Pt. 22 (Kim Junho)

311 49 16
                                    

“Ayah,”

“Apa kau belum puas untuk dipukuli?”

Seokjin mengerjap lelah, memandang sosok sang ayah yang tengah menenggak alkohol.

Sorot matanya sudah tidak bisa Ia kenali lagi, seberapun Ia meyakinkan diri bahwa Ia pernah benar-benar mengenal sosok pria itu—bahwa ia bisa mengembalikan lagi kehangatan sebuah rumah, membawa ayahnya kembali seperti dulu. Tetapi tubuhnya telah remuk redam, tersungkur tanpa daya di sudut ruangan akibat terjangan tanpa ampun sosok didepannya yang kini terasa begitu asing.

“Kenapa hari ini kau sangat-sangat tidak berguna?” Sang ayah menaruh botol alkohol itu pada lantai kayu, menggemakan suara gemeretak keras.

Seokjin meringis. Punggungnya yang tengah berhadapan dengan tembok, serasa tak bisa ditegakkan. Sandarannya pada dinding bangunan itu merosot sedikit demi sedikit saat kesadarannya juga kian menipis. Rasa besi berkarat seakan tak berhenti menguar didalam rongga mulutnya, menohok lidah hingga hampir membuatnya terbatuk-batuk.

“Ayah,” Seokjin kembali berujar tipis, masih memungut kepingan sisa keyakinan. “Hentikan semua ini, kumohon kembalilah seperti dulu. Ibu...dan aku ingin ayah kembali,”

“Diamlah!” Sang ayah melempar botol alkohol kosong kearah lantai, menciptakan pecahan kaca lain yang berkilau kelam pada lantai kayu, menyisakan suara gema nyaring didalam ruangan, darah yang mulai merembes pada permukaan kulit yang terbuka, hingga tubuh Seokjin yang kini telah ambruk.

“Apa yang sebenarnya terjadi hah? Kenapa hari ini banyak sekali omong kosong yang kudengar?” Pria itu menjilat bibirnya, “Padahal baru saja aku begitu senang karena ibumu membawa anak yang sedikit lebih menarik dari sebelumnya, kurir pengedar yang cerdik dan sasaran yang bagus untuk bermain-main, setidaknya ia tidak langsung mati saat kupukul.”

Seokjin menggeleng sesal. Seharusnya daridulu ia tidak diam dan menonton dengan jahitan pada bibir, membiarkan puluhan anak menjadi korban, menenggelamkan diri dalam kebisuan dan ketidakpedulian palsu, seakan-akan tak ada pilihan yang bersisa.

Sekilas bayangan wajah kecil Kim Taehyung yang dipenuhi memar berkelebat pada ingatannya—mengingat bagaimana tubuh anak lelaki itu bergetar hebat saat Ia menariknya keluar ruangan ayahnya beberapa saat yang lalu—penyelamatan yang sangat-sangat terlambat dari siksaan yang entah sudah melukai seberapa dalam.

Seokjin merasa ia seakan baru memiliki keberanian setelah sekian lama.

“Anak itu hanya diam dan tak berteriak berisik seperti anak-anak sebelumnya, itu menyenangkan. Tetapi, kau malah datang dan mengatakan banyak omong kosong. Katakan, Seokjin, apa aku kurang memberimu pelajaran?”

Seokjin mencoba menegakkan punggung kembali, masih belum menyerah terhadap keadaan kalut tanpa penyelesaian. Tetapi kepalanya yang tergeletak hampir sejajar dengan lantai terasa begitu berat untuk digerakkan.

Apakah ini waktunya dia untuk menyerah saja? Ah ya, memangnya rencana apa yang Ia miliki? Berharap sang ayah akan kembali hanya dengan rengekan? Bodoh, jika cara itu telah berhasil maka, luka lebam tak akan tercetak hingga tak terhapus pada tubuhnya, tanah kotor kebohongan, ambisi, kegilaan dan ketidakwarasan tidak akan ia pijak dengan erat pada kakinya. Ia tak berdaya dan begitu menyedihkan. Mengapa juga ia begitu berharap keluarganya yang telah hancur lebur dan terjerumus jauh ini bisa kembali utuh serta menebar memori manis dalam ingatannya?

Kedua kelopak mata Seokjin terasa memberat, memaksa kedua bola matanya agar berhenti merekam dan menyimpan memori dikepalanya—gambaran pemandangan sang ayah yang kini mondar-mandir dengan botol alkohol yang digenggamnya erat pada salah satu tangan, bibir kehitaman berbau tembakau yang tak berhenti menyumpah.

Namun, tak pernah Ia ketahui bahwa gambaran selanjutnya yang ditangkap kedua netranya beberapa saat ketika kesadarannya hampir benar-benar menguap adalah bagaimana seseorang perlahan masuk ke dalam ruangan tempatnya dan sang ayah berada.

Dengan pecahan kaca panjang yang digenggam begitu erat pada salah satu tangan, tak peduli ceceran darah yang merembes ketika kulit telapak tangannya beradu dengan tajamnya sisi kaca yang dipegang.

Bagaimana sosok itu tampak tak gentar sedikitpun, ketika sejurus pekikan  ancaman penuh emosi ayahnya menggema pada ruangan saat pandangan mereka saling beradu. Ia mendekat tanpa sempat memiliki keraguan pada langkahnya. Sorot mata pemuda tersebut berkilau tajam tetapi begitu kosong dan tak hidup.

Pita suara Seokjin seakan tak berfungsi ketika Ia berusaha bersuara untuk  memperingatkan kejadian apa yang mungkin terjadi selanjutnya.

Lari! Cepat pergi darisini, Taehyung!

Namun, hal yang terjadi selanjutnya adalah kengerian yang membius hingga ia tak mampu berpikir. Kejadian yang terjadi begitu cepat dan hanya menyisakan percikan darah segar yang menghiasi lantai bersama kepingan kecil pecahan kaca dan tubuh sang ayah yang telah ambruk. Juga...seorang yang diperkenalkan ibunya sebagai Kim Taehyung itu, tengah jatuh terduduk dengan mulut setengah terngaga, tersengal meraup udara, kepingan kaca diselimuti darah yang perlahan dilepasnya serta seringaian puas yang tertarik pada bibirnya.

Seokjin terbujur kaku. Apa yang baru saja terjadi? [♤]

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang