Pt. 23 (We All Lie)

307 42 16
                                    

Napas Seokjin tertarik berat. Punggungnya ia paksa berdiri tegak dan netranya bergetar bingung, menatap tubuh bersimbah darah sang ayah yang telah tergeletak di lantai.

Sedetik kemudian Seokjin menutup mulutnya dengan tangan ketika perutnya serasa dililit dan rasa mual  meledak di tenggorokannya. Pemuda itu kembali ambruk, ia menatap sosok di seberangnya dengan netra berair. “Taehyung... ap—apa yang kau lakukan?” Bisiknya lirih.

Namun, apa yang ia dapat setelahnya bukanlah jawaban, melainkan ambruknya sosok yang baru saja dengan brutal menikam ayahnya. Tetapi, seakan kejadian tadi masih belum cukup menggonyak akalnya, setelahnya Seokjin dengan jelas dapat melihat Taehyung kembali terbangun. Netra pemuda itu melebar ketakutan, tangannya yang diselimuti darah bergetar hebat.

“Ap-apa yang terjadi...a—ayah,”

Seokjin terdiam. Tubuhnya serasa mati rasa. Apa yang baru saja terjadi tidak bisa dicernanya.

Mendadak pintu didepannya perlahan berderit terbuka, menampilkan sosok wanita yang kini dengan cepat mendekat, bersimpuh lalu memeluk tubuh Taehyung.

“Ibu, aku...aku—tolong aku. Si-siapa yang melakukan ini? Siapa yang membunuh ayah? Bu-bukan aku’kan?”


○♤○


‘Stthh, tenang. Ibu akan menyelamatkanmu. Pembunuhan ayahmu tak akan tercium. Kau tak akan disalahkan. Semua terkendali jika kau menurut.’

‘Jika kau ingin selamat maka turuti keinginan ibu, Taehyung. Kau adalah anak ibu, kau juga memiliki kakak. Kami akan melindungimu, hanya...dengarkan semua perkataan kami, hm?”

“Jadi, inilah yang kau maksud?” Seokjin terkekeh pelan. Ketika mengingat beberapa potong percakapan gila yang ibunya lakukan untuk menenangkan ‘sang adik palsu’ malam itu.

“Jadi ini yang kau maksud dengan alur yang berbeda? Membawa pembunuh yang telah kau manipulasi seluruhnya?” Pemuda itu sekali lagi melepaskan tawa tertahan, “Entah apa yang kau lakukan dengan anak yatim piatu itu hingga Ia berubah menjadi monster. Seharusnya aku tak mengikuti perkataanmu. Seharusnya aku tak berpura-pura menjadi kakaknya. Kau membuatnya percaya bahwa ia memiliki keluarga sungguhan hanya untuk menundukkannya’kan?”

“Apa kau sudah selesai bicara?”

Kedua tangan Seokjin mengepal kuat pada sisi tubuhnya. “Kau...kau baru saja membunuh suamimu! Kau baru saja menghancurkan keluarga ini hingga tak bersisa! Kau berkata kau ingin terbebas, kau berkata ingin menghancurkan bisnis dan klub memuakkan ini! Tetapi nyatanya kau hanya tetap menjalankan apa yang pernah ayah jalankan!”

“Diamlah.”

“Kukira kita memiliki kesempatan untuk kembali, kukira kewarasanmu masih tersisa!”

Wanita didepannya membuang puntung rokok dari himpitan dua jarinya. “Dan kukira kau anak yang masih berguna hingga aku membiarkanmu tetap bernapas. Apa kau ingin aku berubah pikiran tentang itu? Apa kau ingin aku membawakan Kim Junho padamu? Kurasa kau akan mati dengan cepat ditangannya, sama seperti ayahmu. Atau...kau ingin membusuk di penjara? Aku bisa membawakan bukti yang banyak untuk menjebloskanmu.”

Seokjin terdiam kaku. Kedua belah bibirnya terkatup rapat.

“Jika kau tak bisa memilih salah satunya. Keluar dari ruangan ini, dan jangan berusaha membrontak ataupun mencampuri urusanku.”

Sudut bibir Kim Seokjin kini tertarik tipis. Ia tersenyum getir dan telah membawa tubuhnya melesat menjauh dari ruangan tersebut.

Namun, tubuhnya serasa tak bisa digerakkan kala sosok setinggi pundaknya menatap kosong dari balik keremangan lorong klub.

“Taehyung?”


○♤○


“Kembalilah setelah kau selesai,” Seokjin menatap lurus sang lawan bicara yang tengah bersandar bersamanya pada tembok bangunan usang di sebuah gang temaram.

Kunyahan bibir Si Kim seketika terhenti, “Bisakah kita kembali bersama, hyung? Aku...aku takut, po-polisi akan menemukanku.”

Netra Seokjin menoleh sekilas kearah Taehyung yang tengah mengunyah roti, tak sengaja mengamati luka lebam yang senantiasa tercetak pada wajah sang lawan bicara.

Ibunya...apa yang telah ibunya lakukan pada anak ini?

Seketika Seokjin mengalihkan pandangan, ketika ingatannya kembali mengulang kejadian kematian sang ayah beberapa hari yang lalu.

“Taehyung, apa kau tahu? Sebenarnya kau itu—” Pemuda itu menelan kalimatnya dalam-dalam. Kepalan tangannya melemah. Bukan pemuda ini yang bersalah. Bukan pemuda ini yang pantas menjadi pelampiasan amarahnya.

“T-tahu apa, hyung?”

Seokjin menghela napas pelan. Ia memilih menyunggingkan senyum tipis, “Bukan apa-apa. Cepat habiskan, kau tadi berkata sangat lapar’kan?”

Taehyung mengangguk tipis dan segera mengunyah roti itu dengan cepat.

“Kau...” Sang kakak susah payah menelan ludah. “Setelah selesai cepatlah kembali, hm? Aku akan pergi ke suatu tempat.”

“Bisakah...kita kembali bersama saja, hyung?” Pemuda itu kembali mengulangi pertanyaannya. Kedua netra Taehyung kini menatapnya lurus.  “Aku lebih suka bersamamu, hyung. Ibu...ibu terlalu menakutkan. Apa—apa ini karena aku melakukan itu pada ayah?”

Taehyung kini menggapai tangan Seokjin, netra pemuda itu tampak berkaca-kaca, “Sungguh, aku-aku tak tahu kenapa aku melakukan itu. Aku tak ingat pernah menyerang ayah. Kumohon, tetaplah bersamaku, hyung. Aku sangat takut pada ibu.”

Kedua netra Seokjin terasa perih, dengan cepat Ia melepas tangan Taehyung yang menahannya, “A-aku—" Seokjin kehilangan kata-kata. Dadanya serasa diremat hingga nyeri akan rasa bersalah yang menguar. Tak ada pilihan lebih yang bersisa, dan Ia seakan sudah tak bisa menginjakkan kaki diatas kewarasannya tanpa kehilangan akal.

Pemuda itu menekan dua belah bibirnya kuat, sebelum menatap Taehyung. “Aku hanya pergi sebentar. Aku akan kembali, Tae.” [♤]

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang