Dewa berpakaian kasual biasa, celana gelap dengan atasan kaos yang dilapisi jaket jeans. Tak lupa membawa tas selempang kecil yang di taruh di depan dada. Dia celingukan. Mengamati sekitar. Sepanjang jalan di kanan kiri, jejeran toko dengan berbagai jenis dagangan sudah begitu ramai pembeli. Memang tidak salah, disini pusatnya oleh-oleh dari kota yang disinggahi. Dewa mengirimi Ana pesan, menanyakan posisinya.
"Hei, mau keliling sekarang ?" sapa seseorang dari belakang. Dewa menoleh.
"Lhoh udah datang duluan ? Lama nunggu ?" tanya Dewa.
"Nggak kok, baru aja sampai. Tuh ojolnya barusan pergi" tunjuk Ana.
"Oh, kita makan dulu aja ya. Lagi pengen makan apa, ayo aku traktir" ajak Dewa.
Mereka berkeliling mencari tempat makan yang menjual sate ayam. Ana lagi pengen makan itu katanya. Dengan senang hati Dewa menuruti. Setelah stamina terisi, mereka berdua melakukan perburuan. Berbagai jenis oleh-oleh tersedia disini, mulai dari makanan khas daerah, pernak-pernik souvenir, baju, syal, dan lainnya.
Ana mengeluarkan jurus andalannya. Tawar menawar harga. Meski tidak masalah bagi Dewa membeli dengan harga yang telah ditentukan, namun dia menikmati saat Ana bersikeras menawar dan penjualnya tidak memberikan. Alhasil mereka pergi dengan tangan kosong beralih ke toko lain yang menjual produk serupa.
"Yakin kamu nggak mau beli apa-apa ? Aku nggak enak nih kalau kamu balik dengan tangan kosong begitu"
"Nggak, sante aja. Dulu aku sering ngerepotin kamu kan, anggap aja bayar hutang" balas Ana.
"Eh..jangan gitu. Aku bantu nggak ada niat minta balasan kok" sahut Dewa.
Mereka berdua berjalan sambil berdebat. Hingga suara yang tak asing itu menganggu. Bunyi botol diremas. Keringat dingin itu mengucur. Dewa pucat seketika. Tiba-tiba kakinya lemas. Beberapa bungkusan kresek yang dibawanya jatuh. Ana panik.
"Dewa, kamu kenapa ?! kamu sakit. Kok tiba-tiba pucet gitu" Ana memapah Dewa, membantunya menepi menjauhi keramaian.
"Obat, tolong" ucap Dewa lirih.
"Hah ? Obat apa ?" Ana tak paham, obat apa yang dimaksudkan Dewa.
"Tas, di tas" jawab Dewa pelan.
Ana membuka tas slempang Dewa. Mencari obat yang dimaksud. Dewa meminum obat penenangnya dengan air yang diberikan Ana. Setelah berhasil mengatur napas, akhirnya Dewa kembali membaik seperti semula. Mereka berdua duduk di trotoar. Ana mengamati Dewa. Seolah ragu ingin menanyakan apa yang terjadi.
"Maaf" ucap Dewa. "Lagi-lagi merepotkanmu"
"Kamu baik-baik saja ?" tanya Ana khawatir.
"Ya, aku sudah tidak apa-apa" jawab Dewa.
Hening...
"Kamu tidak penasaran ?" Dewa berucap lagi.
"Hah ? Apa ?" Ana menoleh.
"Yang baru saja kualami" Dewa menatapnya dalam.
"Ah itu... aku tidak mau menyinggungmu" Ana mengalihkan pandangan.
"Trauma. Aku masih belum sembuh total. Ini salah satu traumaku setelah kecelakaan itu"
"Salah satu ?" Ana terkejut.
"Begitulah, aku masih belum berani mengemudikan motor lagi" jelas Dewa.
"Sepertinya kamu tahu kalau aku mengalami kecelakaan ?" Tebak Dewa karena tidak melihat reaksi terkejut Ana.
"Hmm, ya"
"Apakah kamu datang menjengukku, saat aku belum sadar mungkin" Dewa mencoba memancing Ana.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA [END]
RomanceMenanti adalah hal yang membosankan. Tapi mengapa aku betah melakukannya. Entah apa yang akan terjadi dipenghujung penantian. Apakah hanya kisahku atau hanya kisahmu ? ataukah mungkin menjadi kisah kita ? ..... "Itu...lagi ada yang populer kan. Gima...