Pt. 13 (Remnant)

340 57 27
                                    

Plak

Mata hitamnya mengerjap gamang. Lehernya terasa lunglai bahkan hanya untuk menyangga kepalanya sendiri.  Samar, sorot lampu menyapa netranya.

Plak

“Bangun jalang. Masih banyak siksaan tersisa untukmu.” Hyojoo bergerak menjauh. Setelah mendaratkan dua tamparan keras tepat dipipi gadis didepannya. “Son-Rae-Na.” Gadis itu mengeja rendah, memamerkan senyum miring sambil menduduki kursi kayu yang telah diseretnya ke depan sosok yang tengah terduduk di kursi lainnya dengan tangan terikat.

Kesadaran yang berangsur-angsur mulai kembali itu membuat rasa sakit yang dirasakannya semakin nyata, kepalanya berdenyut dan leher bagian belakangnya terasa kaku, begitu sulit digerakkan. Setelah kedua kelopak matanya berhasil terbuka total, ia berakhir dirayapi ketakutan ketika kembali menangkap dengan jelas sosok didepannya.

Ini nyata?

“K-kang Hyojoo?”

“Kenapa? Kau pikir ini mimpi?” Gadis bermarga Kang itu menjalin jemari, menggunakannya sebagai tumpuan wajah. Kedua netranya menatap mata gelap didepannya yang bergetar dalam balutan cairan bening yang siap merembes. “Kau masih sama saja.” Ia menghembuskan napas pendek. “Masih...sangat menjijikan.”

“Apa yang kau inginkan?!” Raena setengah berteriak, berusaha mengumpulkan keberanian setelah sepotong kejadian sebelumnya kini benar-benar diingatnya. Bagaimana sosok Kang Hyojoo mendadak berada di depan pintu ketika ia membukanya lalu sebuah tongkat kayu tumpul melayang cepat mengenai kepala kemudian sebuah jarum menusuk bagian belakang lehernya.

“Apa yang aku inginkan?” Hyojoo tertawa singkat, pertanyaan retorik yang baru dilontarkannya serasa menggelitik. Gadis itu melanjutkan pelan. “Bayaran atas perbuatanmu. Aku yakin kau ingat apa itu,” Tungkainya tertarik bangun, kedua tangannya kini masuk kedalam kantong hoodie tak kala melangkah disekitar kursi yang diduduki Raena, membawa hawa dingin mencekam bersamanya.

Tak perlu waktu banyak untuk si Son menyadari kemana arah pembicaraan Hyojoo. Orang itu—pria itu dan rentetan memori buruk yang dibawanya. Sampai kapanpun, ia akan tetap mengingat bayangan gelap—sebuah trauma membekas yang serasa merongrong ingatan, mengirimkan ketakutan memuakkan tanpa henti bahkan ketika sosok pria itu telah tiada.

“Kau membicarakan orang yang sudah membusuk mati itu? Kau ingin aku membayar tindakan menjijikannya yang ia lakukan sendiri?” Raena menggerakkan leher, berusaha menangkap bayang seulas wajah Hyojoo yang tengah berada tepat dibelakangnya. “Apa kau sedang kehilangan kewarasanmu? Jika aku memiliki kesempatan kembali, aku yang akan membuatnya membayar tindakannya, tak akan kubiarkan ia mati semudah itu—“

“Andai aku bisa membawanya kembali lagi,” Hyojoo menukas, berbisik tipis. Matanya berkabut penuh kemarahan tatkala melanjutkan. “Tak akan kubiarkan dia bertemu gadis menjijikan sepertimu. Tak akan kubiarkan Jimin hancur.”

Napas Raena beradu, tersulut emosi meski rasa takut tetap menguar menyadari seorang yang tengah ia hadapi mungkin telah kehilangan akal sepenuhnya. “Apa kau tak sadar tindakan yang Jimin lakukan? Dia itu tak lebih hanya seorang—“

“Diam!” Hyojoo melingkarkan tangannya disekitar leher Raena, menekan rahang gadis itu dengan pisau lipat tergenggam erat pada salah satu tangannya.

Raena meringis, ujung pisau itu perlahan telah mengiris kulit.

“Sudah kubilang, kau tak tahu apapun tentang Jimin. Kau tak berhak mengeluarkan sepatah katapun tentangnya.” Hembusan napas Hyojoo menggebu, berhembus tak beraturan. “Lebih baik kau gunakan mulutmu itu sekadar menarik napas untuk terakhir kali sebelum aku membunuhmu dan...” Hyojoo menjeda, kini berbisik tepat ditelinga gadis bermarga Son itu. “Lelaki itu,”

Raena tercekat napas. Kini ketakutan benar-benar merayapi sekujur tubuhnya. “Ja-jangan libatkan siapapun,” Kedua belah bibirnya bergetar. “Bunuh, bu-bunuh aku a-atau terserah kau ingin melakukan apapun terhadapku tetapi jangan—“

“Manis sekali, Raena.” Hyojoo menarik pisaunya menjauh, menyisakan denyutan rasa sakit akibat irisan yang telah merobek lapisan kulit cukup dalam. “Kurasa sudah waktunya untuk mengundang pemain lainnya’kan? Aku tak ingin penantian lamaku ini berakhir terlalu cepat ataupun terlalu datar.”

“Kubilang bunuh aku!” Raena histeris. Tubuhnya meronta berusaha terlepas dari ikatan pada kursi. “Kumohon hentikan...hentikan semua ini!”

Bugh

Permukaan benda tumpul kembali mengenai kepalanya, merasakan suatu cairan kental juga ikut merembes disana sebelum menyisakan pandangan yang mengabur.

Hyojoo menjatuhkan tongkat kayu pada lantai lalu menggapai ponsel Raena yang tergeletak diatas meja. “Kau pasti ingin menemui malaikat penyelamatmu’kan?”


○♤○

“Ini untukmu. Aku traktir.”

Jungkook tergesiap sebelum berakhir menggapai sekaleng bir yang dijulurkan seseorang tepat di depannya.
“Apa aku perlu memborong barang-barang disini juga?”

“Oh ya? Lalu kau juga akan kehilangan pekerjaan karena aku bangkrut,” Hoseok terkekeh, menepuk sekilas punggung Jungkook sebelum duduk disampingnya.
“Yah, kau tahu? Dalam perjalanan mengejar cinta itu memang adakalanya kau akan bertemu episode sedih.” Mata pemuda bermarga Jung itu berbinar. Sejenak menenggak cairan dalam kaleng pada genggamannya sambil memasang ekspresi sendu.

Jungkook membuka kaleng yang diberikan Hoseok, ikut memandang pemandangan jalanan yang dipamerkan kaca mini market 24 jam itu. “Hubungan kami tidak seperti itu,” Si Jeon meringis lalu menarik sudut bibirnya. “Aku tak sedekat itu dengan salah satu pegawaimu, Boss.”

Hoseok mendecih, sekilas memamerkan senyum lembut. “Aku sudah mengenal Raena cukup lama. Dan dapat kupastikan, kau adalah orang pertama yang membuat senyumnya kembali.”

Jungkook membisu, tak sadar meremas kaleng bir itu dengan kuat.

“Entah apa sesungguhnya yang terjadi diantara kalian, aku hanya melihat masing-masing dari kalian telah menatap dengan cara yang berbeda.” Hoseok menenggak sisa bir pada kaleng hingga tandas. “Ambillah pilihan yang kau anggap tepat. Mungkin hari ini dia hanya sedang agak yah sensitif mungkin, maka dia menghindarimu, pulang lebih awal tanpa menjelaskan apapun.” Hoseok berusaha meloloskan tawa tetapi berakhir mengurungkannya begitu saja. Sadar, keadaan telah merajut benang kusut yang begitu rumit.

Lelaki itu beranjak sebelum berucap rendah. “Aku berharap kau bisa menyembuhkan luka lama Raena, Jungkook.” [♤]

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang