Part 5 : Perpisahan

70 6 0
                                    

Aku ingat betul hari itu. Hari pelepasan sekolah bertepatan dengan ulang tahun Dewa. Di acara tersebut murid berperingkat 3 besar secara paralel tiap jurusan akan maju bersama perwakilan orangtua untuk diberi penghargaan. Aku tidak masuk kategori tersebut, tidak bisa mengundang orangtua ku karena aku tidak layak. Setelah acara formal, hiburan acara ini adalah penampilan murid perwakilan kelas, entah menyanyi, standup comedy atau yang lainnya.

Sebelumnya Tania pernah bercerita padaku kalau Dewa yang menekuni ekstrakurikuler pramuka cukup menarik perhatian kakak kelas, tak jarang mereka juga ada yang cari-cari muka atau mencari perhatian. Namun yang membuat ku terkejut adalah Dewa digosipkan dekat dengan Vita. Dia teman seangkatan kami beda jurusan. Dia juga satu ekskul pramuka bersama Dewa.

Dekat ? Apakah Dewa yang mendekati atau dia didekati ?

Aku tahu meskipun kami tidak ada hubungan khusus namun hal ini cukup mempengaruhiku. Sepertinya Vita tadi naik ke atas panggung sebagai salah satu murid berprestasi.

Beberapa temanku berfoto bersama di luar dengan latar belakang banner atau spanduk almamater. Aku dan Tania tidak ikut nimbrung karena kami sama-sama anti kamera dan anti narsis. Lalu kami masuk lagi menikmati acara hiburan. Lagi-lagi aku terkejut. Vita yang tadi sempat mengganggu pikiranku, dia naik ke atas panggung bersama temannya. Mereka berdua duet menyanyikan lagu sebagai perwakilan yang tampil dari kelas mereka. Kuamati dia, begitu anggun, cantik, pintar, percaya diri, tidak demam panggung, bisa tampil di depan umum. Aku cukup down karena membanding-bandingkan diriku dengannya. Dilihat dari sudut manapun cowok pasti banyak yang tertarik padanya termasuk Dewa.

Setelah acara selesai dari kejauhan kulihat sosok Dewa yang masih duduk sendiri di bangku aula. Aku maju mundur ingin mendekatinya sekedar menyapa. Atau mungkin mengucapkan ulang tahun padanya. Tapi setelah kupikir-pikir lagi kurasa aku tidak berhak melakukan itu. Akhirnya aku berlalu begitu saja dengan penuh penyesalan. Aku lebih memikirkan gengsi daripada kepuasan hati.

***

Pengumuman SBMPTN sesuai dugaanku, aku tidak lolos. Memang benar tidak mungkin. Selama mengerjakan tes aku asal pilih jawaban, asal mengerjakan dan hanya ku niati untuk mencari pengalaman saja meskipun begitu aku telah lembur belajar dan berusaha. Ku hubungi teman-temanku. Kepo. Dan ternyata ada beberapa orang yang lolos. Itupun mereka dari golongan mampu yang mengikuti kursus bimbingan belajar dengan biaya mahal.

Selain SBMPTN aku dan teman-teman juga mengikuti UMPN ujian masuk politeknik. Aku masih sering chat dengan Dewa walau sudah jarang bertemu karena sudah menyelesaikan segala ujian di sekolah, tidak masuk sekolah efektif hanya ke sekolah jika ada berkas pendaftaran kuliah atau kerja yang perlu diurus. Aku tanya padanya apakah dia juga mencoba ikut UMPN dan kampus mana tujuannya. Lalu dia memberitahuku. Dia sepertinya tertarik dengan jurusan informatika dan komputer. Kusarankan ke kampus Y karena disana akreditasinya sudah tidak perlu diragukan lagi. Dia menjawab begini

"Padumu ben bareng kowe tho"
(Maksudmu biar bisa bareng kamu kan)

Dia menjawab begitu karena dia tahu kalau letak kampus Y berseberangan dengan kampus tujuanku. Sangat dekat.
Aku senyum-senyum sendiri tiap chat dengannya. Terkadang aku tidak bisa menahan diri menanyakan urusan pribadinya, terkadang aku juga terlalu menggodanya dengan kata-kata yang menunjukkan aku memiliki rasa. Sejak berakhirnya tugas besar membuat film aku dan Dewa jadi semakin akrab. Bukan soal urusan akademik, karena sebelumnya dia menjabat sebagai ketua kelas dan aku sebagai bendahara yang awalnya aku dipilih sebagai wakil ketua, namun aku menolak karena aku tidak mau sibuk, rapat kesana-kemari yang dapat mengganggu pelajaranku. Selain itu saat itu aku juga masih menyukai Rama, tidak ada niat modus mendekati Dewa.

Aku sudah mengikuti tes tulis UMPN dengan perasaan was-was dan optimis. Namun saat tes wawancara karena kelewat gerogi pertanyaan mudah dari dosen membuatku mati kutu. Beliau memberiku soal mudah untuk mencari volume ruangan. Lalu menyinggung persamaan satuan, entah aku lupa berapa angkanya beliau menanyakan jika xxxx m3 berapa liter. Aku bingung. Lalu dibuat lebih sederhana. Antara satuan liter dan m3 lebih besar mana. Dengan bodohnya aku menjawab liter. Baru kusadari saat aku mengingat satu liter adalah seukuran botol kecil berisi bensin yang dijual disepanjang jalan, sedangkan satu m3 bisa saja air penuh di bak mandi dengan ukuran panjang lebar tinggi satu meter. Inilah kebodohanku sepanjang masa yang akan selalu ku ingat. Untung saja hal ini tidak menjadi penyesalanku seumur hidup karena akhirnya aku diterima sebagai mahasiswi kampus ini. Baru kutahu setelah beberapa semester berkuliah bahwa dosen yang mengujiku saat wawancara adalah bapak wakil direktur bagian kurikulum dan akademik. Terimakasih bapak sudah memberi saya kesempatan.

Aku dan Raisa adalah dua orang di kelas yang berhasil diterima kuliah melalui jalur UMPN. Semua teman-temanku yang mencoba tidak ada yang lolos. Padahal semua teman-temanku yang ikut jalur ini memilih kampus yang sama dengan Raisa dan hanya Raisa yang diterima. Sedangkan aku yang tidak tertarik dengan jurusan komputer dan sejenisnya memilih di kampus lain dan jauh di kota lain.

KITA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang