Sifra Williams
Aku bersama dengan Mr. Jeon sekarang. Dia sedang menangani permasalahanku dengan si penjaga kasir ini.
Mr. Jeon. bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
“Saya hanya meminta Nona ini untuk menunjukkan kartu identitasnya. Saya bekerja di sini, itu berarti, saya harus mengikuti peraturan yang ada di sini. Saya hanya tidak ingin dilaporkan atas kasus menjual alkohol pada anak di bawah umur. Ada CCTV nya di sini. Boss saya bisa memantaunya.”
“But I’m legal—”
“You need to calm down.” Ujar Mr. Jeon padaku. “Yang dikatakan oleh Nona ini adalah kebenarannya. Dia sudah legal untuk membeli atau meminum beer. Saya adalah dosennya di kampus. Dan saya bisa menjamin itu.”
“Benar begitu?” tanya si penjaga kasir. “Nona ini terlihat seperti anak-anak berusia lima belas tahun.”
Aku memutar bola mataku. “Fifteen, my arse!”
Mr. Jeon menggelengkan kepalanya. “Tidak. Dia sudah berkuliah di University of London, dan saya adalah dosen yang mengajar di sana. Jadi saya tahu. Dia sudah legal.”
“Kalau begitu, baiklah.” Si penjaga kasir ini pun mulai menghitung beer yang kubeli, lalu dia memasukkannya ke dalam paper bag. “Total keseluruhannya adalah £6.29,”
Mr. Jeon pun mengeluarkan dompetnya, lalu dia membayar beer milikku.
Setelah itu, dia memberikannya padaku. “Ini. Semua sudah selesai. Kau bisa pulang sekarang.”
Aku dan Mr. Jeon keluar dari convenience shop nya bersama.
Aku membasahi bibirku. Entah harus mengatakan apa. “Um, Mr. Jeon—”
“Hei, jangan panggil aku seperti itu. Panggil saja aku Jeon Jungkook. Kupikir usia kita tidak berbeda jauh. Jika kau memanggilku seperti itu, aku akan terdengar sangat tua.”
“T-tapi—”
“Kita tidak sedang di kampus. Tidak perlu bersikap atau berbicara formal denganku.” Katanya.
Aku mengangguk. “Oke, baiklah.” Lalu hening. Astaga. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padanya.
Kami berjalan beriringan. Entah ke mana. Aku tidak bisa pulang sekarang karena aku merasa tidak enak telah merepotkan Mr. Jeon.
Mr. Jeon menoleh padaku, “Kalau aku boleh bertanya, untuk apa kau membeli beer sebanyak itu? Apa kau berencana ingin mabuk?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak. Saya—saya stress dengan tugas kuliah. Jadi saya pikir, mungkin saya bisa bersantai sejenak dan menikmati beer.”
“I told you; jangan gunakan bahasa yang formal denganku. Kita tidak di kampus sekarang.”
Sial. Bagaimana bisa aku tidak bicara dengan bahasa formal? Aku saja sudah gugup sekali berada di dekatnya. Ugh!
Tapi aku penasaran. Apakah Mr. Jeon mengingat ciuman di stadium itu? Jika dia ingat, apakah dia menyadari bahwa wanita yang diciumnya waktu itu adalah aku?
Well, sepertinya dia tidak ingat. Lagipula, dia juga bersikap seakan tidak terjadi apa pun sewaktu di stadium. Sudahlah, lupakan saja.
“Rumahmu di mana?”
“Tidak terlalu jauh dari sini.”
“Kalau begitu, mari aku antar.”
Aku menggelengkan kepalaku. “No, you don’t have to. Saya bisa pulang sendiri. Sudah dekat juga,”