Perubahan

899 126 21
                                    

"Makan ini." Potongan beberapa buah tersodor di hadapan Taehyung yang tengah memijit pelan pergelangan tangannya.

"Aku tidak mau, kau makan saja." Taehyung membuang wajah dan menarik keluar ponsel dari saku jas almamaternya yang tergeletak di lantai.

"Kau mau pangsit? atau mungkin makanan yang lain?"

"Kau makan saja Park, dan tinggalkan aku." Jimin yang sedari tadi berusaha membujuk remaja itu, mulai menghela napas pelan.

"Kau sungguh menyia-nyiakan kebaikanku Kim. Apakah kau tak tau betapa sulitnya untuk mendapat ijin agar bisa kemari." Tak berkutik dengan ucapan Jimin, Taehyung lebih memilih menatap sahabatnya dengan tatapan dingin.

Jimin meletakkan mangkuk buahnya dan beranjak dari kamar Taehyung, remaja itu berdiri di ambang pintu dan mulai berteriak.

"Yak, kalian yang disana! Bisakah aku minta korek api?" Jimin berteriak pada beberapa penjaga yang berada di bawah tangga, sebenarnya mereka ada di depan pintu kamar sampai Jimin datang.

Taehyung menatap sahabatnya itu, berdecih pelan dan mulai membaringkan tubuhnya. Kepalanya cukup pening saat ini, mungkin seharusnya Tuan Kim melempar kepalanya pisau yang dapat seketika membunuhnya tanpa rasa sakit.

Tak lama Jimin kembali dengan korek di tangannya, remaja itu menyeret sebuah meja kecil ke samping ranjang dan menata buah serta beberapa kaleng soda. Beberapa kali Jimin menolehkan kepala, hingga ia melihat pohon dengan ranting yang berada di samping balkon, ia memetik beberapa bunga dan kembali memasuki kamar Taehyung.

Taehyung masih tak peduli, ia subuk memainkan ponselnya di ranjang. Sampai Jimin meletakkan bunga-bunga itu di atas tubuhnya.

"Yak... apa yang kau........." Ucapan Taehyung terpotong, bahkan ia yang tadinya ingin bangkit urung melakukan hal itu.

Lilin aroma terapi menyala di atas meja yang ditata Jimin sebelumnya, dan Jimin di sisi ranjang tengah bersujud.

"Semoga arwah sahabatku tenang, aku tak ingin arwahnya mengganggu kehidupan manusia dan semua orang disini." Gumaman Jimin mendapat lemparan bantal dari Taehyung.

"Yak, Park Jimin!"

"Wahai para leluhur, tolong tenangkanlah arwah sahabatku." Jimin masih melanjutkan dramanya itu dengan berulangkali bersujud.

"Park Jimin, aku akan membawamu ke neraka!"

"Roh Taehyung tolong tenanglah, aku terlalu tampan untuk pergi ke neraka." Taehyung tak tahan lagi, ia bangkit dari ranjangnya dan bersiap melemparkan semua barang ke arah remaja menyebalkan itu, sampai Jimin yang dengan tiba-tiba mengangkat kepalanya.

"Tapi, apakah kita bisa memesan tiket bus kesana, mungkin ada tur alam baka agar kita tak tersesat nanti?"

Ucapan Jimin membuat Taehyung mengerutkan keningnya.

"Akan ku benturkan kepalamu agar kau mendapatkan tiket VIP."

***

Hari menjelang gelap, namun kota belumlah tenang. Mungkin tak ada kata tenang untuk ibu kota ini. Karena siapapun yang berhenti, maka mereka akan tertinggal dan terinjak-injak. Tetapi lain halnya dengan dua remaja yang tengah menikmati makan malam di kedai pinggir jalan.

Mereka begitu tenang menikmati sup hangat yang tersaji. Keduanya sibuk dengan mangkuk di hadapan masing-masing, hingga isi mangkuk itu habis tak bersisa.

"Kau akan ikut kompetisi taekwondo itu Tae? Apakah kau sungguh ingin melakukannya?" Pertanyaan dari sahabatnya membuat Taehyung menghentikan kegiatan meneguk airnya.

"Eum, itu mimpi terakhirku. Walaupun appa akan membunuhku nanti." Jimin terdiam, ia tak mengatakan apapun, remaja itu menunduk dalam menatap gerakan air di dalam gelasnya.

"Aku yakin kau akan memenangkan kompetisi itu." Dengan kepala tertunduk Jimin berujar pelan, Taehyung yang merasa janggal menatap Jimin lamat.

"Apa ada masalah?"

"Tidak, setidaknya arwahmu akan tenang dan tak akan menghantuiku nanti." Jimin menarik senyum jail, dan mulai meneguk habis airnya.

"Eum, apakah kau masih berlatih piano?" Pertanyaan Taehyung di balas anggukan oleh Jimin.

"Tapi aku berlatih di apartemen Yonggi Hyung, Hoseok Hyung ada ujian jadi ia tak bisa membantuku."

"Itu bukan masalah." Taehyung berujar sembari menarik senyum dan beranjak meninggalkan meja.

"Ya, itu bukan masalah."

***

Sepertinya, tak semua rencana akan berjalan lancar. Mungkin juga akan ada hal yang lebih baik saat kegagalan menimpa. Namun seakan tak ada harapan lagi saat menunggu cahaya itu, hanya gelap yang nampak hingga berulang kali lutut harus terluka saat membentur tanah.

Tetapi setidaknya bernapas bukanlah hal yang dilarang, walau terasa begitu sesak saat udara itu terhirup.

"Kau yakin untuk mengikuti kelas ini?" Seorang pria menatap muridnya yang kini berdiri dengan folmulir di tangannya.

"Kudengar, kelas ini hanya untuk lima siswa. Jadi aku hanya ingin peluang masuk perguruan tinggi lebih besar." Siswa itu menyodorkan formulir ditangannya, pria yang menjadi guru sekaligus wali kelasnya menatap ragu hal itu.

"Baiklah, aku akan memberikan ini pada kepala sekolah. Kau bisa kekelas sekarang."

Remaja itu beranjak setelah mengucapkan terimakasih, koridor sekolah tengah sepi karena para siswa memilih untuk pergi ke ruang belajar di saat seperti ini. Ujian akhir sebentar lagi dan tak ada yang ingin mengacaukan masa depan mereka.

"Hei, Jimin-ah!" Remaja yang merasa seorang diri di sepanjang koridor, membalik badan cepat saat suara memasuki gendang telinganya.

"Apa yang kau lakukan disitu Tae?"

"Mau ikut membolos?" Taehyung dengan langkah ringannya, membawa tas sekolah dengan seragam berantakan.

"Kau bertengkar dengan ayahmu lagi?" Bukannya menjawab pertanyaan Taehyung, Jimin mengubah topik begitu cepat.

"Ya... tapi tenang saja hanya beberapa pukulan tak akan membunuhku. Cepatlah sebelum guru pengawas melihat kita, aku melihat kedai baru di pinggir kota, bagaimana jika..........."

"Tae, berhenti bersikap seperti ini. Ujian sebentar lagi, aku tau kau tak peduli dengan hal itu, tapi setidaknya itu yang bisa kau lakukan sekarang." Ucapan Jimin membuat Taehyung terdiam, ia mengurungkan niatnya untuk menarik lengan Jimin.

"Kau yang seharusnya berhenti, ayo kita nikmati hari ini."

"Aku harus ke ruang belajar, kau pergilah sendiri." Jimin beranjak meninggalkan Taehyung yang masih terdiam di lorong.

"Yak, jangan berharap aku akan membawakanmu pangsit!"

Jimin tak memperdulikan teriakan Taehyung, ia berpikir ini akan lebih baik untuk Taehyung merubah cara berpikirnya. Mungkin Taehyung tak akan menerima dengan baik, tetapi hanya ini yang bisa Jimin lakukan untuk sahabatnya.

Sudah makanan sehari-hari Jimin untuk berkutat dengan buku-buku sepanjang hari, bahkan karena fokusnya ia tak menyadari jika tinggal dirinya di ruang belajar. Ia bahkan tak menyadari sedari tadi ponselnya menerima berbagai panggilan, entah dari sang ayah ataupun Taehyung.

Lembar terakhir latihan soal dihadapan remaja itu harus berhias cairan merah, lagi-lagi hidungnya mengeluarkan darah segar. Jimin yang mulai merasa pening memilih untuk menakhiri sesi belajarnya, ia mulai mengemasi semua alat tulis dan beranjak dari sana. Akan sulit mencari taxi di tengah malam, hal itu membuat Jimin memutuskan untuk menghubungi supir pribadinya.

Sembari menanti remaja itu membuka pesan yang dikirim Taehyung, entah apa saja yang dikirim oleh remaja Kim itu.

"Hei, kau mau pulang sekarang?" Jimin mengangkat kepalanya saat suara yang familiar terdengar.

"Yoongi hyung?"



Take MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang