Panji dibuat penasaran lagi. Sejak menyelesaikan tugas di BBA dan sudah hampir seminggu ini kawannya itu masih bersikap dingin, tidak bersemangat lagi, seolah sedang banyak pikiran. Dia mencoba mengalihkan dan menghiburnya namun hanya ditanggapi dengan singkat.
Siang itu jam istirahat makan siang saat ruangan mereka masih sepi, Panji duduk mendekat. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Dia maju mundur ingin memulai karena hal yang akan dibahasnya mungkin akan membuatnya merasa tidak nyaman, terlebih perubahan sikap kawannya itu bisa-bisa menjadi lebih buruk lagi.
"Han, " Panji membangunkan Dewa yang duduk dikursinya dengan mata terpejam.
"Apa" jawab Dewa masih merem.
Panji terdiam. Dia ragu apakah akan melanjutkan perkataannya atau tidak. Dewa membuka matanya. Melihat Panji sedang berpikir keras dihadapannya.
"Apaan ?" tanya Dewa lagi.
"Gue dapet pesen, tapi gue ragu mau ngasih tau lu"
"Pesen dari siapa ?"
"Akbar" Jawab Panji parno.
"Oh. Ada apa ?" Sahut Dewa dengan wajah biasa.
Panji, Dewa, dan Akbar adalah teman satu kos pondok saat berkuliah. Mereka berguru pada ustadz yang sama. Panji dan Dewa teman satu fakultas sedangkan Akbar beda fakultas namun masih satu kampus. Mereka bertiga cukup akrab hingga bisa dibilang bersahabat. Bahkan setelah lulus dan berkarir di jalan masing-masing, mereka masih sering berhubungan online saling tukar kabar dan sesekali keluar bareng.
Itu dulu, sekarang rasanya sudah berbeda. Apalagi setelah batalnya pernikahan Dewa, kini Hana sudah sah menjadi istri Akbar. Dia tidak tahu bagaimana itu terjadi. Dia antara mereka bertiga, memang Akbar lah yang paling taat. Mengingat sosok Hana yang pernah ia temui saat di kampus dulu, Panji merasa kalau Hana lebih cocok dengan Akbar dibandingkan Dewa. Tentu saja ia tak pernah berani mengurarakan pendapat itu.
Panji bingung akan posisinya. Dia masih sangat akrab dengan Dewa terlebih teman kerja satu kantor, tapi dia juga masih akrab dengan Akbar. Terkadang dia hampir keceplosan menceritakan soal Akbar di depan Dewa begitupun sebaliknya. Jadi kini Panji was-was menyampaikan pesan Akbar, meminta Dewa agar bersedia menemuinya.
"Akbar ngajak kita ketemu, katanya mumpung dia lagi dinas di daerah sini"
"Kapan ?" tanya Dewa.
"Ntar malem" Panji tegang menunggu jawaban Dewa. "Kalau misal lu nggak bisa biar gue sendiri aja" tambah Panji.
"Boleh. Ntar malem gue nganggur kok" jawab Dewa.
Hah ?! Yakin ? Panji menggosok-gosok telinganya. Dia pikir Dewa akan langsung menolak. Apa dia salah dengar ?
"Serius ? Lu yakin ?" Panji tak percaya Dewa menyanggupinya.
Dewa mengangguk tanda mengiyakan.
"Lu udah nggak marah sama Akbar ?"
"Hah ? Marah kenapa coba ?" Dewa bertanya balik.
"Yaa, kan dia udah ngrebut calon bini lu" jawab Panji pelan tanpa berani melihat ekspresi Dewa.
Dewa tertawa melihat tingkah konyol Panji.
"Lheeeh malah ketawa, orang gue serius juga. Beneran lu nggak papa ? Jangan sampai ntar ketemu, kalian bacok-bacokan disana" tambah Panji.
Tawa Dewa semakin keras.
"Eeeeh edaan, malah ngakak"
"Ya lu sih, dapet darimana juga bisa mikir sampe kesitu ?"
"Lha kan normal kalau lu marah sama Akbar gegara itu. Waktu nikahannya, lu juga nggak dateng kan"
"Oh, itu. Waktu itu jadwal gue terapi jadi nggak bisa dateng. Tapi gue nitip amplop ke Aldo kok" jawab Dewa.
"Lhaaah... Lu ikhlas aja Akbar nikahin calon bini lu ? Lu nggak sakit hati gitu ?" Panji heran.
"Gue belum cerita ya sama lu alasan gue batal nikah sama Hana ?" Selidik Dewa.
"Emangnya kenapa ? Bukannya Hana ninggalin lu karena kondisi lu yang masih belum pulih pasca kecelakaan, terus dia lebih milih Akbar" Panji menjelaskan asumsinya selama ini.
"Bukan gitu. Gue sendiri yang minta agar nikahnya dibatalin. Kasarannya gue nge-PHP Hana yang udah gue ajak nikah malah gue putusin" jelas Dewa.
"KENAPA NGGAK NGEMENG DARI DULU BAMBAAANG !!!!" ucap Panji emosi.
"Laah, kenapa jadi lu yang marah ?"
"Selama ini gue udah su'udzon sama Hana. Gue pikir dia yang ninggalin lu. Ternyata justru lu nya yang BANGSAT" kemarahan Panji sudah di ubun-ubun.
"Kok malah ngatain gue, ya salah sendiri lu nggak tanya" Dewa membela diri.
"Ya mana tega gue ngungkit masalah itu. Tanya langsung ke lu yang gue kira korban. Nyatanya justru lu yang PENGHIANAT" ucap Panji penuh penekanan di kata terakhir.
"Hehe sorry. Gue kira lu udah tau"
"Tau, your head !" Panji menghela napas lega. Ternyata selama ini dia keliru. Persahabatannya dengan Akbar dan Dewa nyatanya baik-baik saja.
"Ya maap" jawab Dewa lagi.
"Terus, ngapain akhir-akhir ini lu murung gitu ? Kepikiran apaan ?" Tanya Panji ngegas.
"Lu tanya karena simpati apa lagi pengen interogasi ?"
"Ya gue jadi ikutan gak waras lihat tingkah lu yang absurd. Tiba-tiba seneng kayak orang gila tiba-tiba stress diem aja kaya patung" cerocos Panji.
Dewa tak menyangka ternyata Panji begitu mangkhawatirkan dirinya.
"Lu inget nggak sama orang yang njatohin helm, waktu kita keliling di BBA, pas di desain ditemenin Pak Anton"
"Helm ? Pak Anton ?" Panji berusaha mengingat.
"Cewek yang pake APD lengkap mau turun ke lapangan, yang lu modusin pengen ikut" Dewa kesal.
"Ooh, mbak yang itu. Kenapa ?"
Ya gini kalau di otaknya cuma body cewek doang. Clue yang lain gak akan ada gunanya.
"Dia alasannya" jawab Dewa singkat.
"Hah ? alasan apaan ?"
Astaga !!!! Dewa geram ingin sekali mengambil otaknya Panji dan diganti dengan bola kasti.
"Ya kan tadi lu nanya, Sukijan ! Dia alasannya. Alasan gue mutusin Hana, alasan gue tiba-tiba seneng tiba-tiba stress" jawab Dewa menahan emosi.
"Oooh" Panji mengerti.
"HAAAAH !!!! Lha kok bisa ?!" Panji merasa ada kejanggalan disana.
Bukankah mereka baru bertemu ? Bagaimana bisa ada kaitan dengan putusnya Hana ?
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA [END]
RomanceMenanti adalah hal yang membosankan. Tapi mengapa aku betah melakukannya. Entah apa yang akan terjadi dipenghujung penantian. Apakah hanya kisahku atau hanya kisahmu ? ataukah mungkin menjadi kisah kita ? ..... "Itu...lagi ada yang populer kan. Gima...