baik-baik saja. Tetapi seakan harapan manis telah memenuhi hampir keseluruhan lembar buku impian yang ia miliki. Ingin sekali ia menganggap tak ada yang salah. Cerita mereka tidaklah serumit ini. Ia lelah berdebat dengan pikiran sendiri. Ia muak memilih sebuah pilihan dalam kebimbangan tak berujung.

“Maafkan aku,” Si Jeon berbisik. Ia masih setengah menunduk dan mengubur pandangannya jauh di bawah sana.

Raena hendak membuka mulut, tetapi pemuda itu kini menatapnya lurus.

“Rae, bisakah kau...pergi?”

“Jeon?”

Sang lawan bicara terpaku, Raena menatap netra di depannya, berusaha mencari penyokong terakhir pertahanan rapuhnya yang hendak runtuh, tetapi yang ditemuinya hanya sorot yang meredup dingin.

“Pergilah. Aku tak menginginkanmu di sini lagi.”

“Jungkook—“ Raena setengah memohon, ketika bahkan dirinya belum mampu mencerna sejurus kalimat tadi, Jungkook telah menarik pergelangan tangannya, membawanya menuju pintu keluar.

“Pergi.”

Pemuda itu dengan cepat berbalik, meski dalam pegangan lemahnya, Raena berhasil menahannya kembali.

“Ja-jangan seperti ini,” Kedua alisnya menjalin kerutan. Rasa putus asa itu kini dibalut kebuntuan mutlak. Kenyataan seakan memaksa melesak masuk ke dalam pikirannya tanpa peduli kerapuhan yang tengah menggerogoti. “Kumohon jangan seperti ini. Aku minta maaf jika sikapku tadi mengganggumu, jika kau tak ingin menjelaskan, tidak masalah bagiku—“

“Kukira kau sudah jelas mendengar apa yang aku katakan tadi.” Jungkook melepas pegangan tangan yang menahannya.
“Pergilah Son Raena.”

“Jungkook kau—“

“Ini jawabanku.”

“Jawaban apa? Aku tak mengerti! kumohon jangan—“

“Aku sedang menunjukkan keadaan hubungan kita yang sebenarnya.” Jungkook melanjutkan lirih, “Hubungan awan dengan bulan...aku sedang menunjukkannya padamu. Bukannya kau sangat ingin tahu?”

Raena terdiam bisu. Matanya diselubungi kabut pekat, dan bahkan ketika sepatah kata susah payah berusaha diluncurkannya kembali atas rasa tidak setujunya, Jungkook telah menutup pintu rapat-rapat.

“Jungkook!” Tubuh Raena merosot, tangannya yang terkepal menghantam pintu kuat. Embusan napas tersengalnya menyatu dengan udara dingin yang menusuk. Gedoran pintu itu kian melemah kala salju mulai jatuh dari langit, menyambut tangis dari netra hitamnya.

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang