Berlatih

747 122 16
                                    

Seduhan teh hangat dengan beberapa camilan manis yang tertata rapi di atas meja kecil, tanpa di persilahkan pun makanan itu akan segera habis. Udara dingin yang tadinya menyelinap melalui celah-celah jendela yang terbuka perlahan menghilang saat jendela itu tertutup tirai. Piano di sudut ruangan yang mulai menunjukkan debu halus di atasnya menjadi penanda jika benda itu cukup lama tak tersentuh siapapun.

Uap di atas cangkir perlahan menghilang bersama isi teh yang tinggal separuh, dentingan sendok beradu saat seorang pria meletakkan benda itu di atas mangkuk kecil tempanya meletakkan kue keju.

Tak ada percakapan di antara dua orang yang tengah duduk bersebelahan, hingga remaja yang terlebih dulu membuka suara sembari mengeluarkan sebuah map untuk ia berikan pada pria di sampingnya.

"Apa ini?" Pria dengan setelan kemeja itu menatap siswa menengah atas yang kini menundukkan kepalanya.

"Hyung bisa menjual piano itu, dan untuk piano yang pernah Taehyung berikan aku menjualnya dalam kegiatan lelang. Ini suratnya dan juga uang yang ku dapatkan, bisakah hyung berikan ini sebagai sumbanganku ke rumah sakit?"

"Mengapa tiba-tiba seperti ini?" Yoongi masih tak yakin dengan keputusan Jimin untuk menjual piano peninggalan mendiang nyonya park.

"Aku memutuskan untuk berhenti bermain piano, ujian perguruan tinggi sebentar lagi dan aku tak ingin hal itu mengganggu belajarku."

Jimin menarik senyum sembari mengemasi semua barang bawaannya, sudah terlalu malam untuk tetap di apartemen Yoongi, bisa-bisa sang ayah akan memarahinya habis-habisan.

"Aku akan mengantarmu kalau begitu, dan menjelaskannya pada Tuan Park." Jimin mengangguk singkat dan beranjak dari tempatnya. Tak baik jika Tuan Park mencurigaimu saat pulang larut." Jimin menurut begitu saja, ia juga tak ingin menjadi santap makan malam sang ayah.

***

Seperti yang diharapkan Jimin, wali kelasnya berhasil mendaftarkannya di kelas eksklusif. Kini tinggal tahap terakhir berada di tangannya, bagaimanapun caranya Jimin harus lolos perguruan tinggi sesuai keinginan sang ayah.

Kelas siang tak ada pengajar yang datang, kelas mandiri dimulai tanpa adanya kegaduhan, semua siswa fokus pada tujuan utama mereka. Jimin pun juga begitu, ia hanya menatap bukunya sejak pagi tadi. Taehyung yang biasanya membuat onar entah ada dimana saat ini, setidaknya Jimin bisa lebih tenang sekarang.

"Jim, kau akan menyesal karena tak ikut kemarin. Wah... makanan mereka benar-benar sangat enak." Taehyung yang baru tiba, menyandarkan tubuhnya di bahu Jimin dengan mulut yang terus berbicara panjang lebar.

Jimin yang tak peduli sebab earphone yang terpasang di telinganya hanya sesekali mengangguk sebagai respon.

"Yak.... bagaimana jika sore ini kita pergi ke Sungai Han, kurasa semua daftarku hampir selesai, hanya perlu memenangkan kompetisi dan setelah itu semuanya akan berakhir." Helaan npas yang Jimin berikan membuat Taehyun menjauhi sahabatnya itu.

"Ada apa?"

"Tae, tidakkah kau lihat aku sedang belajar. Sebaiknya kau juga melakukannya." Tatapan Jimin yang berbeda dari biasanya membuat Taehyung mengerutkan keningnya.

"Apakah kau terbentur semalam, kurasa ada yang tak beres denganmu hari ini."

"Tae, hentikan...."

"Bagaimana jika kita main basket? bukankah itu ada di daftarmu, kau sepertinya tak segera menyelesaikan daftarmu, apa kau berubah pikiran?" Taehyung tersenyum jail dan terus menggoda Jimin yang sepertinya sudah habis kesabarannya.

Gebrakan meja yang di lakukan oleh Jimin membuat Taehyung dan para siswa lain menatap ke arah remaja Park itu, Jimin berdiri dari kursinya dan berjalan keluar kelas sembari membawa serta buku-bukunya.

"Hei, Park Jimin?" Hal aneh yang Jimin lakukan membuat Taehyung harus mengikuti sahabatnya dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.

"Jim, apa kau ada masalah dengan paman?"

"Tidak ada, aku ingin belajar di perpustakaan, jika hanya ingin mengganggu sebaiknya jangan ikuti aku." Jimin menepis lengan Taehyung kasar dan kembali berjalan menyusuri lorong.

"Ada apa denganmu sebenarnya! aku berusaha bicara baik-baik tapi lihatlah keras kepalamu itu!" Taehyung yang turut emosi melihat tinggah Jimin menaikkan nada suaranya.

"Kau lah yang keras kepala Kim, masa bodoh dengan daftar itu. Kau pikir mati akan menyelesaikan masalah, jika kau masih berpikir seperti itu maka kau adalah orang terbodoh yang pernah kutemui!" Keduanya terdiam, terutama Taehyung yang tak pernah mendengar Jimin sebegitu emosinya.

"Aku mengerti, kurasa kau butuh waktu sendiri. Hubungi aku saat kau lebih baik." Taehyung beranjak sembari membenahi letak jas almamater sekolahnya, sementara itu Jimin belum beranjak dari tempatnya. Mungkin ia menyesal perkataannya pada Taehyung.

***

Suasana siang hari yang terasa lebih hangat, segelas jus jeruk dan ice americano adalah pilihan yang sempurna. Sebuah kafe di depan sekolah adalah tempat tujuan yang nyaman di kala panas, tak perlu jauh berjalan dan nuansanya begitu cocok.

"Jadi kau menulis taekwondo di kertas ini. Sungguh luar biasa." Seokjin, pria dengan kemeja putihnya bertepuk tangan senang saat melihat sobekan kertas kecil dihadapannya.

"Ya.... kupikir aku harus menulis itu." Taehyung yang duduk di hadapan wali kelasnya memberikan senyum kecil sembari memainkan sedotan di dalam gelasnya.

"Baguslah, kupikir kau akan menulis hal lain, kurasa kekhawatiranku tak beralasan." Seokjin mengangguk kan kepala dan memasukkan kertas itu kedalam saku kemejanya.

"Saem terimakasih traktiranya, aku harus ke tempat latihan sekarang, Jungkook pasti menungguku." Taehyun beranjak dari kursinya dengan senyum lebar, Seokjin yang masih di tempatnya turut menarik senyum dan turut meninggalkan kafe.

Taehyung berjalan cepat, ia harus segera tiba di sana sebelum sang ayah membaca seluruh gerak-gerik mencurigakan yang ia lakukan.

Jungkook bersedia menemani latihan Taehyung hingga hari turnamen, Taehyung asih menjauh dari Jimin, ia ingin memberi waktu pada sahabatnya itu. Prilaku Jimin yang berubah tiba-tiba mungkin ada hubunganya dengan ujian yang sudah dekat.

"Hyung, ambil ini." Jungkook menyodorkan sebuah kantung ke arah Taehyung yang baru saja keluar dari pusat latihan.

"Apa ini?" Taehyung mengocok kantung itu, namun tak ada yang dapat ia tebak mengenai isi di dalamnya.

"Buka saja, kau pasti akan suka. Tadinya aku ingin memberikan milik Jimin hyung, namun aku tak dapat menemukannya dimanapun hari ini."

Taehyung tak begitu mendengarkan ucapan Jungkook, ia fokus membuka bungkusan itu. Kernyitan di kening Taehyung membuat Jungkook  berhenti bicara.

"Kau membeli ini di Jepang? Apakah tak ada hal lainnya?" Jungkook turut mengernyit, apakah ada yang salah dengan buah tangan yang ia bawa.

"Haruskah aku membawa Gunung Fuji kemari?" Tak peduli lagi, setelah mengucapkan terimakasih pada Jungkook, Taehyung beranjak menuju mobilnya.

"Tapi hyung, mereka mengatakan jika itu cocok untuk buah tangan."

"Ya.... setidaknya akan cocok disini." Gantungan kunci dengan ikon gunung jepang itu kini tergantung di kunci mobil Taehyung.

"Setidaknya kau membeli ini dan bukannya salah satu tokoh anime."

"Apakah itu salah? aku punya satu berbentuk doraemon disini." Jungkook menunjuk gantungan kunci yang tergantung di tasnya dengan senyum bangga.

"Jungkook-ah, bisakah kau berpura-pura tidak mengenalku?"








Bersambung...................

Take MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang