Agar-Agar Eka | Dila Serenade Sekar | Majalah SoCa

427 12 2
                                    

Minggu pagi.

"Ayo, kita pulang!" ajak Hana pada Kikan. "Eka pelit! Males ah sama dia."

Kikan berdiri. Dia memandang Eka yang duduk di lantai teras, sambil memegang mangkok besar berisi agar-agar.

"Biarin. Ini kan punyaku," jawab Eka.

"Eka pelit! Ngajak main tapi nggak mau bagi makanan," ucap Kikan, lalu berjalan di belakang Hana, yang sudah lebih dahulu melangkah ke pagar rumah.

"Pergi sana!" teriak Eka. "Aku bisa main sendiri, kok."

***

"Eka, kenapa mukanya masam begitu?" tanya Ibu begitu Eka masuk rumah.

Eka tak menjawab. Dia berjalan menuju meja dan menaruh mangkok yang kosong, lalu berbalik menghadap Ibu.

"Eka kesel, Bu. Eka dibilang pelit sama Hana dan Kikan."

Ibu menaruh kemeja Bapak yang sedang diganti kancingnya ke meja ruang keluarga. Ibu berdiri dan menghampiri Eka, anaknya yang baru berusia 10 tahun itu.

Eka berlari ke pelukan Ibu. Dia menangis.

"Sudah... sudah...," bujuk Ibu. "Tak perlu menangis."

"Tapi Eka kesel, Bu. Kesel... kesel... kesel," jerit Eka.

Ibu berjongkok, dia membelai rambut panjang Eka, lalu telunjuk kirinya menghapus air mata di pipi Eka.

"Boleh Ibu tahu, kenapa kamu dibilang pelit?" tanya Ibu lembut.

"Tadi kan, Eka main A-B-C lima dasar sama Hana dan Kikan. Terus Eka masuk ke rumah dan mengambil mangkok agar-agar dari kulkas. Eka kembali bermain bersama mereka. Eh, Eka dibilang pelit," jelas Eka sambil sesekali terisak.

"Kamu makan sendiri agar-agar itu?" tanya Ibu.

Eka mengangguk. "Habisnya, Eka kan suka agar-agar, Bu."

Ibu menarik nafas panjang. Dia menatap Eka lembut. Lalu berdiri dan mengajak Eka ke sofa ruang keluarga.

"Jelas saja kedua temanmu mengatakan kamu pelit. Mereka kan ingin merasakan kelezatan agar-agar itu," ucap Ibu begitu duduk.

"Tapi, Bu." Eka menatap wajah Ibunya.

"Saling berbagi itu indah, loh! Kamu masih ingat dengan opor ayam semalam?" tanya Ibu.

Eka mengangguk. "Iya, Bu. Opornya enak."

"Nah, opor dikirimkan Ibunya Hana, khusus buat kamu," jelas Ibu.

Eka terdiam. Dia merasa bersalah. Ibunya Hana sudah berbaik hati memberikannya opor ayam. Masa dia tidak mau membagi agar-agar dengan Hana.

Eka bangun dari duduknya, lalu berlari ke dapur. Dia menghampiri kulkas dan membuka pintunya. Tak lama dia mengambil agar-agar dari freezer dan menaruhnya di mangkok. Kemudian dia berjalan ke luar rumah.

Ibu mengangguk melihat ulah Eka. Tersenyum. Lalu melanjutkan pekerjaannya, mengganti kancing kemeja Bapak.

***

Eka berdiri di depan pagar rumah Hana. Dia tampak ragu-ragu. Dia takut Hana menolak kedatangannya. Tetapi dia tak mau dibilang pelit. Akhirnya, dia memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Kebetulan Hana dan Kikan sedang duduk-duduk di lantai teras.

"Hana," panggil Eka.

"Ngapain kamu ke mari?" tanya Hana sambil berdiri. Kikan ikut berdiri.

"Aku mau minta maaf, mau ikutan main dan juga...,"

"Apa?" tanya Hana memotong ucapan Eka.

"Aku bawa agar-agar, untuk kita bertiga," ucap Eka.

Hana dan Kikan memandang senang. Keduanya segera menghampiri Eka dan menggandeng tangan Eka.

"Maafkan aku, ya," bisik Eka.

"Iya, kita maafin. Tapi bukan karena agar-agarmu," jawab Hana.

"Karena apa?" tanya Eka.

"Karena kamu teman kami." Kikan tertawa pelan.

"Maafkan kami sudah bilang kamu pelit!" lirih Hana.

Eka mengangguk. Ketiganya lalu tertawa. Mereka pun kembali bermain A-B-C lima dasar dan sesekali makan agar-agar yang dibawa Eka.

Kumpulan Cerpen Dari MajalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang