Pt. 8 (Waste It On Me)

426 73 17
                                    

Raena meremas tali tas selempang yang tersampir pada bahunya. Menyalurkan perasaan bercampur aduk yang tengah menjerat. Setelah beradu dengan kerumitan rasa dan percampuran memori serta berakhir memutuskan pilihan yang berusaha keras ia wujudkan, keadaan seakan tak membiarkan semua itu berjalan.

Sikap Yoongi berubah. Ya, ia tak ingin meyakini dugaannya tetapi apa yang dilihatnya pagi ini, seakan satu jawaban mutlak. Pagi ini pemuda itu menghindarinya, meski dengan susah payah ia berusaha menahan Yoongi agar menjawab pertanyaannya tentang apa yang terjadi kemarin.

Namun, lelaki itu menghindar secara halus, bersikap seperti tak ada yang salah. Hanya sejurus kalimat sederhana yang meski kebohongannya sangat kentara tapi cukup menghentikan arus pertanyaan yang terlontar. Yoongi berkata baik-baik saja dan tak perlu khawatir berlebihan.

Tentu, bukan itu yang ingin didengar Raena. Ia tak membutuhkan jawaban penjelasan mendetail, Raena sadar, tentu dirinya juga menjadi sebab kekalutan pikiran sang kakak. Bagaimana sikapnya selama ini, juga pertengkaran dihari itu ketika ia kembali mengungkit kepergian Yoongi. Ia ingin mendengar kejujuran kakaknya. Hanya itu. Meski terasa begitu terlambat, tetapi memang seharusnya ia menghadapi ini bahkan daridulu.

Jadi, tanpa bisa berkata lebih dan berharap kesempatan masih tersisa dikemudian hari, Raena menyeret tungkai menuju tempatnya bekerja. Dan bahkan ketika mendorong pintu kafe dan menimbulkan suara gemerincing, tanda bahwa satu pilihan sulit lain harus diambilnya seakan juga berbunyi.

“Hei!” Jungkook berbisik rendah, segera mendekat kearahnya. “Bagaimana kemarin? Kakakmu baik-baik saja?”

“Iya, dia baik-baik saja.”

“Oh, syukurlah.” Pemuda itu menjawab cepat sambil menghembuskan napas pendek.

Raena memincingkan mata ragu. Apa ia sebegitu khawatirnya?

“Bagaimana denganmu? Kau terlihat begitu terkejut kemarin,”

“Ah, aku? Aku—tentu baik-baik saja.” Raena menyelipkan anak rambutnya. Ia masih belum siap mengatakan sederet kalimat yang disiapkannya kemarin.

“Benarkah?” Jungkook terkekeh pelan. “Lalu...kenapa pipimu merah?”

Ap-apa?

Raena refleks menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kini benar-benar terasa dijalari panas. Apa ini? Apa kegugupannya benar-benar sekentara itu?

Mencoba menetralkan perasaan gadis itu berdeham, sebelum berujar. “Ekhem, benarkah? Ku-kurasa kulitku iritasi—“

“Aku hanya bercanda,” Pemuda itu menukas, sambil menampilkan seraut wajah jenaka.

Sialan, ingin sekali ia melempar sepatu kearah wajah didepannya.

Masih bergumul menahan desakan untuk tak mengumpat, lelaki bermarga Jeon didepannya kini malah mendesah lalu berujar santai. “Sulit sekali ya, membuatmu tertawa.” Mata hitamnya menatap lembut.

Raena terpaku. Namun si Jeon tak melanjutkan, ia sekilas melambai. “Aku akan kembali bekerja,”

“Tunggu!” Jemari Raena mengepal, kembali dilanda kegugupan yang entah darimana asalnya. Ayolah, kenapa sederet kalimat itu terasa mengganjal ditenggorokannya?

Jungkook segera berbalik. Si Son sekejap mengigit bibir bawahnya. “Terimakasih,”

Satu alis pemuda itu terangkat. “Untuk?”

“Karena telah membawa kakakku pulang dan...dan...” Raena kesulitan melanjutkan. Sedangkan Jungkook mengambil langkah mendekat dengan kurva lengkung pada bibirnya.

Gadis itu kini menggeleng kuat. “Ah, sudahlah. Kau pasti tahu apa itu. Intinya aku...berterimakasih.” Raena mencoba menatap sepasang netra hitam sang lawan bicara.

Bagian tersulitnya belum terlewati.

“Tak apa,aku menolongmu dengan tulus—“

“Dan—” Gadis itu menukas, tampak begitu ragu untuk melanjutkan. Sedetik kemudian nada suaranya merendah, setengah berbisik cepat. “Aku akan mentraktirmu sepulang bekerja,”

“Apa? Apa yang kau katakan?”

Raena berdecak akan wajah jenaka yang lagi-lagi ditampilkan Jungkook. “Tidak ada reka ulang. Aku harus mulai bekerja!” Si Son berlalu begitu saja, merasakan aliran panas yang terpusat pada kedua pipinya.

Pemuda itu berbalik menatap Raena yang terlihat beranjak sambil beberapa kali menghentak lantai menuju bagian dapur.

Ujung bibir Jungkook tak henti-hentinya tertarik membentuk kurva lengkung. “Jangan tarik ucapanmu lagi! Aku akan makan yang banyak!”


○♤○


Aroma bumbu pekat dan uap menguar perlahan, menyapa penciuman kedua manusia yang tengah duduk saling bersebrangan. Si Jeon didepannya masih sibuk menata beberapa bungkus makanan siap saji. Tak dapat dibohongi bahwa liurnya terasa sudah habis ditelan tak kala melihat pemandangan menggiurkan yang tersaji diatas meja.

Namun, sesuatu dalam dirinya terasa tersudutkan, maka mencoba menepis rasa lapar yang meronta gadis itu berucap datar. “Jeon, kau tahu? aku tak semiskin itu,” Raena menjilat bibirnya yang sedikit mengering. “Aku masih sanggup jika kau ingin makan—“

“Ini ramyeonmu.” Pemuda itu menyodorkan ramyeon yang baru saja diaduknya dengan begitu antusias, memotong perkataan lawan bicaranya begitu saja. “Kau bisa makan yang pedas-pedas’kan?”

“Jung—“

“Oh, tentu kau bisa, selain itu aku juga mengambil ini.” Jungkook menyodorkan sebungkus coklat, “Dan colanya—“

“Jeon Jungkook!” Raena tak sadar setengah berteriak,menarik atensi lelaki itu sepenuhnya. “Maaf, aku tak bermaksud—hanya...kau benar-benar ingin makan semua ini? Maksudku, aku sedang mentraktirmu dan kurasa kau bisa dapat yang lebih baik dari makanan cepat saji—“

“Ini bukan masalah makanannya,” Lelaki didepannya menukas, bibirnya kini mengulas senyum ringan. Sejurus kemudian ia menyodorkan sebotol cola kehadapan Raena.

Si Son masih bertahan terpaku menanti kelanjutan perkataan sang lelaki, sebelum jemari Jungkook bergerak, menyentuh jemarinya tanpa permisi. “Masalahnya adalah...kau ada disini, bersamaku, Rae.” [♤]

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang