Jeon Jungkook
Jujur, aku kesal.
Well, siapa yang tidak kesal saat tahu bahwa wanita yang disukai ternyata sudah memiliki kekasih? Padahal Sifra bilang padaku di awal bahwa dia tidak punya kekasih.
Astaga.
Selama beberapa hari ini di kampus, aku berusaha untuk menghindarinya. Tapi sepertinya tidak bisa, karena kami selalu bertemu di kelas.
Aku sudah menyetujui permintaan Laurens untuk menjadi private tutor nya. Meski akhirnya aku harus mengubah jadwalku, tapi setidaknya Laurens membayarku.
Besok adalah hari Sabtu. Itu berarti, aku harus bertemu dengan Sifra.
Aku tetap akan membantunya dengan tugasnya, meski sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengannya. Tapi aku sudah berjanji. Dan janji itu harus ditepati.
Kini, aku sedang berbaring di ranjang sembari membayangkan apa yang tengah dilakukan Sifra sekarang. Tapi—ah, untuk apa aku memikirkannya? Dia saja tidak memikirkanku.
Lupakan dia, Jeon Jungkook.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk. Ternyata itu pesan dari Laurens.
Kubuka pesan darinya, lalu kubaca. Dan aku sangat terkejut saat membacanya.
Laurens: Mr. Jeon, saya sudah berada di depan rumah Anda.
“WHAT THE FUCK?”
Aku pun segera keluar dari kamar. Ada Papa di sofa, sedang menonton televisi. Ah, bagaimana ini?
Aku tetap membukakan pintu untuk Laurens.
Pintu terbuka dan Laurens berdiri di sana dengan sesuatu di tangannya. Ketika melihatku, Laurens tersenyum lebar. “Selamat malam, Mr. Jeon.”
“Untuk apa kau kemari malam-malam?”
“Anda mengirimkan alamat rumah Anda pada saya. Saya membeli ini untuk Anda. Dan saya ingin memberikannya.”
“Aku memberikan alamat rumahku untuk belajar saja, bukan bermaksud untukmu mengirimkan ini, apalagi datang kemari. Ini sudah malam, Laurens.”
“But I want to see your face, Mr. Jeon.”
Aku mengacak rambutku. “Astaga,”
“Jungkook, siapa itu?” Papa bertanya dari dalam. “Kenapa di luar? Ajak dia masuk. Di luar dingin.”
“Shit!”
Laurens mengatakan padaku, “Apa yang dikatakan Papamu itu benar, Mr. Jeon. Di luar dingin.”
Akhirnya, aku membawa Laurens untuk masuk ke dalam.
Papa melihat siapa yang baru saja datang, kemudian Papa berdiri. “Wah, wanita rupanya. Seharusnya kau segera ajak dia masuk. Tidak baik bicara di luar.” Ujar Papa. “Siapa namamu?”
“Laurens.”
“Cantik.”
Laurens memberikan makanan yang dibawanya. “Ah, saya membeli ini di jalan tadi. Untuk Om dan juga untuk Jungkook.”
Astaga, dia bahkan memanggilku Jungkook, padahal kami tidak begitu dekat.
“Baik sekali. Kebetulan juga Om belum makan. Terima kasih, ya. Omong-omong, panggil Papa saja. Jangan Om.”
“Baik, Papa.”
“Kalau begitu, kalian bisa berbincang, Papa akan ke belakang.” Papa pun beralih ke meja makan dan meninggalkan kami berdua.