Pt. 7 (Brittleness)

372 68 20
                                    

Gadis bersurai hitam sebahu itu tak henti-hentinya mengigit bibir. Perasaan cemas seakan menguar, memenuhi udara didalam rumah. Masih tergesa-gesa dengan pikiran diliputi tumpukan pertanyaan, Raena membawa keluar selimut ke ruang tamu. Segera setelahnya langsung menyelimuti sesosok lelaki yang tengah terbaring pada sofa.

Bibir sang kakak terlihat bergetar, setengah mengigil kedinginan. Refleks, Raena kembali beranjak dan menarik selimut tebal itu hingga benar-benar menutupi leher Yoongi.

Namun, jemarinya kini digapai begitu saja. Yoongi mendadak menarik tangannya dan menggenggamnya dengan begitu erat.
“Yoon, kau baik-baik saja—“

“Ja-jangan pergi...”

Raena membisu. Mata sang kakak masih tertutup rapat. Tetapi, tubuhnya bergerak seakan ia sedang mengumpulkan kesadaran. Berapa botol yang diminumnya?

“Yoon, kau mabuk. Lebih baik istirahat saja ya?”

“Ti..tidak, tunggu...” Pemuda yang tengah terbaring didepannya masih tak melepas tangannya. “Tetap...disini, kumohon...” Rancau Yoongi.

Gadis itu mengedip ragu, namun melihat wajah pucat sang kakak ia menyerah dan memilih duduk disamping sofa. “Aku...aku disini. Jadi, istirahatlah kau pasti sangat lelah.”

Raena menepuk-nepuk selimut itu, berharap memberi perasaan tenang, melihat Yoongi bergerak gelisah seakan ada sesuatu yang berusaha ia katakan. Sesungguhnya, Raena juga benar-benar ingin tahu apa yang terjadi. Ini pertama kalinya ia melihat Yoongi tak sadar dalam keadaan mabuk. Bahkan sampai diantar ke rumah. Setengah perasaannya lagi-lagi bergejolak. Ia masih menaruh rasa curiga terjadap si Jeon itu. Disisi lain seakan keadaan menempatkannya dalam situasi dan kondisi yang sedikit janggal tetapi tidak juga dapat disalahkan.

Jungkook terlibat dalam usaha gilanya untuk mengakhiri hidup, ia mencoba menyelamatkannya dari penguntit, dan sekarang ia juga yang membawa Yoongi pulang. Sejauh ini tidak ada hal yang salah, tapi sesuatu dalam dirinya menolak untuk lengah. Pemuda itu masih hanyalah orang asing.

Ya, dan—tunggu...darimana Jungkook mengetahui alamat rumah ini? Jangan-jangan dia—
Ah, tidak-tidak.

Raena menggeleng pelan, berdebat dalam bisu. Setelah semua yang dilakukan pemuda itu, ia tak bisa memojokkan dan berprasangka buruk terus menerus. Mungkin saja sang kakak sendiri yang merancau dan tak sengaja mengatakan alamat rumah. Bahkan terpancar jelas bekas segaris kekhawatiran pada wajah Jungkook disaat lelaki itu mengajukan diri untuk sedikit membantu meski langsung ditolaknya.

Mungkin, si Jeon itu memang bukan orang yang perlu diwaspadai. Mungkin dia hanya laki-laki biasa. Ia tak salah menebak’kan?

Atensi Raena pada akhirnya kembali teralihkan pada sosok didepannya. Tentu, bukan prasangka rumit akan Jungkook yang penting sekarang, tetapi sebuah kenyataan hubungannya dengan sang kakaklah yang patut untuk dipertanyakan. Tidak dapat dibantah lagi, bahwa Yoongi tidak baik-baik saja. Dan jawaban mengapa sang kakak mencapai titik ini sudah dapat dibacanya.

Aku tak pernah berhenti menjadi bebanmu’kan, Yoon?

“Kau tak perlu berbohong sampai sejauh ini—semua sticky note yang selalu kau tinggalkan...kumohon, berhenti mengorbankan dirimu, aku—“ Kedua netra Raena memanas, jemarinya kini mengenggam tangan Yoongi. “Aku tak ingin menambah bebanmu, aku tak ingin menambah rasa sesalmu atas kejadian dulu. Aku...aku tak ingin menyakitimu lebih jauh lagi, tapi...”

Bulir-bulir air mata meluncur bergantian dari netra hitam legamnya. Raena mengalihkan pandangan, mencoba menahan suara isakan yang hendak meluncur, sebelum berbisik rendah. “Maaf, aku belum bisa menerimamu sebagai kakakku lagi, Yoon.”

Hydrangea || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang