Janji

970 137 37
                                    

"Yak... Park Jimin!" Suara seseorang memecah keheningan lorong, langkah Jimin memelan dan mulai membalikkan badan. Seorang remaja berlari kearahnya dengan napas tersengal dan meraih bahu remaja Park itu.

"Ku pikir kau tak akan datang hari ini." Remaja yang tak lain dan tak bukan adalah Taehyung, menarik senyum dengan masih memegang bahu Jimin.

"Masih banyak hal yang harus kita lakukan, bukankah begitu?" Ujar Taehyung seraya mengusak rambut Jimin.

"Akh....!" Rintihan lolos dari mulut Jimin dan membuat Taehyung menghentikan aksinya.

"Wae, apa ada yang salah?"

"Kepalaku terbentur kemarin, dan meninggalkan benjolan." Jimin mengusap kepalanya yang kini berdenyut kembali.

"Coba ku lihat!"

"Aish... menjauh dariku, kau akan memperburuknya nanti."

"Terserah padamu."

Taehyung berjalan terlebih dulu meninggalkan Jimin di lorong, remaja Kim itu menuju sebuah loker dan mulai meletakkan isi tasnya kedalam loker.

Jimin memperhatikan hal itu dan turut membuka lokernya, Jimin mengambil beberapa buku dan juga pakaian olah raga. Taehyung yang selesai dengan kegiatannya memberikan sebuah gantungan kunci ke arah Jimin.

"Untuk apa ini?" Jimin mengernyit setelah menerima gantungan kunci itu.

"Simpan saja, anggap saja sebagai cindramata di pemakamanku nanti." Jawab Taehyung dengan begitu mudahnya.

"Kalau begitu, ambil ini!" Jimin melepaskan arloji yang melingkar di pergelangan tangannya dan menyodorkannya pada Taehyung.

"Mengapa kau memberikan ini padaku?"

"Eomma memberikan arloji itu pada appa sebelum kecelakaan, lalu appa memberikannya padaku sebelum ia membuang piano eomma. Sekarang ku berikan padamu sebelum pemakamanku."

Taehyung terdiam menatap arloji di tangannya, ia tak berpikir Jimin akan memberikan benda seperti ini padanya.

"Yak... tunggu aku pendek!" Taehyung yang tersadar dari lamunannya menyadari jika Jimin sudah berjalan cukup jauh darinya.

***

Waktu pulang sekolah telah lewat 1 jam yang lalu, tetapi Taehyung masih harus menemani Jimin yang sibuk dengan bukunya. Taehyung mulai bosan, padahal mereka berencana pergi ke tempat Hoseok untuk berlatih piano.

"Apakah masih lama?" Taehyung melirik buku di hadapan Jimin.

"Aku hanya perlu mengirimnya ke Namjoon hyung." Jimin kini sibuk dengan ponselnya, setelah mengirim email pada Namjoon, Jimin mulai berkemas.

Perjalanan mereka menuju rumah Hoseok termasuk cepat, kedua remja itu mulau masuk dan disambut dengan senyuman oleh pemuda Jung itu.

"Kurasa kau lebih hebat dari pada diriku." Hoseok memuji permainan piano Jimin, setelahnya Hoseok beranjak dan memberikan sebuah brosur pada Jimin mengenai lomba pianis yang akan di adakan 2 bulan lagi.

"Kau harus mengikutinya, dan aku akan membantumu untu berlatih serta memilih lagu." Hoseok benar-benar yakin pada Jimin, tak ada yang kurang dari remaja Park itu dalam menekan tuts piano.

Jimin menarik senyum, akankah kali ini impiannya akan terwujud.

Setelah kembali dari rumah Hoseok, Jimin dan Taehyung mengunjungi tempat latihan taekwondo. Taehyung sudah mendaftar di sana beberapa hari yang lalu.

Sementara Taehyung berlatih, Jimin membaringkan tubuhnya di pojok ruangan. Kepalanya masih terasa sakit, dan lebih lagi ia tak dapat tidur semalam.

Taehyung dengan bakat yang mumpuni, pelatih bahkan tanpa ragu meminta remja itu untuk ikut dalam kompetisi. Hanya saja pelatih akan tetap melihat perkembangan Taehyung selama 3 bulan kedepan.

"Jimin-ah." Taehyung mendorong-dotong tubuh Jimin menggunakan kakinya guna membangunkan remaja Park itu.

"Wae?" Jimin mulai menggeliat sembari meregangkan badanya.

"Sekarang masih jam 21.27 bagaimana jika kita pergi ke game center."

Mendengar kata game canter, Jimin segera bangkit dan meraih raselnya yang ia gunakan sebagai bantal.

Tanpa beban kedua remaja itu berjalan di sepanjang trotoar sembari menikmati sosis yang baru saja mereka beli di minimarket.

Ini pertama kalinya bagi Jimin bisa keluar malam selain pergi ke tempat kursus.

Permainan mereka berlangsung hingga pukul 23.36, Jimin harus segera pulang sebelum ayahnya kembali. Remaja itu masih bertukar pesan dengan Taehyung selama perjalanan kerumahnya, hingga ketika baru menginjakkan kaki di teras rumah.

Tuan Park menyahut ponsel sang putra dan melemparnya hingga hancur berkeping-keping, Jimin yang terlalu fokus pada ponselnya bahkan tak menyadari keberadaan sang ayah yang sudah menunggunya.

"Appa?"

"Dari mana saja kau, guru pembimbing mengatakan kau tidak hadir di ruang belajar, bahkan kau melewatkan kursus kimia dan bahasa inggris!" Nada bicara Tuan Park meninggi dan segera menyeret Jimin masuk ke dalam rumah.

"Apakah sekarang kau bisu? Jika appa bertanya maka jawablah!" Tuan Park mencengkram kuat bahu Jimin dengan wajah penuh amarah.

"Aku pergi ke game center." Lirih Jimin dengan kepala tertunduk ke bawah.

"Apa kau pergi bersama Kim Taehyung?"

"Aku, pergi sendiri." Remaja Park itu tak ingin Taehyung terseret dalam masalahnya kali ini, lebih baik Jimin tak mengatakan apapun mengenai sahabatnya itu.

Dengan kasar, Tuan Park menarik lengan Jimin menuju lantai atas. Dan segera mendorong Jimin ke dalam kamar.

"Selesaikan semua tugasmu malam ini, jangan harap kau bisa keluar ataupun tidur sebelum semuanya selesai Park!"

Jimin mengepalkan tangannya kuat, ia sudah sangat muak dengan prilaku sang ayah. Dengan tatapan tajam Jimin mengangkat kepalanya.

"Apakah anda pernah membiarkanku tidur?! kurasa tidak pernah!"

Tamparan Tuan Park melayang tepat mengenai pipi kiri Jimin, ruam merah segera terbentuk di kulit putihnya.

"Jangan beraninya menaikkan nada bicaramu!" Tuan Park beranjak meninggalkan Jimin seraya menutup pintu kamar sang putra cukup kencang.

Setelah sang ayah menghilang di balik pintu, Jimin menjatuhkan tubuhnya kelantai seraya menarik sudut bibirnya.

Rasa sakit karena pukulan sang ayah tak sebanding dengan apa yang telah sang ayah lakukan selama ini.

"Mengapa hidupku harus seperti ini eomma?" Tak ada air mata, tetapi raut wajah Jimin sudah cukup untuk menggambarkan semuannya.

Dengan langkah gontai Jimin mendekati meja belarnya dan mengambil sebuah tabung dari dalam lacinya.

Sebuah tabung berisi pil putih yang hampir setiap hari Jimin konsumsi.

Dua butir obat penenang berhasil masuk ke mulutnya, tanpa bantuan air Jimin tetap menelan pil-pil itu.

Sejenak ia menatap tabung itu dan mulai menuangkan isi di dalamnya pada tangannya, dan kembali memasukkan semua pil itu kedalam mulutnya.

Hingga beberapa saat kemudian Jimjn berlari ke dalam kamar mandi dan memutahkan semua pil itu kedalam wastafel.

Tubuhnya terjatuh begitu saja, sangat menyakitkan karena ia sudah berjanji pada Taehyung jika akan menyelesaikan semua daftar yang telah mereka buat.

"Mengapa ini sangat sulit."







Bersambung......

Take MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang