Part 21 : Bandul

32 1 0
                                    

Sudah jatuh tertimpa tangga, belum lagi plafon dan gentengnya ikut jatuh juga. Begitulah saat ini yang dialami Dewa. Kecelakaan yang dialaminya kini membuatnya harus bergantung pada kursi roda, membuat pernikahannya tertunda, menjadikan dirinya sebagai saksi kecelakaan di pengadilan, belum lagi urusan kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Walaupun begitu Dewa sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan menikmati hidup lagi dan calon istrinya itu disana menunggunya. Begitulah yang dia pikirkan hingga suatu percakapan muncul dan memicu pertengkaran.

Dua orang paruh baya itu keluar dari kamar Dewa, memberikan privasi kesempatan mengobrol pada anak dan calon menantunya. Sosok yang anggun menawan itu duduk di ranjang Dewa. Duduk berhadapan dengan lelaki berkursi roda yang akan menjadi calon suaminya. Tidak ada niatan berkhalwat (berdua dengan lain jenis yang bukan mukhrim) untuk melakukan zina. Mereka hanya ingin membahas sesuatu yang penting.

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan ?" tanya Hana, karena sejak tadi Dewa masih diam.

"Terimakasih, masih mau repot kemari menjengukku" ucap Dewa akhirnya.

"Sudahlah jangan bicara begitu"

"Sebenarnya ada sesuatu yang harus kamu tahu. Bisakah kamu merahasiakannya, Hana ?"

"Tentu. Katakan saja"

"Kamu harus berjanji tidak akan memberi tahu pada siapapun juga" desak Dewa.

"Kenapa Dzihan ? apa sebenarnya yang ingin kamu katakan ?"

"Aku merasa kamu berhak tahu, karena ini menyangkut masa depan kita. Jadi cukup kamu saja yang tahu cerita ini."

"Baiklah, aku berjanji akan merahasiakannya"

Dewa menceritakan kronologis kecelakaan yang dialaminya. Setelah keluar dari rumah sakit dan menjalani pemeriksaan sebagai saksi, akhirnya persidangan kasus kecelakaan itu ditunda karena menunggu kesaksian korban yang masih belum siuman.

"Kamu egois Han ! sangat egois. Kenapa kamu melakukannya, kamu bisa saja dipenjara jika dia meninggal. Kamu tidak memikirkanku sama sekali ?!" Ucap Hana penuh kecewa.

"Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, Hana. Tubuhku bergerak cepat dengan sendirinya"

"Tapi tidak harus begini Dzihan, lihat apa yang terjadi padamu sekarang ? Kenapa kau rela berkorban sejauh itu hanya untuk orang yang tidak kamu kenal ?" kemarahan dibalik tutur lembutnya itu semakin membuat Hana tidak bisa mengontrol diri.

"Aku akan memberi tahu papa !" tambah Hana lagi. Dia berpikir papanya yang cukup punya jabatan di kepolisian pasti bisa membantu Dewa.

"Hana, jangan ! Kamu sudah janji. Kamu tidak boleh melakukannya !" Cegah Dewa.

"Kamu melakukan itu tanpa memikirkanku, tapi aku melakukan ini demi kebaikanmu" balas Hana.

"Ini pilihanku, tidak ada hubungannya denganmu Hana. Aku tidak menyesalinya"

"Tidak ada hubungannya denganku ? jadi kamu menganggapku ini apa ? aku sudah mencoba berbesar hati menerimamu meski kamu tidak bisa berjalan lagi Dzihan, tapi jika kamu sampai masuk penjara aku-"

"Kenapa Hana ? kamu tidak mau memiliki suami mantan narapidana ? dan lagi 'mencoba' katamu ? jadi sebenarnya kamu keberatan dengan kondisiku yang seperti ini, aku bahkan tidak cacat Hana" jawab Dewa.

"Pokoknya aku tidak setuju kamu mengaku begitu, kamu harus menceritakan sejujurnya di pengadilan nanti. Aku akan menjelaskannya pada papa" Hana bersikeras.

"Tidak ! tidak boleh. Sudah kukatakan aku tidak menyesalinya. Ini pilihanku kuharap kamu menghargai nya" Dewa masih kokoh pada pendiriannya.

"Kamu yakin tidak keberatan meski nanti harus masuk penjara ?!"

Dengan berat hati Dewa menjawabnya, "Ya. Aku tidak keberatan"

"Tapi aku yang keberatan" sahut Hana pelan dengan sesenggukan.

