Part 13 : Nostalgia

41 4 0
                                    

Ada sekitar lima buku paket yang dibeli Erlang. Memang benar sesuai dugaannya, cukup merepotkan jika mencari sendirian. Ini toko buku entah keberapa yang kami datangi. Semua daftar buku Erlina sudah terpenuhi. Erlang antri membayar di kasir, sementara aku masih berkeliling di sekitar sekedar membaca judul-judul buku yang terpajang. Mataku tertuju pada novel dengan cover yang terilustrasi gambar kartun begitu abstrak dan epik. Kuambil dan kubaca sinopsisnya. Haaah ?! Kenapa isinya begini. Kulihat sampul depannya lagi. Malam Pertama. Astaga pantas saja. Kulihat ada peringatan yang terpajang di rak buku depanku ini. Khusus 20 ke atas. Ku kembalikan buku itu. Tiba-tiba pikiranku melayang, terlintas lagi sosok Dewa dalam angan. Dia bersama istrinya pasti sudah melakukannya. Kuhela napas panjang. Tak mau lagi memikirkan seseorang yang sudah dimiliki orang lain.

"Ayo, perburuan sudah selesai" Erlang membuyarkan imajinasi liarku. "Ngapain ? tertarik beli satu ?" godanya.

"Gak lah. Belum waktunya" jawabku sambil keluar toko duluan.

Kakiku terasa pegal. Kami mencari tempat duduk kosong di cafetaria mall yang begitu ramai. Biasa, euforia akhir pekan. Erlang membelikan minuman dingin dan camilan ala cafe. Kami berdua menikmati keramaian suasana mall, mengistirahatkan kaki sambil berbincang santai.

"Makasih ya bantuannya"

"Tidak masalah kalau ada traktiran nya" candaku.

Hening...

"Sudah lama ya gak kayak gini" kata Erlang yang spontan membuatku berhenti mengaduk minuman. Apa maksudnya ?

"Hah ? Kayak gimana ?" Sahutku polos

"Kita dulu waktu maba" ucapnya to the point. Dia banyak berubah. Sekarang lebih berani dan tidak ragu-ragu lagi.

"Oh.." jawabku singkat. Mulai paham, mengarah kemana maksud pembicaraan itu.

"Kenapa ? ngggak nyaman ya ?" tanyanya lembut takut menyinggungku.

"Santai aja" aku sudah bisa mengontrol diriku agar tidak mudah baperan.

Hening lagi...

"Boleh tau nggak, dulu kenapa kok kita tiba-tiba begitu. Yaaah kalau nggak keberatan njawab sih" ucapnya santai.

Kita tiba-tiba begitu ??? Dalam hati aku bertanya-tanya. Kuingat lagi masa-masa yang dimaksudkan.

***

Aku dan Erlang kurang lebih sudah PDKT (pendekatan) selama tiga bulan. Aku cukup tahu kalau dia menyimpan rasa padaku. Lalu bagaimana denganku ? entahlah aku tidak yakin. Memang banyak perasaan baru yang muncul namun itu semua diselimuti dengan kehawatiran dan ketidaknyamanan yang tak bisa kujelaskan. Erlang lebih sering mengajak bertemu, entah makan bersama, menemani latihan futsal atau badminton, mengerjakan tugas, dll. Aku lebih banyak menolak. Tidak tahu apakah karena aku yang terbiasa mager ataukah karena yang lain yang pasti bukan karena capek. Aku sesekali mengiyakan ajakannya itupun lebih karena sungkan menolak, selama ini dia selalu menolongku dengan memberi tumpangan antar jemput ke kos dan kampus. Aku jadi merasa tidak enak disaat dia membutuhkan teman tapi aku tidak pernah menemaninya.

Hari itu menjelang ujian semester pertama. Chatku jadi jarang dibalas, dibalas pun selang waktu beberapa lama. Aku tidak tau, dia dengan sengaja begitu atau memang sedang mengujiku agar aku mencari-carinya. Aku tahu kita sedang menuju UAS tapi setidaknya dia bisa memberi kabar jika ingin berkonsentrasi belajar. Aku orang dengan gengsi yang tinggi. Lalu kubiarkan saja. Hingga kami tidak saling chat selama satu minggu penuh. Benar sesuai dugaan. Hari terakhir ujian dan semua sudah selesai. Dia langsung membalas chatku dan mengajak bertemu bahkan men-spam dengan chat panjang. Kuabaikan. Lalu malamnya dia menelpon ku. Sengaja tak kuangkat. Itu terjadi cukup lama. Mungkin aku terkesan jual mahal.

Hingga akhirnya dia lelah mengejarku dan tidak menghubungiku lagi. Saat berpapasan di kampus aku lebih memilih menghindar, mencari jalan memutar agar tidak berpapasan. Sekalipun berpapasan juga saling diam. Aku tidak tau ada apa denganku saat itu. Aku yakin aku tidak memiliki perasaan apapun padanya. Namun yang kulakukan juga sangat tidak benar. Pergi begitu saja mencampakkannya tanpa penjelasan. Menjadi PHP (Pemberi Harapan Palsu) dan melukai perasaannya. Memang terasa sekali begitu sepi. Hari-hariku yang selalu absen chatting dengannya, sudah tidak ada lagi. Lambat laun aku mulai terbiasa dengan kehidupanku yang dulu, saat dimana aku belum mengenalnya.

Sudah begitu lama, hingga akhirnya dia mengalah chat duluan padaku saat lebaran Idul Fitri. Dia meminta maaf jika ada salah yang membuatku marah. Begitu panjang chat darinya. Aku merasa lega. Karena selama ini aku diliputi rasa bersalah dan mau chat duluan pun terhalang oleh gengsi. Ku balas chat itu dengan jawaban yang sama. Aku juga meminta maaf atas semuanya dan berterimakasih padanya. Sebelumnya saat aku mencoba menyapa duluan ketika berpapasan dengannya, aku merasa begitu sakit karena dia mengabaikan ku. Beberapa kali kucoba namun tetap sama. Akhirnya aku menyerah. Dari awal memang semuanya salahku. Aku yang memulai, barusaha untuk memperbaiki. Kami bertemu dengan baik jadi setidaknya berpisahpun harus secara baik-baik.

Semenjak chat saling minta maaf saat lebaran itu, tiap bertemu kami sudah saling tukar senyum. Kami tidak pernah bertukar pesan lagi dan tidak pernah mengobrol (tidak pernah ada dalam kondisi untuk ngobrol). Walaupun kadang temanku masih pada rese, menggodaku dengan kata-kata CLBK namun kini aku sudah tidak mau ambil pusing. Niatku satu. Memperbaiki hubungan ku dengannya. Namun aku tidak mau membangun kembali hubungan yang seperti dulu. Hanya berteman biasa.

Benar-benar lega, tidak ada lagi perasaan was-was ataupun mencari rute untuk menghindar. Kami sudah bisa saling ngobrol biasa. Kuberanikan diri bertanya dan mengajaknya ngobrol duluan tiap kita bertemu di suatu acara, kuliah tamu, kumpulan prodi, dll. Diapun mencoba hal yang sama padaku. Imbal balik memperbaiki keretakan.

***

Setelah kuingat-ingat lagi aku cukup geli dengan kenangan itu. Sebenarnya saat itu aku merasa tidak nyaman dan tidak cocok jika harus melanjutkan hubungan dengannya. Untung saja Erlang belum sempat nembak (PD banget kalau mau ditembak, sapa tau nggak). Perasaanku saat itu juga masih labil dan belum bisa melupakan Dewa.

"Hmmm....maaf ya. Waktu itu masih masa-masa labilku" jawabku akan pertanyaan Erlang.

"Hah ?! Nggak nyambung tau" tambahnya

"Ya mau gimana lagi... pengen jawaban yang kaya gimana" tanggapku santai

"Kenapa ? Ada orang lain ya ?" tebaknya langsung tepat sasaran.

Kuhentikan kunyahanku seketika. Berpikir. Haruskah kujawab jujur. Toh kejadian itu juga sudah sangat lama. Akhirnya aku menangangguk. Membenarkan tebakannya.

"Sudah kuduga" dia membuang napas berat.

Hah ?! Apakah aku melakukan kesalahan lagi ?

"Kalau sekarang bagaimana ?" tanyanya sambil memandangku dalam-dalam.

Aku tidak bisa menatapnya. Kuseruput minuman dingin itu, berharap bisa mendinginkan suasana yang kian memanas ini. Aku harus jawab apa ?!

"Udahlah nggak usah dibahas. Gimana kamu ? Orang mana pacarmu ? Jangan bilang belum bisa move on dari aku" aku bertanya dengan PD gila berharap dia akan menjawab sombong memamerkan pacarnya agar membuatku menyesal.

"Iya, benar. Memang belum bisa" jawabnya tanpa memalingkan pandangan.

Kuamati wajah itu. Kutatap ke dalam matanya. Apakah dia sedang serius ? Kenapa malah jadi begini ? Pertanyaanku menjadi senjata bumerang untuk diriku.

KITA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang