Kami bersalaman lalu duduk berhadapan sambil mengobrol namun sedikit terganggu suasana cafe yang begitu ramai. Akhirnya Dewa mengajak pindah ke ruangan tertutup yang lebih terprivasi. Aku yang belum sarapan memesan menu nasi ayam bumbu dan minuman hangat sedangkan dia hanya memesan cemilan dan segelas soda.
Aku tidak pandai berbasa-basi. Tapi keheningan ini juga membuatku tidak nyaman.
"Jadi ? Ada apa ? tumben sekali kita bertemu begini" tanyaku.
Sial. Bukan begini caranya basa-basi. Bukankah kamu ingin lebih lama dengannya kenapa seolah ingin segera pergi.
Dewa tampak kaget. Perlahan dia menaruh gelas minumnya dan memandangku.
"Ada apa ? Tidak ada apa-apa. Entahlah. Bukankah kita jarang bertemu. Apa ini mengganggu mu ?"
"Bukan begitu maksudku. Hanya saja terasa aneh"
Dia tertawa kecil. Jujur saja aku sangat gugup dan salah tingkah di depannya. Dia bergerak mencari sesuatu di tas slempangnya.
Wait a minute. Kenapa adegan ini terasa familiar.
"Stop !" pintaku tiba-tiba.
"Kenapa ?"
Yaaa...aku yakin sekali pernah melihat kejadian ini. Apakah dia akan mengeluarkan sepucuk undangan pernikahannya ? Tidak mungkin mimpiku menjadi nyata. Sejak kapan aku jadi cenayang.
"Tahan dulu. Aku tahu apa yang akan kamu berikan. Tapi tunggu sebentar ada yang ingin ku katakan" cegahku. Dewa menurut.
"Kamu sudah tahu ?" tanyanya.
"Ya" jawabku sambil mengangguk.
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Menyiapkan diriku sendiri agar tetap terkendali. Baiklah, toh ini juga sudah kuduga. Apa yang sudah ku awali harus ku akhiri.
"Maaf. Aku egois telah mengatakan hal itu. Maaf sudah membebanimu selama ini." Ucapku.
"Hal itu apa ?"
"Ituuu, yang pernah ku katakan dulu"
"Itu yang mana ?"
Aku mendengus. Dia pura-pura atau memang sengaja.
"Apa ? Aku tidak mengerti maksudmu ?" Dewa terlihat serius tidak paham.
Masa dia sudah lupa ? Ya memang benar selama ini aku berusaha bersikap biasa dan membalas chatnya biasa saja setelah beberapa tahun silam aku pernah memberitahu kalau memiliki perasaan padanya. Sayangnya dia hanya menganggap aku bercanda. Dan pertemanan online kami terus berlanjut seolah tidak ada yang terjadi.
"Aku tidak seberani itu mengatakan langsung meski saat chatting-an begitu blak-blakan" jawabku malu.
"Tunggu...tunggu... sebenarnya apa yang mau kamu katakan ? Kenapa juga minta maaf ? membebaniku apa ?"
Huft...bagaimana aku mengatakannya ? Aku tidak mau terlihat menyedihkan saat dia menolakku dengan menyerahkan undangan itu. Jadi aku akan mengakhirinya terlebih dulu.
"Diam dan dengarkan baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya" aku berbalik.
"Lhooh kenapa balik badan ? Bukankah kamu hendak bicara denganku ?" Ucapnya diselingi nada tawa.
"Jangan protes. Pliss aku juga punya malu"
Mana sanggup aku mengatakan sambil menatapnya. Untung saja posisiku menguntungkan. Setelah selesai berucap aku bisa langsung kabur tanpa menoleh karena pintu tepat di hadapanku.
"Baiklah. Silahkan lanjutkan"
Aku menarik napas lagi.
"Mungkin kamu sudah lupa karena sudah lama. Tapi aku ingat betul pernah memberitahumu kalau aku memiliki perasaan padamu. Aku akan menunggumu dan akan berhenti jika memang kamu sudah memiliki orang lain. Aku serius tapi sepertinya kamu menganggapnya bercanda. Tentu saja perasaanku bisa pasang surut juga toh kita tidak pernah bertemu dan jarang bertukar pesan. Tidak ada hal yang menghubungkan kita menjadi lebih dekat."
Aku masih tidak berani menoleh. Meski aku penasaran apakah dia mendengar penjelasanku atau tidak.
"Jujur selama ini aku menunggu karena kamu tidak mengatakan apapun soal itu. Tidak memberi jawaban apapun dan tidak mengabari kalau mungkin ada orang lain yang kamu sukai. Maaf kalau membuatmu kepikiran dan tidak nyaman. Maaf kalau itu membebanimu. Kalau kamu lupa syukurlah dan maaf sudah mengingatkanmu lagi. Terimakasih sudah menjadikan masa putih abu-abu ku menyenangkan. Mulai sekarang aku akan berhenti. Jadi lupakan saja apa yang ku katakan dulu dan sekarang ini."
Haduuuuuh. Sumpaah gerogi sekali. Jangan-jangan dia malah main HP atau malah ketiduran. Ah biarlah. Akan kutuntaskan sekarang.
"Bisakah saat kita bertemu lagi tidak menjadi cangggung ? Tetap berteman seperti dulu ? Jangan saling menghindar ?"
Hening.
"Hei katakan sesuatu. Kau mendengarku ?"
Masih hening.
Haruskah aku menoleh ? Tapi aku terlalu malu. Semua yang sudah ku katakan sangat memalukan.
"Dewa ?"
Tidak ada jawaban.
"Kamu tidur ya ?" Kuberanikan diri menoleh ke belakang perlahan.
Dia duduk sambil bersedekap. Pandangan matanya langsung ku tangkap karena lurus ke arahku. Spontan aku langsung berbalik lagi.
"Kenapa diam saja kalau ternyata kamu mendengarku" aku sedikit kesal dia sejak tadi menyimak tapi tidak menanggapi.
"Kamu bisa kirim WA undangan itu. Aku pasti datang kok. Kalau begitu aku pamit" tanpa menoleh aku bangkit dan meraih gagang pintu.
Sebuah sentuhan mendarat di pergelangan tanganku menghentikan langkahku hingga tidak jadi keluar ruangan.
"Bukankah kamu yang menyuruhku diam dan mendengarkan baik-baik ?"
Jadi dia sengaja ?
"Apakah kamu sudah selesai dan mau pergi begitu saja ?"
Memang begitu rencanaku.
"Aku bahkan belum mengatakan apapun" ucapnya dengan tangan yang masih menggenggamku.
Serangan dadakan. Jantungku lepas kendali. Detaknya semakin memburu. Dengan susah payah aku mengeluarkan suara.
"Memangnya apa yang ingin kamu katakan ?"
"Banyak hal" jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA [END]
RomanceMenanti adalah hal yang membosankan. Tapi mengapa aku betah melakukannya. Entah apa yang akan terjadi dipenghujung penantian. Apakah hanya kisahku atau hanya kisahmu ? ataukah mungkin menjadi kisah kita ? ..... "Itu...lagi ada yang populer kan. Gima...