Part 43 : Dèjá Vu

35 3 0
                                    

Dewa duduk dengan gelisah. Diliriknya lagi ponsel yang dia pegang. Pukul 10.12. Dia bertekad untuk menunggu, dia akan menunggu. Apakah benar Ana tidak akan datang ?

Saat dia memasuki cafe yang pernah didatanginya itu dia merasa deja vu. Hari yang sama dengan jam yang sama dan kebetulan juga tempat duduk yang sama. Sudah sejam lebih dia betah disana. Memandangi lalu lalang kendaraan dari cafe yang berada di lantai dua (lantai satu berupa tempat belanja, Indoapril).

Seperti inikah saat Ana dulu menungguku disini ?

Dewa membaca pesan masuk dari adiknya, Azka.

=================WA================

Mas, dimana ?
Jadi brngkat apa gk ?

Iya, nanti habis dzuhur.
Jam 1 an. Msh ada perlu.

Nggk ada antusiasnya bgt,
pdhal mau k luar negeri.
Semangat kek, malah ditinggal
keluyuran.

Hhha, sbar kali.
Klau brngkat skrang,
dsana mau ngapain.
Jdwal terbang jg msh nnti sore

Heeh, tau gitu aku balik kos kmaren.

Trus siapa yg bawain koper, tas,
perbkalan, dll itu ?

Jin ifrit lu lah

Adek setan !

=================WA================

Menunggu, tentu saja ada batasnya. Adzan dzuhur telah berkumandang. Mau tak mau Dewa keluar cafe dengan pupus harapan. Dia berjalan menuju ke masjid Agung yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Setelah sholat berjamaah disana, dia menuju pangkalan ojek dan bergegas pulang. Masih ada perjalanan selanjutnya yang harus ia lakukan.

Sampai di rumah, Azka sudah menyambutnya dengan wajah bersungut. Dewa bergegas ganti baju dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa. Dengan mobil pinjaman tetangga, Dewa dan Azka diantar oleh bapak ibu ke stasiun. Beruntung jarak rumah dengan stasiun tidak begitu jauh. Setelah sungkem dan bertukar salam, Dewa dan Azka memasuki salah satu gerbong kereta yang akan membawanya ke kota lain dimana bandara berada.

"Habis dari mana sih mas tadi ?" tanya Azka.

"Pengennya sih ketemu pacar, tapi lupa kalau ternyata nggak punya" jawab Dewa asal.

"Situ sehat ?"

"Gimana kuliahmu ? Jangan macem-macem ya ! Tahun depan harus lulus. Awas molor, bayar sendiri UKT-nya" ancam Dewa.

"Emang ente, tenang aja. Adekmu ini orangnya berorientasi pada tujuan. Gak akan nikung sana sini kalau tujuan belum tercapai"

"Emang lu punya tujuan ? Apa coba ?"

"Work hard in silence, let your success be your noise" jawab Azka bangga.

"Tambah pinter ya sekarang" ucap Dewa sambil memiting kepala Azka di bawah ketiaknya.

"Udah dari dulu"

###

Azka dan Dewa berasa jadi orang kampungan saat pertama kali memasuki bandara. Memang benar ini akan menjadi pertama kalinya bagi Dewa untuk menaiki pesawat. Sejenak dia melupakan kekecewaannya. Melihat keramaian orang selalu berhasil menjadi penenangnya.

"Jam berapa take off ?"

"Gaya lu boy" Dewa tertawa mendengar bahasa adiknya.

"Setengah jam lagi" jawab Dewa.

Drrdrrrtddrrrt
Panggilan masuk dari Edo.

"Iya Do, lu dimana ?....oh barusan sampai. Gue di..." Dewa celingukan mencari tanda di sekitarnya. Memberi tahu Edo, lokasi tepatnya di ruang tunggu keberangkatan.

Tak beberapa lama kemudian, Dewa melihat Edo dari kejauhan. Sama halnya dengan dirinya, barang bawaan Edo juga lumayan banyak. Satu tas sedang di atas kopernya dan dia tarik sambil berjalan.

Astaga tidak mungkin !

Dewa ternganga. Raut wajahnya berubah. Selangkah demi selangkah hingga Edo tepat di hadapannya kini. Salah satu wanita di belakang Edo tersenyum padanya.

Kaki Dewa melangkah tanpa diperintah. Tangan kanannya dengan cepat bergerak, menarik seseorang ke dalam pelukannya. Dia merasakan hembusan napas hangat di dadanya terhenti. Detakan jantung yang berderu kencang saling bersahutan. Suara yang memekik terkejut di belakangnya seolah tak terdengar. Dia terlampau senang.

"Apa yang-"

"Mas Dewa ?!" teriak Azka.

"Bang Dzi ?!"

"Eeeh !!!!"

KITA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang