“Rae, darimana saja kau?” Suara serak langsung menerobos telinganya.
Derit pintu rumah sederhana itu terdengar pilu ketika Raena menutupnya sebelum berbalik menatap seulas wajah dengan kekhawatiran pekat.
“Rae,” Yoongi nampak menanti. Raut kelelahan diwajah laki-laki itu terlihat lebih jelas hari ini.
Raena masih bertahan diam, hanya menatap kedua netra hitam Yoongi. Melolongkan sekali lagi, sebuah ingatan akan kenyataan yang berlangsung selama ini—hubungannya dengan sang kakak. Keping-keping kerapuhan nyaris hancur yang berusaha dipunguti Yoongi, membangun rumah kembali untuk mereka berdua. Tetapi, bukan itu yang dirasakannya.
Raena merasa ia tak lebih hanya beban penyesalan lelaki itu.
“Son Raena. Jawab aku,”
Raena tersadar, sejenak menunduk lalu menyunggingkan senyum ringan. “Tentu saja aku baru pulang dari bekerja, Yoon. Kau kira darimana lagi? Jangan terlalu mengkhawatirkanku.” Raena menyeret tungkai, melewati Yoongi begitu saja.
Namun, jawaban itu tentu tak cukup menjawab kekhawatiran sang kakak. Yoongi berbalik cepat dan mencegat Raena. “Kau terlambat satu jam. Dan ayolah!” Laki-laki itu menggigit bibir bawahnya, mulai tersulut emosi. “Siapa yang akan kau bohongi dengan ekspresimu itu?!”
“Ada apa dengan ekspresiku?!” Tanpa sadar sederet kata bernada tinggi lolos begitu saja. Raena merasa dadanya mulai dirayapi sesak. “Aku baik-baik saja, Yoon. Berhentilah bersikap berlebihan.”
“Berlebihan? Aku khawatir padamu!” Bibir tipisnya bergetar. Napas Yoongi kini berhembus tak beraturan.
“Lalu dulu, kenapa kau pergi begitu saja?” Raena berucap rendah. Matanya mulai memanas. “Dulu, kenapa kau pergi meninggalkanku tanpa alasan jelas?!”
Lidah Yoongi terasa kelu. Tenggorokannya disumpal segumul penyesalan usang.
“Aku—“ Pemuda itu tak mampu melanjutkan.Ia menelan segala penjelasan yang memenuhi dadanya, setiap waktu mencoba membrontak keluar. Tetapi, ia sadar, sudah terlambat. Dan terasa memang akan selalu terlambat.
“Aku ingin istirahat,” Gadis itu berujar singkat. Berusaha mengakhiri atmosfer menyesakkan yang bergelayut diantara keduanya. Tetapi, tangan sang kakak telah menggapai pergelangan tangannya lebih dulu, menahan niatnya untuk beranjak.
“Apa ini karena pria itu?” Yoongi melirik Raena dari sudut matanya. “Apa kau...masih begitu mengharapkan Kim Taehyung kembali dan membawa kehangatan keluarga yang kau impikan?”
Setetes air mata jatuh dari netra gadis bersurai hitam itu.
Yoongi melanjutkan lirih. “Karena itukah...kau bahkan tak bisa menganggapku sebagai orang yang pernah menjadi kakakmu? Karena dia pernah berhasil membuat tempat berlindung meski itu hanya sandiwara? Sedangkan aku hanya orang dengan kegagalan mutlak? Kau lebih berharap kepada orang yang telah sepenuhnya menghancurkan hidupmu? Kau—“
“Hentikan,” Jejak tangis telah terbentuk tanpa bisa dicegahnya. Raena menepis tangan Yoongi. “Aku tak mengharapkan ia membawa kembali apapun, aku hanya—“
Gadis itu tak mempu melanjutkan. Dadanya serasa ditekan begitu kuat. Bayangan semburat wajah sendu Taehyung yang terakhir kali dilihatnya kembali berkelebat.
Aku hanya menyesal menjadi salah satu orang yang membuka gerbangnya untuk pergi. Seandainya aku mencegahnya malam itu, seandainya aku tak berpura-pura membangun dinding ketidakpedulian yang sebenarnya telah runtuh sepenuhnya, maka mungkin...
“Jangan pernah mengungkit Taehyung,” Raena susah payah melanjutkan. “Seberapun kau tahu apa yang telah ia lakukan padaku...kau tak berhak, kau tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, Yoon.”
Yoongi membisu. Ia tak mampu meloloskan kata-kata apapun lagi. Keterlambatannya terasa semakin mutlak, seberapun ia ingin menyambung ikatan rapuh antar keduanya. Mungkin, sebenarnya ikatan itu telah putus sejak lama.
Tanpa berusaha menahan lagi, Yoongi membiarkan Raena berjalan menjauh dengan suara menahan desakan air mata.
Ia menyakiti gadis itu lagi. Untuk kesekian kalinya Yoongi merasa gagal. Ia bahkan masih terdiam kala suara deritan pintu kamar Raena tertutup yang berarti untuk kesekian kalinya juga ia tak mampu menjelaskan alasan kepergiannya.
Kini Yoongi memejam kuat, susah payah menarik napas. “Maafkan aku, Rae...”
○♤○
Sepasang netra dengan pandangan kosong tengah menatap bingkai foto kecil yang terpajang pada mejanya. Sejak beberapa menit yang lalu ia hanya duduk menatap seulas wajah yang tengah tersenyum didalam bingkai foto itu.“Aku merindukanmu,” bisiknya singkat.
Sedetik kemudian ia meringis, tertawa pelan, sebelum kembali menatap seulas wajah didalam foto itu dengan mata berair. “Akan kupastikan dia membayar perbuatannya dengan sangat mahal. Tidak, akan kupastikan ia bahkan akan memohon kematian dariku,”
“Tetapi, mungkin malaikat sedang mengasihaninya,” Sosok berhoodie itu kembali bermonolog. “Kau tahu? Seseorang menyelamatkannya lagi tadi. Laki-laki yang sama, laki-laki yang menggagalkan pertunjukkan bunuh dirinya yang dramatis itu. Astaga, kau tahu? Adegan itu sangat menarik sekaligus menjijikan.”
Ia sekilas menunduk, menarik seringaian miring. “Awalnya, aku kira lelaki itu membuat rencanaku semakin menarik. Karena ia tak membiarkan Son Raena mati dengan mudah. Ia membuatku memiliki kesempatan lain. Tetapi, sekarang ia malah menjadi krikil pengganggu dijalanku. Apa aku harus membunuhnya juga?”
Sosok itu menjentikkan jarinya seakan mendapat pencerahan. Ia kini kembali menatap bingkai foto didepannya. “Kurasa itu ide yang sangat bagus. Tambahan satu pemain lagi akan membuat cerita ini menjadi lebih menarik.” Ia memasukkan tangannya kedalam saku hoodie, meraba pisau lipat didalam sana. “Sungguh, pasti akan jadi menarik’kan? Meski pada akhirnya mereka berdua akan mati—Son Raena dan malaikat penyelamatnya itu.” [♤]
KAMU SEDANG MEMBACA
Hydrangea || ✔
Fanfiction[The Sequel of Eglantine] Tujuannya hanya untuk membuat sang gadis menjalani hidup bukan dalam remang kelam masa lalu, memperhatikan gadisnya dalam balutan kebohongan dari sisa reruntuhan waktu yang ia miliki. "Siapa lagi yang harus kubunuh?" ©️Pure...