"Maafkan aku Dzihan, aku tidak akan sanggup bersamamu jika kamu bersikeras begitu" Ucap Hana sambil pergi meninggalkan kamar.

***

Sore itu seperti hari biasanya saat Dewa melaju ke arah kosan pulang dari tempatnya bekerja. Jalanan utama yang begitu ramai hingga hampir macet membuatnya putar arah mencari rute lain yang bisa dilewati. Sebuah jalan kecil di daerah yang sepi kendaraan menjadi alternatifnya. Hingga di suatu pertigaan, seorang anak SD yang asik mengejar bola, tidak menyadari ada truk melaju cepat ke arahnya. Dewa berteriak memperingatkan. Dengan kecepatan tinggi dia melaju menuju bocah itu berusaha menyelamatkannya.

Tanpa pikir panjang Dewa menabrakan diri ke truk hingga terpental beberapa meter dari motor. Truk berhasil dihentikan dengan ringseknya motor Dewa di ban depan truk itu. Dewa mengalami luka-luka di tubuhnya cukup parah namun dia masih sadar. Bocah itu berlari menuju arah Dewa, hendak menolongnya. Namun naas, dari arah truk melaju ada motor yang menabraknya. Suara "kretek" itu terdengar begitu ngilu ketika salah satu tulang kaki terlindas dua kali oleh ban motor depan belakang.

Dengan kaget dan kebingungan, pengendara motor itu turun melihat kondisi bocah tak sadarkan diri yang ditabraknya. Dewa ternganga. Semua usahanya sia-sia karena pada akhirnya bocah tersebut mengalami kecelakaan lainnya. Jatuh bangun dan tertatih Dewa mencoba berdiri. Gagal. Dewa memaksa merangkak mendekati bocah itu. Raut kebingungan dan kekhawatiran di wajah kakek tua itu terlihat jelas.

"Toh long... ka-kek cari ban-tuan. Saya su-dah tidak kuat lah gi" ucap Dewa kesakitan dengan pandangnnya yang menghitam.

Secepat kilat kakek itu berlari menuju pemukiman warga. Setelah beberapa lama barulah warga datang dengan berbondong-bondong. Di rumah sakit itu sudah ramai polisi berjaga. Beberapa dokter disibukkan menangani supir truk yang meninggal karena serangan asma saat mengemudi sedangkan Dewa dan bocah SD yang masih tak sadarkan diri itu menerima bantuan medis di ruang intensif.

Dewa terkejut saat mengetahui bahwa dia tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Baginya, dia hanya tidur sebentar memimpikan seseorang. Kerabat dan teman-temannya bergantian menjenguk Dewa. Kakek yang waktu itu juga datang menengok bersama cucunya. Baru Dewa tahu ternyata kakek itu tuna wicara (bisu) sejak lahir dan pendengarannya juga mulai berkurang karena faktor usia. Beliau bekerja sebagai pengumpul barang bekas dan dijual untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan cucunya. Mereka berdua hidup sebatang kara. Kakek itu menjelaskan dengan isyaratnya dan bantuan cerita dari cucunya yang masih berumur 6 tahun.

Belum selesai pemulihan, Dewa sudah diburu untuk proses introgasi. Banyak hal yang mengganggu pikiran Dewa. Saat polisi menjelaskan kesimpulan yang didapat berdasarkan olah TKP untuk dicocokkan dengan kesaksian yang akan Dewa berikan, dia tidak tega mengatakan bahwa sang kakeklah yang menabrak korban. Dewa mengaku bahwa dia tidak sengaja menabrak korban saat mencoba menyelamatkannya. Dan hingga dua minggu ini korban belum juga siuman. Keluarga korban akan menuntut Dewa jika korban meninggal.

***

Dewa masih diam tak bergeming menyendiri di kamar. Bapak ibunya bertanya-tanya mengapa Hana mendadak pergi dengan berlinangan air mata. Dewa menolak menjelaskannya.

Tangan itu masih sibuk memainkan potongan bandul yang sangat tidak asing baginya. Dia juga memiliki yang serupa, hadiah dari temannya dulu. Gantungan kunci dengan bandul logam berbentuk bulat yang dilengkapi logo perusahaan pembuat.

Bagaimana bisa adiknya menemukan bandul itu di kolong kursi di kamar rumah sakit tempat dia di rawat. Padahal miliknya masih utuh dan tersimpan awet di almari masih lengkap dengan plastik dan kotak pembungkusnya. Terbesit satu nama.

KITA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang