“Yoon? Kau—“
“Oh, Rae.” Yoongi menyeret koper berukuran sedang dari kamarnya.
Sang adik menatap kebingungan. “Kau mau ke mana?”
“Aku ada tugas diluar selama beberapa hari ke depan.” Pemuda itu mengulas senyum kecil. Berusaha meredam kekhawatiran yang mulai terpancar dari mata lawan bicaranya.
“Ta-tapi Yoon—” Raena membalas ragu-ragu.
Ia harus meluruskan ini segera, tapi keadaan seakan selalu tak memberinya kesempatan.
Pemuda itu selalu menghindar dan menghindar darinya. Kini bahkan sesungguhnya apalagi yang sang kakak hendak lakukan? Berusaha lebih melebarkan jarak antar keduanya?
“Raena,” Yoongi berujar serak. Seketika menghentikan asumsi yang bergumul pada pikiran adiknya.
Raena menatap kedua netra sang kakak, menanti penuh harap.
“Jaga dirimu selama aku pergi.” Jemari Yoongi memegang erat koper, menarik benda tersebut bersamanya lalu berlalu melewati Raena begitu saja.
“Berhenti.” Netra hitam gadis itu bergetar menahan gejolak emosi. “Kita...kita perlu bicara. Aku ingin mengatakan—“
“Rae,” Pemuda itu menukas, berbalik tenang. “Aku harus segera pergi.” Sekali lagi pemuda itu menyunggingkan senyum. Beberapa detik menatap netra sang adik, Yoongi malah mengambil langkah mendekat, merogoh ragu kantong jaketnya. “Tanganmu,”
Raena yang masih terpaku, hanya menatap meminta penjelasan.
“Aku ingin memberimu sesuatu,” Sang kakak menggapai lembut tangannya, mengikatkan gelang dengan detail rantai kecil berhiaskan bentuk mawar di sana. “Beberapa hari lagi ulang tahunmu,” Yoongi berujar tipis, menatap gelang yang bergelayut di pergelangan tangan adik tirinya itu. “Aku mungkin belum pulang saat itu. Jadi, anggap saja hadiahnya kuberikan lebih awal.”
“Yoongi,” Raena bersusah payah mengeluarkan suara, perasaannya terasa bercampur aduk.
Biar bagaimanapun, sikap kakaknya itu akhir-akhir ini, meski laki-laki itu seakan memamerkan senyum ringan setiap waktu padanya tapi hanya satu yang ia temukan—sebuah titik terlemah. Yoongi sedang terjerumus rapuh, tenggelam pada sesuatu. Dan meski samar-samar ia dapat membaca hal tersebut, langkah Raena juga seakan begitu kaku untuk digerakkan. Ia tak mampu mengambil langkah lebih mendekat, menghadapi risiko menginjak lapisan es tipis yang terbentang. Seakan begitu takut, satu langkahnya saja bisa membuat pemuda itu hancur—lebih hancur dari sebelumnya.
Sesaat kemudian bahkan tanpa sempat berujar lebih, Yoongi kini sekali lagi membawa satu memori usang yang membuatnya hanya bisa terdiam beku.
“Selamat ulang tahun, Rae.” Tangan pemuda itu menepuk dan mengelus puncak kepalanya. “Kuharap kau selalu bahagia.” Yoongi segera berbalik, memutus kontak begitu saja, menyeret kopernya ke arah pintu keluar.
Kedua kaki Raena terasa direkatkan pada lantai, tak mampu digerakkan. Belum lagi, tenggorokannya yang terasa kering menusuk, begitu sesak.
Memori itu, suatu kenangan yang terkubur dalam. Rasa manis yang hampir memudar. Kedekatannya dulu dengan sang kakak. Bagaimana laki-laki itu selalu menepuk dan mengelus puncak kepalanya setiap kali mereka akan berpisah.
Mengingat kilas masa lalu itu, bagaikan suatu beban tengah menekan dadanya, bahwa ia telah salah membiarkan kesalahpahaman membangun dinding pemisah yang lebih tinggi—apapun yang dilakukan Yoongi dimasa lalu, seharusnya tidak menghapus kenyataan bahwa lelaki itu tetap pernah menjadi kakaknya. Kenyataan bahwa mungkin hubungan itu masih begitu dijaganya. Tak ada yang berubah, baik dulu maupun sekarang terlepas dari satu kesalahan Yoongi yang pergi begitu saja di hari itu. Mungkin itulah yang sebenarnya terjadi.
Raena kini menyeret tungkainya, berakhir menatap punggung sang kakak yang beranjak menjauh. “Yoongi!” Ia berteriak.
Namun, pemuda itu hanya berbalik, sekilas membalas cepat sebelum benar-benar lenyap dibalik bangunan lain. “Sampai jumpa beberapa hari lagi! Jangan mengkhawatirkanku!”
○♤○
“Wah, kenapa ia belum datang juga?” Hoseok bermonolog, sesekali memicingkan mata menatap ke arah luar kaca kafe, mencari sosok Raena yang tak kunjung muncul.Dibatasi beberapa meja kayu, Jungkook juga mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe dengan cemas.
“Hei Jeon, apa kau tahu? Kenapa Rae—“
“Maaf, aku terlambat.” Suara rendah itu bergema berbarengan dengan gemerincing pintu kafe terbuka. “Ada suatu yang menahanku selama beberapa waktu,”
“Rae—“
“Aku akan segera bersiap-siap bekerja.” Gadis bersurai hitam itu segera berlalu, melewati Hoseok yang bahkan belum menyelesaikan kalimatnya untuk bertanya. Sepasang netra pemuda bermarga Jung itu menyiratkan kebingungan dengan segaris kekhawatiran, menatap sosok Raena yang telah menghilang dibalik dinding, sebelum sedetik kemudian Hoseok memilih menyusul gadis itu.
Jungkook mengalihkan atensinya pada meja yang dibersihkannya sedari tadi. Tumpukan keraguan seakan naik satu tingkat begitu saja. Sebuah pertanyaan yang menggemakan kekhawatiran kini digantikan pertanyaan yang bukan hanya disertai perasaan itu, melainkan juga kebimbangan dengan sederet asumsi dan harapan.
Pertanyaan apa yang terjadi pada Raena hari ini, berubah menjadi pertanyaan, apa Raena akan tetap baik-baik saja hari ini?
Setelah beberapa saat kemudian sosok gadis itu keluar, menghampiri salah satu meja dan mulai membersihkannya, Jungkook memberanikan diri berjalan ke arah Raena.
“Raena,” Panggilnya.
Gadis itu segera berbalik. “Ya, a-ada apa?”
Jungkook sejenak terlihat ragu-ragu, sebelum sesaat kemudian ia menyodorkan kertas ke arah Raena. “Aku menemukan ini saat membersihkan meja. Di sini tertera namamu, mungkin...seseorang meninggalkannya untukmu,”
Jemari Raena menggapai kertas kecil itu, sedikit melebarkan jarak mereka untuk membaca sederet kalimat yang tertera di sana. Dalam sekali kedip, netra gadis itu langsung berkabut, diselimuti air mata. Dunianya sejenak terasa membeku.
Taehyung masih hidup? [♤]
Double update! Pt. 12👇👉
KAMU SEDANG MEMBACA
Hydrangea || ✔
Fanfiction[The Sequel of Eglantine] Tujuannya hanya untuk membuat sang gadis menjalani hidup bukan dalam remang kelam masa lalu, memperhatikan gadisnya dalam balutan kebohongan dari sisa reruntuhan waktu yang ia miliki. "Siapa lagi yang harus kubunuh?" ©️Pure...