Pt. 9 (Bitter Chocolate)

384 64 36
                                    

Tidak. Hentikan. Jangan berdebar!

Raena segera menarik jemarinya, menelan ludahnya dengan susah payah. Debaran jantungnya serasa memukul-mukul didalam sana. Mengapa ia merasakan perasaan ini lagi?

“Apa maksud perkataanmu tadi?” Pertanyaan itu lolos mulus dari pita suara, tanpa sempat dicegahnya. Menanti ragu, tetapi pemuda di depannya nampak begitu santai tanpa guratan suatu pertanda yang dapat dibaca.

“Apa kau tak tahu apa artinya?” Netra gelap si Jeon kini lurus menatapnya, menambah satu tingkat kegugupan yang merangkak naik.

“Ar-artinya?”

“Ayolah, hm?” Pandangan pemuda itu kini beralih kearah ramyeon yang mengepulkan uap, mengaduknya pelan. “Artinya, hubungan kita sekarang meningkat.”

“Apa?” Alis gadis itu tak khayal berkerut bingung.

“Sekarang kita berdua akan makan bersama, bukankah itu artinya...” Jungkook kini memamerkan cengiran lebar. “Hubungan kita sudah naik level dari hanya sekadar rekan kerja menjadi teman?”

“Teman? Tapi, tadi kau—“ Raena menekan dua belah bibirnya, menelan serangkaian kata. Biar bagaimanapun ia tak bisa melontarkan sederet kalimat itu. Bahwa, bagaimana tindakan menyentuh tangan tadi digolongkan dalam lingkup teman? Itu terasa berlebihan dan mengirimkan perasaan tak nyaman.

Bagaimana bisa kau menyentuh tangan seseorang dengan sorot mata dalam lalu hanya menjelaskan dengan cengiran?

“Ini juga sebagai pertolonganku untukmu.” Jungkook kembali berucap. Bahkan ketika ia belum selesai bergelut dengan pikirannya, pemuda itu kembali mengatakan sederet kata yang menanamkan bibit kebingungan lebih dalam. “Meski murah, makanan ini sangat ampuh mengobati mood yang rusak.”

“Jadi, maksudmu moodku sedang—“

“Iya, dan jangan berusaha mengelak,aku bisa membaca dari raut wajahmu,”

“Wah...” Raena mendecih geli. “Apa kau cenayang?” Surai hitam pendeknya bergerak kala ia menggeleng, menahan tawa.

“Tidak, tapi perasaanmu terpampang jelas seperti papan iklan.”

Raena kehabisan kata-kata. Pada akhirnya meloloskan tawa singkat.

“Ini sungguhan, kau bisa mencobanya. Aku sarankan memakan coklat dulu,” Tangan Jungkook menarik sebungkus coklat. Setengah merobek bungkus plastik itu dengan cepat, lalu menyodorkannya. “Ini akan mengubah moodmu,”

Sempat terpaku, Raena menggapai coklat tersebut, memegangnya dengan kuat, tanpa sadar berekspresi sendu.

“Kau tidak suka coklat?”

“Ah, tidak, hanya...” Lamunannya pecah, sedangkan memori lama masih menggelayut samar. “Aku teringat seseorang yang sangat membenci coklat.”

“Aku dulu seperti itu,” Kedua pasang mata segelap arang itu kini masing-masing telah mengunci. Jungkook setengah menengadah. “Aku dulu menganggap coklat hanya makanan manis memuakkan tetapi, ternyata dugaanku sepenuhnya salah. Dan sekarang aku juga menemukan sesuatu yang lain. Lihat! Penemuan makanan murah meriah dengan efek tak terduga versi Jeon Jungkook.”

Sudut bibirnya tak tahan untuk tertarik berbarengan. Raena sekuat tenaga menahan desakan untuk sekadar tidak refleks memukul lengan pemuda itu akibat kekonyolan yang ditampilkannya.

Ramyeon, cola, coklat. Resep makanan pengembali mood dari koki tampan Jeon,”

Cih,astaga,” Raena menutup bibirnya dengan tangan, benar-benar hampir tersedak tawa.

“Kau siap mencoba?” Kedua tangan pemuda itu kini telah memegang sumpit erat.

Entah energi apa yang telah ditularkan Jungkook padanya, secepat kilat Raena kembali membungkus coklat tadi lalu ikut memegang sumpit. “Siap!”

“Mulai!”

Pertandingan konyol memakan ramyeon itupun berlangsung selama beberapa detik sebelum sang gadis berujar dengan bibir bergetar memerah. “Yak! Kenapa pedas sekali!”

“Oh...ya,aku lupa.”

“Lupa apa?” Raena menyambar coklat, memakan beberapa potong sekaligus, menghilangkan rasa pedas yang menyengat.

Sejurus kemudian Jungkook kembali melontarkan kalimat tanpa rasa bersalah. “Aku menambahkan bubuk cabai dan merica terlalu banyak ke ramyeonmu.”


○♤○


“Kalau besok perutku bermasalah kau harus bertanggung jawab,”

“Hei, itu tak adil!” Pemuda itu menyeret tungkai seirama dengan gadis disampingnya.

Cahaya oranye lampu jalan berpendar lembut diatas mereka. Jungkook mencuri pandang dari sudut matanya, diam-diam menatap netra hitam legam Raena yang memancarkan sesuatu yang berbeda. Apa usahanya berhasil?

“Jujur saja, kau sangat menyukai resep menu siap saji, koki Jeon ini’kan?” Pemuda itu mengulum senyum jahil, menyenggol siku Raena yang dibalas decihan.

“Percaya diri sekali,” Gadis itu memasukkan kedua tangannya pada saku jaket. Ia sekilas tersenyum.

“Setidaknya percaya diriku berdasar, kau menghabiskan semua menu yang kusajikan. Lalu apa artinya itu? Selain kau benar-benar menyukainya?”

“Kita sudah terlanjur membelinya, mana bisa tidak kuhabiskan?”

“Wah, wah, wah.” Pemuda itu memasang ekspresi kagum buatan, ikut menyelipkan kedua tangannya pada saku jaket. “Sangkalan yang bagus,”

Raena sekilas melirik sang lawan bicara, sebelum beralih menatap langit. “Aku pernah belajar dari ahlinya.”

“Ahlinya?”

“Ya, seorang yang sangat pintar mengelak, juga pembuat permainan kata-kata menjebak yang super menyebalkan. Berada didekatnya membuatku sedikit ahli dalam hal itu,” Raena menyunggingkan senyum, masih tenggelam pada gemerlap langit malam.

“Siapa...dia?” Jungkook berujar ragu, sekilas ikut menatap tebaran bintang dengan awan tipis yang bergerak perlahan-lahan.

Seketika netra hitam Raena meredup. Pandangannya kini turun, menatap kilauan kecil dari benda yang melingkar pada pergelangan tangannya.

“Kau masih ingat perkataanku’kan?” Jungkook berujar tipis, “Tentang hubungan kita sebagai rekan kerja, lalu sekarang kita...teman. Kurasa tak ada salahnya berbagi beban. Aku...aku tahu, mungkin terdengar memaksa tapi menurutku bersandar pada seseorang itu—“

“Jeon,” Raena berhenti melangkah.

Jungkook terdiam menanti, terlihat segaris gurat kekhawatiran.

Atmosfer hampa bergelayut sekejap sebelum gadis itu melanjutkan. “Aku baik-baik saja. Berhenti mengoceh panjang, kau tampak seperti rapper gagal lagi,”
Raena menarik sudut bibirnya, merangkai senyum, sebelum melanjutkan langkah.

Namun, tak ada balasan tawa maupun lelucon dari Jungkook. Pemuda itu kini kembali menyetarakan langkah,berujar tanpa menoleh. “Yah, jika kau ingin aku berpura-pura tertawa akan lelucon itu maka akan kulakukan.”

Tanpa sadar tangannya mengepal, bibir Si Son terkatup rapat.

“Itu yang kau inginkan, Rae?”

Sejenak Raena memejam, menarik napas pendek. “Baiklah aku kalah,” Kepalan tangannya kini melemah. Kabut langsung menyelubungi netra gelapnya. “Dia adalah penyesalan terbesarku,”

Sekali lagi gadis itu menengadah, menatap awan terarak membayangi bulan pucat. “Jika kau tak menggapai tanganku di hari itu Jung, maka aku akan bertemu dengannya. Jika di hari itu dekapan air membawaku pergi maka mungkin aku akan bertemu dengan Taehyung.” [♤]

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang