The Last Extra

93 4 0
                                    

H-ribuan

Bel istirahat terdengar. Antri di kantin tidak pernah lepas dari keramaian. Yang di depan gerbang juga tak kalah saingan. Jejeran penjual pentol, batagor, dan gorengan crispy langsung membludak di serbu kaum yang kelaparan.

Di kelas yang cukup sepi dan normal masih ada satu kelompok yang duduk lesu memutar otak mencari ide. Hanya satu kelompok ini yang belum mengumpulkan konsep timnya akan melakukan wirausaha apa.

"Buntu. Mau jualan apa enaknya ?" celetuk Intan.

"Pengennya sih ternak lele" sahut Ari polos.

"Gundulmu. Kelaman keles. Modalnya juga gede. Belum sempet panen kita udah naik kelas duluan" ceplos Windy.

"Ya terus apa" Ari tak sabar.

"Jual makanan udah di ambil kelompok 1 & 3. Jual jasa juga udah kelompok 6 & 7. Nggak boleh sama kan ?" Dewa mengingatkan.

"Yap. Kita kalah cepat" Ana mengiyakan.

"Lha terus kita mau jual apaan kalau nggak boleh sama ?" tanya Ari.

"Jual diri" Windy mulai sewot.

"Hush...hayo dikondisikan mulutnya" ucap Intan.

"Padahal baru kemarin selesai MOS, kenapa langsung kasih tugas gini sih. Nggak basa-basi kenalan dulu kek" rutuk Ari yang malah mengundang tawa anggota kelompok.

"Kelompok 2 sama 4 usaha apa ? Kali aja bisa ngikut tapi beda jenis" tanya Intan.

"Katanya kelompok 2 mau bikin usaha es cincau. Kalau kelompok 4 usaha desain poster, cover, semacam itulah" jelas Dewa.

"Gimana kalau jualan barang aja. Belum ada kan ?" Ana mendapatkan ide.

"Wah boleh tuh. Tapi barang apa ?" sahut Ari.

"Barang ghoib" jawab Windy.

"Iih nih orang dari tadi juga. Ngaco aja. Bantu mikir kek. Jangan tambah bikin emosi" Intan menjadi geram dengan tingkah Windy.

"Win, yang serius dong" Ana ikut menimpali.

Mereka terdiam mencari ide. Ari berusaha berpikir disertai mengunyah pentol cabai. Dewa asik menyedot es sambil merenung. Ana mencoret-coret buku membuat list abstrak. Sedangkan Windy dan Intan sama-sama diam berimajinasi.

"Itu...lagi ada yang populer kan. Gimana kalau kita jual variasi daleman" usul Ana.

Ari hampir saja menelan pentol bulat-bulat.

"Jual sempak gitu ?" ceplos Ari.

"Tangtop ?" selidik Windy.

"Bikini ?" sahut Intan.

"Boxer ?" tanya Dewa ragu sambil mengelap percikan es di wajahnya.

"Eeeh...kok gitu. Bukan, maksudnya daleman jilbab. Kan lagi booming tuh. Ada yang bentuk ninja, rajut, topi" jelas Ana.

"Eeeh itu. Lagian yang jelas dong ngomongnya. Jangan ambigu ?" ujar Intan.

"Hehe" Ana cengar-cengir malu.

"Boleh tuh. Tapi pembelinya terbatas buat cewek doang. Kurang umum. Lagian aku sama Dewa juga malu lah mau promosiin gituan" sanggah Ari diamini Dewa.

"Kalau aksesoris HP gimana ? Bisa buat umum kan. Siapa sih jaman sekarang yang nggak punya HP" usul Dewa.

"Nah ini mantab. Setuju bro" Ari mengajak tos Dewa.

"Ide bagus. Itu juga termasuk kan. Yang dari karet buat ngelapisin HP. Apasih namanya ? Kondom ?" Celetuk Ana.

Uhuk...uhukk...

Ari keselek pentol. Hidungnya pengar karena kepedesan hingga membuat wajahnya memerah. Sedangkan Dewa menyemburkan es yang di sedotnya hingga keluar melalui hidung. Bahkan baju seragamnya ikut basah.

"Kok kondom sih. Silicon Na !" Koreksi Intan.

"Casing HP" tambah Windy.

"Masa sih. Tapi aku pernah denger kalau namanya kondom" Ana masih tak percaya.

"Denger dari siapa ? Sesat tuh orang" sahut Ari.

"Plis jangan sebut itu lagi. Bisa bikin salah paham" pinta Dewa.

"Emang kondom itu apa ?" tanya Ana polos.

Windy dan Intan ikut mengangguk memandang Dewa. Mengisyaratkan kalau mereka sama-sama tidak tahu. Sedangkan Dewa hanya bisa berpandangan dengan Ari. Pikiran mereka sudah melayang terlalu jauh.

Cobaan apa ini ?

KITA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang